Agen Schooling di Antara Pegiat-pegiat Pendidikan Alternatif.

Foto bersama teman-teman pegiat dan anak-anak dari berbagai komunitas pendidikan alternatif ketika Pertemuan Nasional 2 Pendidikan Alternatif di Dusun Genting, Semarang (28 Oktober 2018)
Sejak tahun 2002-an, saya sudah banyak berteman dengan teman-teman yang bergiat di pendidikan alternatif. Waktu masih mahasiswa, saya ikut berkunjung ke Qaryah Thayibah, Salatiga. Saya menginap di sana selama beberapa malam, mempelajari bagaimana anak-anak Qaryah Thayibah belajar. Beberapa waktu berikutnya saya diajak Kang Rahmat Jabaril (pendiri Komunitas Taboo, Bandung) untuk jadi co-fasilitator lokakarya pembuatan peta wilayah, di Sekolah Sururon, Garut (binaan teman-teman Sarikat Petani Pasundan). Selama masih berkuliah di Bandung, saya cukup sering ketemu dan sesekali berkegiatan bersama teman-teman Kalyanamandira (yang mengurus anak-anak di Rumah Tahanan di Jalan Jakarta, Bandung).  Kini pun saya masih sering ketemuan dengan teman-teman pegiat pendidikan lainnya seperti dari Sanggar Anak Akar, Erudio School of Art (yang menggunakan pendekatan democratic school),  dan lainya. Teman-teman ini, biasanya mengajar di komunitas-komunitas pendidikan non-formal, biasanya bentuknya bukan sekolah. 


Meskipun begitu, pendidikan alternatif tidak selalu berbentuk komunitas pendidikan non-formal. Ada juga lembaga pendidikan alternatif yang berbentuk sekolah, seperti kata Jery Mintz di bawah ini:

... pendidikan alternatif dapat dikategorikan dalam empat bentuk pengorganisasian, yaitu; sekolah publik pilihan (public choice); sekolah/lembaga pendidikan publik untuk siswa bermasalah (student at risk); sekolah/lembaga pendidikan swasta/independent dan pendidikan di rumah (home-based schooling).

Sekolah-sekolah yang menjalankan praktik pendidikan alternatif, biasanya filosofi dan praktik sekolahnya berbeda (jauh) dengan teman-teman di sekolah mainstream. Kalau di sekolah pada umumnya (di Indonesia), siswa dan guru harus pakai seragam, di sekolah yang menerapkan pendidikan alternatif tidak. Kalau biasanya daftar mata pelajaran ditentukan oleh pihak sekolah (sesuai aturan dari Dinas Pendidikan), di sekolah yang menerapkan pendidikan alternatif memungkinkan jadwal pelajaran merupakan hasil kesepakatan bersama, bahkan bisa ditentukan oleh siswa. 

Saya sendiri sebenarnya lebih fokus pada 'sekolah' pada umumnya (mainstream). Saya memilih untuk bergerak di dunia persekolahan, salah satunya melalui pendidikan guru. Kenapa memilih bergerak di dunia persekolahan? Jumlah sekolah (pendidikan formal) di Indonesia itu banyak sekali. Otomatis jumlah guru dan siswanya juga banyak. Seandainya saja, kualitas pendidikan di sekolah bisa membaik, sistemnya bisa lebih memerdekakan anak, maka efeknya akan besar.

Karena fokus pada sekolah, saya sering dibercandain oleh teman-teman pegiat pendidikan alternatif sebagai 'agen schooling'. Terkadang mereka juga menyampaikan berbagai kritik tentang sistem persekolahan, misalnya bahwa sekolah seringkali mematikan kreativitas anak dan membuat anak takut menjadi dirinya sendiri.  Saya biasanya membenarkan beberapa kritik mereka sambil senyum dan  berkata, "Nah karena itulah sekolah perlu direformasi (atau revolusi?) dan saya mau berperan di sana".

Saya jadi ingat kata-kata Pakde Susilo Adinugroho (pendiri Sanggar Anak Akar). Katanya: 
“Pendidikan Alternatif, apapun bentuknya baik formal maupun tidak, pada dasarnya adalah pendidikan yang menghamba pada anak, bukan pada administrasi. Penyelenggara pendidikan alternatif senantiasa punya kerelaan untuk belajar pada anak.”

Bukankah lembaga-lembaga pendidikan yang mungkin bukan lembaga pendidikan alternatif tetap bisa belajar pada filosofi 'menghamba pada anak, bukan pada administras' tersebut? Sulit? Tentu. Lebih mengarah ke sana? Menurut saya masih sangat bisa. Mulainya tentu dengan hal-hal sederhana, misalnya membiasakan adanya budaya yang lebih demokratis di kelas dengan membiasakan dialog yang setara. Guru, misalnya tidak perlu marah apabila siswa memiliki pendapat atau pandangan yang berbeda. Perkataan-perkataan semacam, "Kamu (siswa) harus menurut karena saya (guru) berkata seperti itu)," mulai perlu dikurangi. Hal semacam itu bisa diganti dengan dialog dari hati ke hati.  Bayangkan betapa indahnya kalau itu terjadi?

Comments

Emma Williams said…
This comment has been removed by a blog administrator.

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Belajar Tentang Keliling Bangun Datar Memecahkan Masalah

Standar Konten dan Standar Proses (NCTM, 2000)