[REFLEKSI] Rencana Mengubah Cara Memberikan Umpan Balik


Sebagai seorang pengajar, saya telah banyak melakukan perubahan. Ketika pertama kali mengajar, di tahun 2002, saya banyak mengandalkan papan tulis dan kapur (iya, waktu itu masih menggunakan kapur).

Saya meringkas materi pelajaran, mencatatnya di papan tulis, dan siswa-siswa saya (yang waktu itu seusia SMP) mencatat. Saya banyak bicara, berceramah tentang apa yang sudah ditulis di buku. Mungkin, meniru beberapa pengajar yang pernah saya lihat sewaktu masih bersekolah.

Kini, cara mengajar saya sudah berubah. Ceramah, hampir tidak pernah saya lakukan lagi. Saya lebih banyak mengajar dengan mengajukan pertanyaan dan mengajak (maha)siswa mengerjakan berbagai aktivitas yang membuat mereka harus berpikir baik sendiri, berpasangan, ataupun dalam kelompok.

Namun, belakangan saya baru menyadari bahwa dalam memberikan umpan balik kepada (maha)siswa, saya masih sangat payah. Belum banyak perubahan dari pertama kali mengajar (yang sudah lebih dari 15 tahun yang lalu).

Ketika memberikan umpan balik, khususnya secara tertulis, kadang saya terlalu bias. Kadang lebih banyak menuliskan kekurangan (maha)siswa daripada kelebihannya.

Ketika hasil assessment (maha)siswa kurang memuaskan,  saya menulis umpan balik dengan nafsu  yang menggebu-gebu. Tinta merah menjadi teman saya dalam mencoret-coret pekerjaan (maha)siswa. Kadang tulisannya gede-gede saking nafsunya. Mungkin, ketika membacanya, (maha)siswa malah akan merasa jatuh dan bukan bersemangat untuk memperbaiki diri. Tentu bukan itu yang saya inginkan.

Saya pun iseng-iseng membaca beberapa artikel tentang memberikan umpan balik kepada (maha)siswa. Ada dua saran yang ingin saya coba di kemudian hari, yakni:

  1. Saya akan mencoba menuliskan umpan balik dengan dua jenis tinta, seperti biru dan hijau. Tinta biru,  untuk umpan balik yang sifatnya  positif, misalnya megomentari apa yang sudah baik dari hasil pekerjaan (maha)siswa. Tinta hijau digunakan untuk umpan balik yang sifatnya mengkritik. Menulis dengan dua tinta, memungkinkan saya  melihat (dengan mudah) bagaimana saya menuliskan umpan balik. Apakah lebih banyak mengomentari kelebihan atau kekurangan hasil kerja (maha)siswa? Kalau terlalu banyak tinta hijau misalnya, saya perlu memperbaiki cara saya menulis umpan balik. Gagasan ini saya dapatkan dari artikel 9 Ways to Give More Effective (Writing) Feedback). Tampak sederhana dan bisa dicoba. Yang jelas, saya akan berusaha menghindari menulis umpan balik dengan tinta merah. Tampaknya tinta merah membuat saya terlalu menggebu-gebu ketika menuliskan umpan balik. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, saya ingin menuliskan umpan balik dengan perasaan lebih tenang. 
  2. Terkait dengan rencana di atas, saya  juga mau lebih baik hati ketika memberikan umpan balik. I want to be more constructive, kind, and specific seperti saran yang ada di artikel Timely Feedback: Now or Never. Di artikel tersebut, guru diingatkan mengenai rasanya dievaluasi atasan (atau mungkin pengawas) dengan terus menerus dikritik mengenai kekurangannya. Tentu tidak enak, bukan? Itulah mengapa lebih baik mulai dengan menyampaikan apa yang sudah baik, dan kemudian menyampaikan mengenai apa yang perlu diperbaiki. Umpan balik juga harus spesifik, sehingga (maha)siswa tahu bagian mana yang perlu diperbaiki. 
Saya tidak akan muluk-muluk. Sementara saya akan mencoba dua hal di atas. Itu saja dulu.  Semoga dua langkah kecil ini bisa membawa saya melangkah lebih jauh dalam meningkatkan kualitas saya dalam memberikan umpan balik kepada (maha)siswa. 

Comments

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Belajar Tentang Keliling Bangun Datar Memecahkan Masalah

Standar Konten dan Standar Proses (NCTM, 2000)