Cerita Bertemu Penulis 'Sang guru & Secangkir Kopi'
Saya tidak pernah menyangka akhirnya akan bertemu dengan Andi Achdian, penulis 'Sang Guru dan Secangkir Kopi : Sejarawan Onghokham dan Dunia Baru Bernama Indonesia.' Buku tersebut adalah salah satu buku favorit saya. Ternyata saya berkesempatan untuk bertemu penulisnya.
Awal ceritanya, saya berjalan-jalan ke Jakarta Book Fair di Senayan. Di salah satu stand saya menemukan sebuah buku kecil berwarna merah bata yang menarik perhatian saya. Ya, judulnya "Sang Guru dan Secangkir Kopi : Sejarawan Onghokham dan Dunia Baru Bernama Indonesia."
Buku apapun yang ada unsur kata "guru" biasanya menarik perhatian saya. Jadi, saya pun memilih untuk membeli buku tersebut. Memang, saya tidak salah pilih. Lembar demi lembar bukunya saya baca, sulit untuk berhenti! Saya benar-benar jatuh hati pada buku tersebut.
Dengan berapi-api saya ceritakan mengenai buku tersebut kepada seorang sahabat saya," Buku tersebut ditulis dengan sangat mengalir, indah, tapi saya belajar banyak tentang sejarah, tentang Onghokham, dan juga mengenai hubungan guru-murid antara Onghokham dan Andi Achdian. Enak banget dibacanya, tapi setelah membacanya juga saya merasa tambah 'kaya'. Saya banyak belajar hal baru."
Menurut sahabat saya, kalau kita merasa terinspirasi oleh sebuah buku, tidak ada salahnya memberikan apresiasi kepada penulisnya. "Saya punya alamat facebook Andi Achdian. Coba saja kontak dan katakan terima kasih untuk tulisannya. Ada baiknya kita memberikan apresiasi kepada penulis yang bukunya kita nikmati."
Akhirnya, itupun saya lakukan. Saya meng-add Mas Andi Achdian sebagai teman di facebook lalu menuliskan sebuah pesan yang menyatakan bahwa saya sangat menyukai bukunya. Andi Achdian pun membalas dengan mengucapkan terima kasih.
Tak lama kemudian Mas Andi men-tag facebook saya dengan sebuah tulisan yang dibuat oleh Elisabet Tata, judulnya 'Klub Membaca Sejarah'. Menurut saya tulisan tersebut menarik. Selain itu saya punya cita-cita mendirikan klub baca sejenis. Inginnya Ikatan Guru Indonesia (IGI) bisa memiliki sebuah klub baca di mana guru-guru berkumpul, membahas buku, sambil rariungan, minum teh hangat sambil makan gorengan. Kegiatannya bersahaja, murah meriah, tetapi sekaligus memperluas wawasan. Karena itu, saya merasa perlu memforward tulisan tersebut ke mailing-list dan facebook group IGI. Saya pun meminta izin Mas Andi . Semenjak itu Mas Andi mulai mencari tahu mengenai IGI. Tak lama kemudian Mas Andi mengontak saya. Dia menanyakan apakah saya terlibat di dalam IGI. Dia juga ingin berbincang-bincang tentang pendidikan dan guru. Kami pun berjanji untuk bertemu.
"Kok bisa dapat buku Sang Guru dan Secangkir Kopi : Sejarawan Onghokham dan Dunia Baru Bernama Indonesia?" tanyanya
"Sebenarnya buku itu hanya 500 exemplar."
Dalam hati saya merasa sangat beruntung bisa mendapatkan bukunya. Saya ceritakan bahwa saya menemukan buku tersebut di pameran buku dan tertarik membelinya karena ada kata 'guru'. Sebenarnya saya mau memesan beberapa buku lagi kepadanya. Beberapa teman-teman yang saya ceritakan tentang buku tersebut sangat tertarik untuk membacanya. Sayangnya Mas Andi tidak membawa bukunya.
"Saya tidak bawa bukunya karena sebenarnya cetakannya sudah habis. Mau direvisi, " kata Mas Andi
"Ketika saya membaca buku tersebut saya ingat buku Tuesday With Morrie karya Mitch Albom tapi buku Sang Guru dan Secangkir Kopi jauh lebih menarik," kata saya.
Membaca buku Sang Guru dan Secangkir Kopi : Sejarawan Onghokham dan Dunia Baru Bernama Indonesia saya bukan hanya belajar mengenai sejarah, serta sosok Onghokham. Yang paling menarik bagi saya adalah saya belajar mengenai relasi antara seorang guru dengan muridnya, yakni antara Onghokham dam Andi Achdian.
Meskipun sama-sama berasal dari jurusan sejarah di Universitas Indonesia, Andi Achdian tidak pernah diajar langsung oleh Onghokham di dalam kelas. Mereka pernah bertemu dalam semacam seminar, dan ternyata mereka bertetangga. Sejak menyadari bahwa mereka bertetangga, Andi sering bertemu dengan Onghokham untuk saling berdiskusi dan belajar bersama. Meskipun mereka seringkali punya pandangan yang berbeda, Andi mengaku pengalaman belajar bersama Onghokham adalah salah satu pembelajaran terbaik yang pernah ia alami, dan tidak akan pernah terulang lagi.
"Saya suka bagaimana Onghokham meminta Mas Andi memilih buku dari perpustakaannya. Kemudian Mas Andi diminta menaruh buku tersebut di sebelah tempat tidurnya," kata saya, "Itu salah satu cara Onghokham menunjukkan ketertarikannya pada minat 'muridnya'. Bagi saya, seorang guru itu manis sekali. Guru harus belajar apa yang menjadi ketertarikan siswanya."
Entah apa yang ada di kepala Mas Andi saat itu. Mungkin dia tidak pernah membayankan bahwa seorang membaca bukunya dari perspektif yang saya ambil, dari sudut pandang seorang guru. Hal yang paling menarik dari buku tersebut adalah bagaimana dua orang (guru dan murid) saling belajar satu sama lain melalui proses dialog dan interaksi. Benar-benar hubungan guru dan murid yang bikin iri.
Saya dan Andi Achidan membahas banyak hal lain. Tentang pelajaran sejarah di sekolah, buku teks dan LKS IPS yang rendah kualitasnya, tentang pentingnya membangun minat baca guru, dan banyak hal lagi. Mas Andi sebenarnya sangat ingin membantu guru-guru dalam memperbaiki pembelajaran sejarah di sekolah, termasuk dengan menulis buku-buku sejarah yang kiranya menarik untuk dibaca oleh siswa.
Belakangan ini Andi Achdian mengontak saya lagi. Buku "Sang Guru dan Secangkir Kopi : Sejarawan Onghokham dan Dunia Baru Bernama Indonesia" mau diterbitkan lagi dan saya diminta untuk membantunya menyelenggarakan bedah buku tersebut bersama guru-guru. Saya langsung bersemangat. Saya merasa teman-teman guru harus membaca 'Sang Guru dan Secangkir Kopi : Sejarawan Onghokham dan Dunia Baru Bernama Indonesia' . Jadi, tentu saja saya sangat bersedia membantunya!
Comments