Berawal dari Gen Si Kaki Ayam
Sepaket komik "Gen Si Kaki Ayam" sebanyak 20 seri saya dapatkan di pameran buku di Bandung dengan harga diskon besar-besaran saat itu (saya lupa detailnya). Ceritanya ternyata seru mengenai kondisi Jepang setelah terkena bom Hiroshima. Cukup miris membacanya. Intinya karena perang dunia, rakyat Jepang menderita. Di dalam buku Gen Si Kaki Ayam ada pesan bahwa pemimpin (saat itu) sibuk memikirkan perang padahal perang hanya akan membawa sengsara bagi rakyat jelata.
Setelah membaca buku tersebut, saya membawa satu set buku tersebut pada murid-murid saya di Sekolah Rumah Mentari, sebuah sekolah non-formal (saat itu untuk persiapan ujian paket B) di daerah Cirapuhan, Bandung.
Buku tersebut dibaca bergantian oleh murid-murid saya hingga lecek dan beberapa hilang lembarannya tak karuan (lem bukunya memang mudah copot). Seorang murid saya saat itu mengaku tidak terbiasa membaca buku (bahkan buku komik) dan terkesan sekali dengan buku tersebut. Suatu hari dia pernah berkata, "Gara-gara membaca buku Gen Si Kaki Ayam aku jadi suka baca. Ada buku lagi gak Kak?" tanyanya pada saya.
Kejadian tersebut sudah sekitar 3,5 tahun yang lalu. Murid saya tersebut kini sudah tumbuh lebih besar dan dewasadan hampir menyelesaikan sekolahnya di SMK Pariwisata bidang tata boga. Saat saya bertemu dengannya lagi dia mengatakan sudah membaca buku-buku lainnya, mulai dari Laskar Pelangi, Panggil Aku Kartini Saja, dan sedang menyelesaikan Tetralogo Pramudya Ananta Toer yang memang tersedia di perpustakaan Sekolah Rumah Mentari.
"Benarkah?" pikir saya. Ada bahagia terselip karena kemampuan membacanya sudah berkembang.
Dalam hati saya berharap bahwa kebiasaannya membaca akan diteruskannya hingga seumur hidupnya, memperkaya jiwaya, memperkaya pikirannya.
Setelah membaca buku tersebut, saya membawa satu set buku tersebut pada murid-murid saya di Sekolah Rumah Mentari, sebuah sekolah non-formal (saat itu untuk persiapan ujian paket B) di daerah Cirapuhan, Bandung.
Buku tersebut dibaca bergantian oleh murid-murid saya hingga lecek dan beberapa hilang lembarannya tak karuan (lem bukunya memang mudah copot). Seorang murid saya saat itu mengaku tidak terbiasa membaca buku (bahkan buku komik) dan terkesan sekali dengan buku tersebut. Suatu hari dia pernah berkata, "Gara-gara membaca buku Gen Si Kaki Ayam aku jadi suka baca. Ada buku lagi gak Kak?" tanyanya pada saya.
Kejadian tersebut sudah sekitar 3,5 tahun yang lalu. Murid saya tersebut kini sudah tumbuh lebih besar dan dewasadan hampir menyelesaikan sekolahnya di SMK Pariwisata bidang tata boga. Saat saya bertemu dengannya lagi dia mengatakan sudah membaca buku-buku lainnya, mulai dari Laskar Pelangi, Panggil Aku Kartini Saja, dan sedang menyelesaikan Tetralogo Pramudya Ananta Toer yang memang tersedia di perpustakaan Sekolah Rumah Mentari.
"Benarkah?" pikir saya. Ada bahagia terselip karena kemampuan membacanya sudah berkembang.
Dalam hati saya berharap bahwa kebiasaannya membaca akan diteruskannya hingga seumur hidupnya, memperkaya jiwaya, memperkaya pikirannya.
Comments