Mencoba Mengenal Budaya Indonesia Melalui Bacaan: Sebuah Refleksi

Setelah melakukan Uji Coba Training of Trainers (TOT) Gernas Tastaba (Juli - Agustus 2021) ada beberapa perbaikan bahan yang kami lakukan.  TOT kami terdiri dari enam pertemuan.  Temanya  ada tiga. Pertama, "Menjadi Pembaca Aktif" untuk mendorong teman-teman guru SD untuk menjadi pembaca aktif sebelum mengajarkan siswanya membaca. Kedua, "Membaca Dasar" untuk belajar kembali caranya mengajar anak yang belum bisa membaca sehingga bisa membaca. Ketika, "Membaca Bermakna" untuk membantu guru belajar caranya memfasilitasi anak agar bukan hanya bisa membunyikan bacaan, tetapi bisa memaknainya. 

Awalnya, masing-masing tema disampaikan dalam 2 pertemuan masing-masing 5 jam. Namun, kini tema pertama disampaikan dalam satu pertemuan, tema kedua dalam 2 pertemuan, dan tema ketiga dalam tiga pertemuan. Kami juga menggunakan dan memodifikasi bahan yang telah dikembangkan oleh Credo Foundation untuk tema Membaca Dasar (lihat https://www.youtube.com/channel/UCbME3gwMJDJVfAhv924l7jA/videos ). Btw, terima kasih banyak kepada Credo Foundation untuk dukungannya. 


Tim konten juga mengembangkan buku kerja (workbook) .Kami telah menyediakan beberapa teks yang terkait tema TOT yang dibahas. Teks yang kami sediakan beragam. Ada yang terkait teori tentang belajar dan mengajar membaca, ada juga teks puisi, lirik lagu, cerita pendek, potongan novel, juga teks non fiksi seperti biografi, dan teks terkait Ilmu Pengetahuan Alam maupun Ilmu Pengetahuan Sosial. Kami juga menyediakan ruang bagi teman-teman guru untuk merefleksikan bacaan maupun kegiatan yang dilakukan selama TOT. Sambil mengikuti TOT, teman-teman guru berlatih membuat pertanyaan terkait teks, menganalisis teks, dan menggunakan pengatur grafis (graphic organizer) sebagai alat untuk memaknai teks. Semua keterampilan yang diperlukan guru apapun saat ingin mengajarkan siswa-siswanya membaca secara bermakna.

Meskipun peserta TOT Gernas Tastaka akan memperoleh sertifikat jika menamatkan rangkaian pelatihan, namun dengan mengisi buku kerja, sebenarnya peserta jadi memiliki semacam portfolio yang menunjukkan proses belajar dan perkembangan pemikiran selama enam minggu berproses bersama.  Selain itu, buku kerja ini bisa menjadi bahan bagiteman-teman peserta TOT yang mau mempelajari kembali bahan-bahan Gernas Tastaba, karena nanti para peserta perlu membagikan apa yang dipelajari kepada guru lain. 

Salah satu kesulitan Gernas Tastaba adalah mengumpulkan teks yang boleh kami gunakan untuk kegiatan Gernas Tastaba, khususnya yang tidak melanggar hak cipta. Rencananya memang buku kerja ini akan kami cetak, sehingga kami ingin agar bahan yang tersedia memang tidak melanggar hak cipta. Akhirnya kami menggunakan beberapa bahan open resources yang ada di internet (kami menyediakan link untuk membaca teks langsung di internet). Selain itu, kami juga meminta izin kepada beberapa teman penulis (fiksi, teks sejarah, lirik lagu) agar tulisannya boleh kami gunakan. Beberapa teks kami buat sendiri, seadanya. 

Saya sendiri ikut menyumbang beberapa teks, diantaranya teks tentang alat musik Tifa dari Maluku dan Papua dan tentang orang Bajo. Keduanya teks pendek, hasil ringkasan dari bacaan-bacaan yang saya temukan di internet. Ntah kenapa, saya memang ingin membuat tulisan yang berhubungan dengan budaya Indonesia.  Saya tiba-tiba teringat pada acara TV sewaktu saya kecil "Anak Seribu Pulau" karya Garin Nugroho. Waktu saya mengunjungi perpustakaan Sanggar Anak Akar saya menemukan sekumpulan buku "Anak Seribu Pulau" yang tampaknya merupakan pelengkap dari serial TV tersebut. Kira-kira buku-buku tersebut masih bisa didapatkan gak yah?

Membuat buku kerja Gernas Tastaba membuat saya makin menyadari betapa sedikitnya pengetahuan saya, tentang budaya Indonesia. Saya merasa teks tentang Tifa maupun suku Bajo yang saya tuliskan tidaklah sempurna. Sumbernya hanya beberapa bacaan seadanya dari internet. Mungkin saja, topiknya tidak saya kuasai dengan baik.\

Maka, setelahn TOT berakhir, saya mulai membaca lagi. Saya menemukan buku "Orang Halmahera: Sebuah Catatan dari Lapangan" karya Faris Bobero. Narasi di buku itu bagus sekali. Kisah-kisah tentang orang biasa dii Halmahera dan sekitarnya. Membacanya membuat saya ingin kembali ke Maluku dan menjelajahi pulau-pulaunya, bertemu kembali dengan orang-orangnya (kalau bisa pergi ke sana sebulan, tak hanya 4 hari seperti yang saya lakukan di tahun 2018 bersama Gernas Tastaka).

 Penulis buku ini tampaknya orang Halmahera yang lama tidak tinggal di sana, lalu kemudian kembali menjelajahi Halmahera dan menuliskan catatan lapangannya berupa buku ini. Kata penulisnya:

"Saya sadar bahwa cerita pengalaman dalam buku ini, bukan produksi pengetahuan, Meski begitu, saya berharap buku ini menjadi 'jalan pulang' - setelah ditampar dengan kata-kata oleh kerabat atau bisa dibilang senior di luar daerah Maluku. "Kenapa selalu kami, dari luar daerah Maluku yang menulis tentang kehidupan di Halmahera, kenapa bukan kalian?" Hal ini menjadi motivasi tentang orang-orang di pulau Halmahera.



Buku di atas merupakan sebuah karya non fiksi tentang orang-orang Halmahera. Saya ingin juga menjelajah buku-buku yang membantu pemahaman saya tentang budaya Indonesia, diantaranya melalui karya fiksi. Ternyata di Gramedia saya menemukan seri buku anak karya Okky Madyasari tentang seorang tokoh bernama Mata. Bukunya ada beberapa seri. Yang saya baca berjudul "Mata di Tanah Melus". 

Ternyata itu fiksi anak yang sangat menarik. Dari fiksi tersebut, saya jadi belajar mengenal Belu, daerah di NTT yang merupakan perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste. 


Tokoh utamanya anak Jakarta bernama Mata. Awalnya Mata merasa malas ketika tahu diajak mamanya berangkat berlibur. Berliburnya bukan ke Bali, Lombok, atau daerah-daerah lain yang biasa dikunjungi teman-temannya.  

Saat awal membaca bukunya  saya sempat sebal dengan tokoh Mata maupun mamanya. Saya merasa keduanya "norak" dan tidak respek terhadap budaya lokal. Mata misalnya mengeluhkan sarapan di hotel yang berupa nasi telur, dan mie, tidak seperti buffet di hotel yang biasa dikertahuinya. Mamanya Mata sempat mencela upacara adat di Belu.

Tapi lama-lama baca kok makin seru. Mata juga tampaknya mengalami transformasi karakter seiiring dengan pengalaman-pengalaman yang dirasakannya selama di Belu. Saya jadi ingat pernyataan Pak Yudhistira Massardi, penulis "Arjuna Mencari Cinta,". Menurutnya cerita yang baik itu bukanlah ketika si tokoh baik terus atau jahat terus tetapi ketika sang tokoh bertransformasi karakternya sesuai pengalaman yang dialaminya.  

Menariknya, karena  berupa fiksi, penulis tampak lebih bebas mengeksplorasi gagasan-gagasan yang bukan hanya soal fakta-fakta menarik tentang Belu. Penulis memang bercerita tentang beberapa info menarik misalnya tentang Benteng Lapis 7, dan Padang Fulan Fehan yang luas. Tapi pembaca juga diajak untuk berimajinasi seakan-akan kita bisa ikut merasakan sejarah dan mitos-mitos terkait Belu, khususnya khususnya tentang suku Melus, penghuni pertama wilayah Belu. 

Setelah baca saya kepo, jadi penasaran tentang Belu. Saya baca-baca di internet lalu menemukan artikel yang ditulis oleh Okky Madyasari . Ternyata Okky pernah menuliskan latar belakangnya menulis buku tersebut di sini : 

Menurut saya ini, buku yang menarik yang bisa dibaca bersama dan dibahas mungkin di kelas 6 SD atau di SMP. Menarik sekali. 





 



Comments

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Belajar Tentang Keliling Bangun Datar Memecahkan Masalah

Standar Konten dan Standar Proses (NCTM, 2000)