Gernas Tastaka (1):Cerita Inisiasi Gerakan Nasional Berantas Buta Matematika (Gernas Tastaka)

Sekitar minggu ketiga September 2018, saya dikontak oleh Pak Ahmad Rizali (Pak Nanang). Beliau mengajak untuk bikin gerakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan matematika, baik di sekolah maupun di masyarakat. Gerakan ini berangkat dari kegelisahan Pak Nanang ini dituangkannya dalam tulisan "Indonesia Darurat Matematika" yang dimuat di Kompas.Com pada 24 September 2018. Saya telah mengenal Pak Nanang cukup lama. Pak Nanang merupakan pendiri Ikatan Guru Indonesia (IGI), dan saya pernah jadi pengurusnya (2009 - 2016). Sebelumnya, saya sudah mengenal Pak Nanang lewat tulisan-tulisannya di mailing-list Center for Betterment of Indonesai (CFBE). Saya tahu, kalau Pak Nanang yang mengajak bikin gerakan, pasti tidak main-main, akan dikerjakan dengan sangat serius. Banyak yang tidak tahu, tapi Pak Nanang merupakan otak di belakang beberapa gerakan pendidikan di Indonesia, diantaranya  Gerakan Indonesia Mengajar (GIM), pengiriman guru untuk mengajar di perbatasan Indonesia-Malaysia, pendiri IGI, dan banyak lagi.


25 September 2018, malam Pak Nanang mengajak saya dan beberapa orang lain berkumpul di kantor Majelis Wali Amanat (MWA) Universitas Indonesia (UI) untuk membahas gerakan tentang matematika yang saat itu belum ada namanya.

Untuk rapat tersebut, saya mengajak Woro Retno Kris (Woro), alumni Sampoerna School of Education (SSE) yang kini merupakan guru matematika di sebuah SMP swasta di Jakara. Woro memang sering terlibat di berbagai kegiatan-kegiatan pendidikan, diantaranya menulis artikel-artikel untuk WikiEdu Indonesia, memberikan masukan untuk revisi kurikulum matematika nasional, menyelenggarakan kegiatan Anak Muda Bicara Pendidikan, serta mendesain dan memfasilitasi workshop matematika untuk guru SD,  bekerja sama dengan IGI Jakarta Timur. Melibatkan Woro di gerakan ini memang tepat. Tanpa diminta, Woro langsung mengajak beberapa teman-temannya (Susi Dariah, Devi Heryanti, Hana Sofyana)  untuk membantu gerakan ini. Dari Oktober sampai sekarang,  tim ini berkumpul hampir setiap akhir pekan untuk mendesain rangkaian lokakarya matematika untuk guru SD yang turut menjadi roh gerakan ini.

Di lokasi rapat, telah hadir Pak Setiawan Agung Wibowo (Pak Agung), yang berlatar belakang Sastra Inggris.  Kini Pak Agung merupakan pelatih guru nasional. Di awal karirnya, Pak Agung sempat menjadi guru Sekolah Dasar (SD) di Cita Buana.  Guru SD biasanya harus mengajar beberapa mata pelajaran sekaligus, termasuk matematika. Agar bisa mengajar matematika dengan baik, Pak Agung  memutuskan untuk belajar matematika secara mandiri dengan membaca. Beberapa orang pernah mengatakan bahwa guru matematika SD seharusnya lulusan matematika karena mengajarkan hal yang sifatnya basic. Dalam hal ini, Pak Agung dan saya tampaknya punya opini lain. Kami sama-sama percaya bahwa  untuk mengajar matematika SD, seseorang tidak harus lulusan jurusan matematika. Namun, semua guru SD harus punya dasar yang cukup baik dalam matematika, seperti halnya semua guru SD harus punya kemampuan literasi yang baik. 

Juga ada   Vyan Tashwirul Afkar, mahasiswa anggota MWA UI dan Ares, mahasiswa Fisika UI. Ares sempat bercerita, waktu masih bersekolah di SMA Thamrin, Jakarta, dia pernah menginisiasi semacam klub belajar matematika di sekolah. Teman-temannya, sesama siswa SMA diajak mengajar anak-anak di sekitar sekolah. Lokasi belajarnya di SMA tersebut. Baik Afkar dan Ares berencana untuk mendorong kampus dan SMA untuk membuat ruang bagi publik untuk menciptakan klub-klub belajar semacam itu.

Di pertemuan tersebut, belum ada kesepakatan tentang nama gerakan. Namun, semuanya sepakat bahwa gerakan yang akan dilakukan akan difokuskan untuk mendorong adanya proses bermatematika di kelas matematika. Selain itu, gerakan ini juga akan mendorong orang tua, masyarakat, dan media untuk terlibat memberikan kesempatan bagi setiap anak Indonesia untuk belajar matematematika secara lebih berkualitas, yakni yang senantiasa mengajak anak mengembangkan kemampuan bernalarnya.

Berbagai hasil studi memang menunjukkan ada masalah dalam pembelajaran matematika di sekolah. Studi-studi tersebut diantaranya Program for International Student Assessment (PISA), Trends in International Mathematics and Science Studies (TIMSS), Indonesian Nasional Assessment Program (INAP) dan studi Research on Improving Systems of Education (RISE). Semuanya menunjukkan bahwa sebagian besar siswa-siswa Indonesia kesulitan dalam menyelesaikan masalah-masalah matematika yang lebih dari sekadar mengandalkan 'hafalan'. Siswa-siswa Indonesia tergolong kesulitan menyelesaikan masalah-masalah matematika yang bersifat aplikatif dan membutuhkan penalaran.

Meskipun tidak menggambarkan kondisi Indonesia secara keseluruhan, dari hasil diskusi mengenai pengalaman lapangan, ada kasus-kasus di mana siswa belajar matematika dengan sekadar menghafalkan rumus. Siswa tidak diajak mengkomunikasikan penalaran mereka, misalnya mengapa mengaggap suatu gagasan matematis benar dan tidak.  Gerakan ini bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah semacam itu, kondisi di mana tidak ada proses bernalar di kelas matematika.

Nama gerakan sempat berganti-ganti mulai dari Gerakan Berantas Buta Matematika Dasar, Gerakan Pemberantasan Buta Berhitung, Gerakan Melek Angka (Gema), Gerakan Melek Bilangan (Gembil). Setelah perdebatan yang terjadi beberapa minggu lamanya, seluruh tim pengagas sepakat pada nama Gerakan Nasional Berantas Buta Matematika (Gernas Tastaka).

Berlanjut...

Keterangan:
Mau terlibat Gernas Tastaka? Silakan follow Halaman Facebook Gernas Tastaka untuk komunikasi dengan tim. Halaman Facebook Gernas Tastaka:   https://www.facebook.com/groups/491153798044594/ .

Comments

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Memahami Pembelajaran Terintegrasi (Bagian 1) : Definisi & Manfaat Pembelajaran Terintegrasi

Standar Konten dan Standar Proses (NCTM, 2000)