[KLIPING] Sepotong Cerpen Untuk 'Guruku'’ (Oleh Djenar Maesa Ayu)


SEPOTONG CERPEN UNTUK ‘GURUKU’
Oleh : Djenar Maehasa Ayu
Sumber: Readers Digest Indonesia April 2010, h.25 – 28


Gara-gara sebuah cerpen yang mampu menggetarkan hati, saya kembali menyiapkan alat tulis dan menulis lagi.

Secara tak sengaja saya menemukan sebuah cerpen di surat kabar ternama negeri ini. ‘Sepotong Senja Buat Pacarku’, (1993) begitu judul cerpen itu. Ah, begitu absurd judulnya! Apa sih maksudnya dengan senja yang hanya sepotong? Berawal dari judul yang ajaib itu, saya langsung terprovokasi untuk terus membaca kelanjutan isi cerpen tersebut.

Penulis cerpen tersebut menurut saya memang benar-benar gila! Dia berhasil membuat saya – manusia yang malas membaca – untuk terus mengikuti kisah mengenai seorang pencuri senja sampai habis tuntas. Seno Gumira Ajidarma, begitu nama penulis cerpen itu. Nama itu terekam kuat di kepala.

Saat membaca cerpen itu saya masih berusia 19 dan sedang ditinggal oleh suami saya (sekarang mantan suami), yang tengah menyelesaikan kuliah di luar negeri. Mungkin karena ada rasa cinta dan rindu yang mendalam saat membacanya, saya melihat bahwa tak ada ungkapan cinta yang lebih sempurna, dari sebuah cerpen yang ceritakan begitu cintanya seorang lelaki pada kekasihnya sampai-sampai ia memotong senja sebesar kartu pos, yang tentu saja membuat geger satu kota.

Saya merasa harus berbagi cerpen itu pada pasangan saya. Dengan keinginan menggebu, saya menuliskan ulang cerpen. Yah, saya benar-benar menyalin cerpen itu dengan tulisan tangn dan mengirimkannya lewat pos padanya. Saya ingin agar dia tahu perasaan saya kepadanya sama seperti isi cerpen itu. Sayangnya, walau dia mengagumi usaha saya menulis ulang isi cerpen itu, dia hanya bisa bertanya ‘huh? Apa sih maksudnya cerita ini?’ Hahaha… saya jadi kesal sendiri.

Tapi ada hal baik yan dihasilkan dari tindakan saya menulis ulang cerpen itu. Saya tiba-tiba merasakan keinginan yang kuat untuk kembali menulis. Sebuah kegiatan yang dulu saya rajin lakukan saat Sekolah Dasar. KEtika menulis ulang kata-kata imajinatif Seno, saya mengenang kegemaran saya terhadap cerita-cerita Hans Christian Andersen. Saat pena saya bergerak menuliskan kembali kata-kata Seno, saya kembali merasakan nikmatnya menulis – sebuah kegiatan yang saya tinggalkan saat SMP dan SMA karena terlalu sibuk berpacaran.

Saya langsung merengek minta dibelikan mesin tik kepada suami saya. Dia hanya tertawa dan berkata, ‘Ih norak banget sih! Sekarang kan jamannya computer!’ Akhirnya saya dibelikan seperangkat computer – sebuah alat yang sering saya abused  karena saya menulis tanpa henti seperti orang kerasukan. Cerpen milik Seno itu menjadi sebuah suntikan penyemangat yang ampuh.

Hasilnya? Sebuah cerita pendek berjudul ‘Mati’ menjadi karya saya yang pertama. Cerpen itu – besama empat lainnya – saya kirim pada Seno. Karena tak tahu alamat Seno, saya mengirimkannya kepada majalah tempat Seno bekerja, dengan harapan kelima karya itu ia baca dan diberi komentar, oleh karena itu saya juga mengirim data lengkap termasuk telepon dan alamat rumah.

Beberapa hari setelah itu saya menerima panggilan telepon. Coba tebak siapa yang menelepon? Ya, orang yang menelepon bernama lengkap Seno Gumira Ajidarma. Dia tertarik dengan karya saya! Bayangkan bagaimana perasaan saya saat itu? Seorang penulis yang saya kagumi tulisannya, menelepon untuk membahas tulisan saya! Wah!    

Selama beberapa jam kami berbicara. Mendiskusikan cerpen-cerpen yang saya kirim kepadanya. Saya merasa kaki tak menapak bumi. Saya menikmati sekali obrolan itu. Tak rela rasanya saya meletakkan gagang telepon untuk melakukan kegiatan lain, selain bicara dan berdiskusi dengan Seno. Sampai saya terpaksa menahan keinginan untuk ke kamar kecil agar tak perlu memutuskan obrolan kamu. Nanti kalau Seno tidak menelopn lagi, bagaimana?  Begitu piker saya. Walhasil, saya terpaksa menarik keranjang sampah yang ada di sebelah meja telepon dan buang air kecil di sana karena benar-benar sudah kebelet saat di tengah sebuah obrolan seru. 

Obrolan dengan Seno terus berlanjut beberapa kali setelah telepon pertama itu. Pada percakapan kami selanjutnya, kami membicarakan mengenai cerpen Sepotong Senja Buat Pacarku yang menjadi inspirasi saya untuk menulis kembali. Saat mendapati saya banyak bertanya mengenai tulisannya, Seno menanyakan apakah saya sudah membaca bukunya. “Wah, emang udah punya buku?” itu reaksi saya yang polos.

“Waduh, kamu ini payah banget!” ujar Seno. Setelah mendengar pengakuan saya yang tak suka membaca, tiba-tiba Seno menawarkan sesuatu yang tak mungkin saya tolak. “Kamu mau ikut kelas menulis kreatif saya di IKJ, ngak?” pertanyaan itu meluncur dengan santai. Saya mengiyakan tanpa piker panjang,

Hari pertama masuk kelas di sebuah institusi kesenian membuat saya merasa canggung. Saat absensi kelas diedarkan, saya tak tahu harus melakukan apa dengan lembaran itu. Tapi melihat yang lain mengisi namanya, yah saya ikut melakukannya. Kecanggungan tak berhenti di situ saja. Saat untuk pertama kali melihat ‘guru’ saya masuk ke ruangan kelas, kejutan-kejutan lain menanti saya.

“Nulis!” hanya itu yang diucapkan Seno pada kami yang berada di kelas itu sambil memasang music klasik yang memenuhi satu ruangan. Apa?! Nulis apa? Hampir semua anak di kelas – termasuk saya – bingung sambil mencoba mencerna maksud Seno. Setelah satu jam berlalu, kami diminta membuat esai berdasarkan buku berjudul Esai mengenai Esai di rumah untuk diserahkan pada pertemuan selanjutnya. 

Pertemuan kedua dengan kelas Seno masih memberikan kejutan. Saat berada di depan kelas, Seno membaca hasil tulisan kami yang dibuat minggu lalu. Dia pilih tulisan yang menurutnya paling baik dan dibacakan di depan kelas dan diperlihatkan mengapa tulisan tersebut dianggapnya baik. Melihat itu, saya punya obsesi membuat Seno membacakan tulisan saya di depan kelas itu. Kesempatan itu muncul saat Seno – seperti minggu sebelumnya berujar, “Nulis!” seraya menyalakan musik Rock yang kencang di kelas.Karena pengalaman minggu sebelumnya, saya sudah siap menulis. Apalagi ditambah dengan keinginan kuat agar tulisan saya dibaca di depan kelas.

Minggu ketiga, keadaannya masih sama. Yang beda adalah hari itu, tulisan saya yang dibacakan di kelas. “Ketika kalian sudah siap menulis hasilnya akan lebih baik disbanding dengan hari pertama saat kalian tak tahu apa-apa dan tidak siap,” begitu ujar Seno yang menunjukkan kepada kami semua bahwa saat siap menulis, tak peduli music apa yang sedang diputar, pasti semuanya tak akan menganggu konsentrasi menulis. Mendengar itu saya berjanji untuk selalu siap untuk menulis dan menulis saat sudah siap menulis, dan hal itu saya ingin tunjukkan di kelas menulis ini dengan cara berusaha agar tulisan saya dibacakan di depan kelas. Ada keinginan kuat dalam diri saya untuk membuat Seno kagum akan karya saya, dan hal itu selalu terjadi di hari-hari selanjutnya, karea tulisan-tulisan saya selalu dibacakan di kelas.

Setelah satu semester mengikuti kelas penulisan kreatif yang luar biasa itu, saya akhirnya bertemu secara langsung dengan Seno. Pertemuan dengan ‘guru’ yang biasanya hanya melalui telepon dan di kelas bersama mahasiswa lain, kini bisa dilakukan secara langsung.

Hari pertama kami bertemu itu, Seno langsung mengajak saya ke Bengkel Buku di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Berbekal dua plastic keranjang sampah besar, Seno mengambil berbagai buku di toko itu sampai kedua plastik itu penuh sesak. ‘Baca ini semua dan kita akan diskusikan semua buku yang ada itu satu per satu,” ujar Seno sambil menyodorkan kedua plastik itu.

Ternyata pelajaran belum selesai. Seno memaksa saya membaca buku-buku yang baik untuk modal menjadi penulis yang baik. Diskusi-diskusi bersamanya menambah wawasan saya. Dia adalah salah satu Orang dalam hidup saya yang saya anggap sebagai ‘guru’ dalam menulis.

Walau lelah dan sulit, selain mendapatkan berbagai ilmu lewat buku dan berdiskusi dengan Seno, semua hal  ini ternyata punya nilai plus lain. Saat teman saya, Richard Oh, datang ke rumah saya dan melihat rak buku saya, dia sampai terkejut. “Wah, gila!Buku-buku ‘lo bagus-bagus banget!” Saya hanya tersenyum. Wah, dia tidak tahu bahwa ‘guruku’, Seno Gumira Ajidarma, yang memiliki sebagian besar buku itu. Tentu saja keren!

---

Djenar telah menulis buku Mereka Bilang, Saya Monyet (2003), Jangan Main-main (dengan kelaminmu) (2005), Nayla (2005), Cerita Pendek Tentang  Cerita Cinta Pendek (2006). Cerpennya berjudul Waktu Nyala adalah Cerpen Terbaik Kompas 2003 dan cerpen Menyusu Ayah dinobatkan menjadi Cerpen Terbaik 2003 versi Jurnal perempuan. Kini Djenar tengah menyiapkan film ketiganya, setelah menyutradarai film Mereka Bilang Saya Monyet  (2007) dan Saia (2008)

Comments

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Belajar Tentang Keliling Bangun Datar Memecahkan Masalah

Standar Konten dan Standar Proses (NCTM, 2000)