Guru-guru yang istimewa: Mereka yang memiliki kekuatan dari dalam
Seorang rekan guru, yang juga seorang trainer baru kembali dari sebuah daerah yang pernah (atau masih?) mengalami konflik di Indonesia. Di sana ia meminta para guru-guru menceritakan pengalaman pertama mereka mengajar. Dan ini adalah salah satu kisah mengenai seorang guru yang punya kisah luar biasa. (Saya akan gunakan nama samaran untuk menggantikan nama aslinya)
Rekan saya begitu kagum dengan cerita yang disampaikan Ibu ABC, begitu pula saya. Tapi kisah di atas mengingatkan saya atas sesuatu yang telah begitu lama saya percaya.
Saya selama ini sangat percaya bahwa kita tidak bisa mengajarkan orang lain mengenai sesuatu yang "bukan diri kita". Maksudnya, saya selama ini percaya bahwa hanya guru yang berani yang bisa mengajarkan murid-muridnya mengenai keberanian. Hanya guru yang berjiwa besar yang bisa mengajarkan murid-muridnya mengenai berjiwa besar, Hanya guru yang sederhana yang bisa mengajarkan murid-muridnya tentang kesederhanaan. Hanya guru-guru yang pantang menyerah yang bisa mengajarkan murid-muridnya mengenai kegigihan. Hanya guru yang berkarakterlah yang bisa mendidik murid-murid menjadi berkarakter.
Seorang sahabat saya sempat curhat, "Saya ingin agar murid-murid saya bisa hidup sederhana, bisa menabung, tidak boros, tapi kemarin seorang muridku memergokiku sedang makan di sebuah restoran fast food padahal saya mengajarinya membawa bekal ke sekolah. Saya malu sekali."
Sahabat saya kini sedang berusaha sekali agar ia bisa menjadi pribadi yang ia impikan, pribadi yang sederhana dan tidak boros. Ia berkata padaku bahwa ia tidak ingin mengajarkan sesuatu yang ia sediri tidak lakukan. "Ngak ngaruh kalau ngak. Ngak kena soul-nya," begitu katanya.
Dua orang sahabat saya yang lainnya memiliki ibu seorang guru. Tapi, guru di zaman dulu. Meski sekarang masih banyak guru yang penghidupannya di bawah layak, kini sudah ada beberapa guru yang memiliki penghasilan yang cukup besar, sehingga mereka tidak perlu bekerja lagi untuk menghidupi keluarga. Mereka bisa fokus di pengembangan diri, membaca, meningkatkan pengetahuan dan banyak lagi.
Kedua orang sahabatku yang ini memiliki kisah yang cukup mirip. Ibu mereka, selain harus mengajar menjadi guru, juga harus mengerjakan pekerjaan lainnya seperti berladang, sehingga bisa menghidupi keluarga.
"Ibuku sekarang jadi kepala sekolah, dan sekolah tempat ibuku mengajar sekarang mendapatkan dana yang cukup untuk gaji guru, dan juga mendapatkan dana BOS. Ibuku menggunakan dana tersebut untuk membeli buku, dan langanan koran di sekolah. Katanya memang harus dari dulu begitu, gaji guru harus mencukupi sehingga bisa untuk pengembangan diri. Dulu ibuku mana sempat. Harus kerja selain mengajar. Juga memasak dan mengurus keluarga."
Sahabatku yang lain, memiliki ibu yang setiap hari setelah pulang mengajar harus bekerja di sawah dan juga mengurus keluarga. Beras didapatkan dari pekerjaannya bertani, sehingga ia memiliki cukup uang untuk membiayai kelima putra-putrinya sekolah hingga tinggi. Ibunya juga berpendapat sama, bahwa memang sehrausnya guru memiliki penghasilan yang memadai agar memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri.
Saya sungguh setuju, bahwa guru memang harus diperhatikan kesejahteraannya. Tetapi berdasarkan cerita kedua sahabat saya, saya tahu bahwa ibu mereka masing-masing merupakan guru yang luar biasa. Mereka memiliki kualitas yang mungkin tidak (atau belum) saya atau guru-guru muda lainnya miliki. Mereka bertahun-tahun berjuang menghadapi hidup dengan kerja keras. Tanpa perlu bicara, mereka bisa mengajarkan muird-muridnya mengenai kerja keras. Mereka bertahun-tahun hidup dengan kondisi ekonomi yang sulit, harus hidup sederhana tapi tidak pernah menyerah. Tanpa kata mereka pasti bisa menjadi inspirasi bagi murid-muridnya mengenai bertahan dalam kondisi sulit, kesederhanaan, dan sifat pantang menyerah. Semuanya karena kerja keras, kesederhanaan, dan sifat pantang menyerah merupakan bagian menyeluruh dari kepribadian mereka. Kepribadian guru-guru yang istimewa.
Tiba giliran seorang ibu guru bernama Ibu ABC. Beliau ternyata telah mengajar lebih dari 25 tahun! Wah, hebaaattt...Ibu ABC bercerita bahwa ketika beliau mulai mengajar adalah di suatu desa (saya lupa namanya) yang menjadi awal peperangan Pihak X dengan Pihak Y. Beliau bercerita, ketika itu baik X maupun pasukan Y tidak pandang bulu. Mereka menyerang, masuk ke sekolah2 ketika anak2 sedang belajar, bahkan ada yang menghadapi ujian seperti sekolah ABC saat itu. Dengan berapi-api Ibu ABC menceritakan bagaimana ia melawan X yang masuk dengan paksa dan berusaha menyelamatkan anak2 dengan membawa mereka keluar dari sekolah mengungsi ke gunung-gunung. Dengan berani, Ibu ABC membawa murid2nya pergi dengan "labi-labi" semacam angkutan umum, seperti angkot di daerah Bogor. Menurut ABC, labi2 ketika itu penuh dengan orang bersenjata.
Satu hal yang saya salut dari Ibu ABC adalah, kebesaran jiwanya yang berusaha menyelamatkan murid2nya dengan berani. Sewaktu saya menanyakan kepada beliau bagaimana perasaan beliau ketika itu, beliau menjawab seperti ini, "Entah mengapa, tidak ada rasa segan, takut, atau ciut hati ketika saya menghadapi orang2 bersenjata itu yang masuk ke kelas saya. Yang ada di kepala saya adalah bagaimana saya harus menyelamatkan murid2 dari orang2 kejam yang tak kenal welas asih. Mereka menyiksa salah satu guru kami di depan anak2 karena guru kami itu dicurigai sebagai orang dari pihak Y. Satu hal yang ada di kepala saya, anak2 harus pergi dari situ. Saat itu tidak ada rasa takut sedikit pun. Namun, satu minggu setelah kami pergi mengungsi, saya menjadi trauma akan peristiwa itu..."
Rekan saya begitu kagum dengan cerita yang disampaikan Ibu ABC, begitu pula saya. Tapi kisah di atas mengingatkan saya atas sesuatu yang telah begitu lama saya percaya.
Saya selama ini sangat percaya bahwa kita tidak bisa mengajarkan orang lain mengenai sesuatu yang "bukan diri kita". Maksudnya, saya selama ini percaya bahwa hanya guru yang berani yang bisa mengajarkan murid-muridnya mengenai keberanian. Hanya guru yang berjiwa besar yang bisa mengajarkan murid-muridnya mengenai berjiwa besar, Hanya guru yang sederhana yang bisa mengajarkan murid-muridnya tentang kesederhanaan. Hanya guru-guru yang pantang menyerah yang bisa mengajarkan murid-muridnya mengenai kegigihan. Hanya guru yang berkarakterlah yang bisa mendidik murid-murid menjadi berkarakter.
Seorang sahabat saya sempat curhat, "Saya ingin agar murid-murid saya bisa hidup sederhana, bisa menabung, tidak boros, tapi kemarin seorang muridku memergokiku sedang makan di sebuah restoran fast food padahal saya mengajarinya membawa bekal ke sekolah. Saya malu sekali."
Sahabat saya kini sedang berusaha sekali agar ia bisa menjadi pribadi yang ia impikan, pribadi yang sederhana dan tidak boros. Ia berkata padaku bahwa ia tidak ingin mengajarkan sesuatu yang ia sediri tidak lakukan. "Ngak ngaruh kalau ngak. Ngak kena soul-nya," begitu katanya.
Dua orang sahabat saya yang lainnya memiliki ibu seorang guru. Tapi, guru di zaman dulu. Meski sekarang masih banyak guru yang penghidupannya di bawah layak, kini sudah ada beberapa guru yang memiliki penghasilan yang cukup besar, sehingga mereka tidak perlu bekerja lagi untuk menghidupi keluarga. Mereka bisa fokus di pengembangan diri, membaca, meningkatkan pengetahuan dan banyak lagi.
Kedua orang sahabatku yang ini memiliki kisah yang cukup mirip. Ibu mereka, selain harus mengajar menjadi guru, juga harus mengerjakan pekerjaan lainnya seperti berladang, sehingga bisa menghidupi keluarga.
"Ibuku sekarang jadi kepala sekolah, dan sekolah tempat ibuku mengajar sekarang mendapatkan dana yang cukup untuk gaji guru, dan juga mendapatkan dana BOS. Ibuku menggunakan dana tersebut untuk membeli buku, dan langanan koran di sekolah. Katanya memang harus dari dulu begitu, gaji guru harus mencukupi sehingga bisa untuk pengembangan diri. Dulu ibuku mana sempat. Harus kerja selain mengajar. Juga memasak dan mengurus keluarga."
Sahabatku yang lain, memiliki ibu yang setiap hari setelah pulang mengajar harus bekerja di sawah dan juga mengurus keluarga. Beras didapatkan dari pekerjaannya bertani, sehingga ia memiliki cukup uang untuk membiayai kelima putra-putrinya sekolah hingga tinggi. Ibunya juga berpendapat sama, bahwa memang sehrausnya guru memiliki penghasilan yang memadai agar memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri.
Saya sungguh setuju, bahwa guru memang harus diperhatikan kesejahteraannya. Tetapi berdasarkan cerita kedua sahabat saya, saya tahu bahwa ibu mereka masing-masing merupakan guru yang luar biasa. Mereka memiliki kualitas yang mungkin tidak (atau belum) saya atau guru-guru muda lainnya miliki. Mereka bertahun-tahun berjuang menghadapi hidup dengan kerja keras. Tanpa perlu bicara, mereka bisa mengajarkan muird-muridnya mengenai kerja keras. Mereka bertahun-tahun hidup dengan kondisi ekonomi yang sulit, harus hidup sederhana tapi tidak pernah menyerah. Tanpa kata mereka pasti bisa menjadi inspirasi bagi murid-muridnya mengenai bertahan dalam kondisi sulit, kesederhanaan, dan sifat pantang menyerah. Semuanya karena kerja keras, kesederhanaan, dan sifat pantang menyerah merupakan bagian menyeluruh dari kepribadian mereka. Kepribadian guru-guru yang istimewa.
Comments