Membaca "Soewardi Soeryaningrat di Pengasingan"


"Soewardi Soeryaningrat di Pengasingan" karya Dra. Irna H. N. Soewito (Balai Pustaka, 1991) menggambarkan kehidupan Soewardi Soeryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) sebelum dan setelah diasingkan di Belanda.

Buku tersebut memungkinkan saya mengenal sisi Ki Hadjar Dewantara yang tidak saya ketahui sebelumnya. Saya baru tahu bahwa Ki Hadjar Dewantara pernah bekerja sebagai ahli kimia, lalu pernah belajar menjadi apoteker dan bekerja di Apotek Rathkamp, Yogyakarta. Namun, selama di apotek, Ki Hadjar terlalu banyak menghabiskan waktu untuk menulis untuk surat kabar De Express. Beliau juga pernah salah meramu obat, sehingga akhirnya dipecat. Setelahnya, Ki Hadjar Dewantara memutuskan untuk fokus menulis di surat kabar, hal yang membuatnya diasingkan ke Belanda.

Tahun  1913, pemerintah Belanda merayakan kemerdekaan yang ke-100 (dari jajahan Prancis). Belanda sendiri masih menjajah Hindia Belanda (kini Indonesia). Penduduk Hindia Belanda dipungut biaya (secara paksa) sebagai pemasukan bagi Belanda untuk merayakan kemerdekaannya. Ki Hadjar Dewantara sempat melihat sendiri praktik pungutan tersebut dan memilih untuk melawannya dengan pena. Dia menulis brosur  yang diterbitkan oleh  Comite Boemi Poetra berjudul "Als ik eens Nederlander was" yang berarti "Andaikata Aku Seorang Belanda". Tulisan itu membuat Ki Hadjar ditangkap dan dipenjarakan pada 30 Juli 1913 karena dianggap mengganggu ketertiban masyarakat.

18 Agustus 1913, pengadilan Bandung memutuskan bahwa Ki Hadjar Dewantara harus diasingkan ke Pulau Bangka. Tjipto,  penanggung jawab brosur Comite Boemi Poetra, harus diasingkan ke Banda. Doewes Dekker - yang juga memprotes perayaan kemerdekaan Belanda mendapatkan keputusan serupa, dia harus diasingkan ke Timor.

Seandainya Ki Hadjar mau diasingkan ke Pulau Bangka, dia bisa memperoleh tunjangan biaya hidup dari pemerintah Belanda. Namun, Ki Hadjar Dewantara untuk memilih diasingkan ke negeri Belanda. Hal tersebut diperbolehkan tetapi Ki Hadjar tidak akan memperoleh biaya hidup dari pemerintah Belanda. Tjipto dan Doewes Dekker pun memilih diasingkan ke Belanda.

Di Belanda, Ki Hadjar Dewantar hidup sederhana dengan istrinya, Soetartinah. Mereka memperoleh sokongan dana dari Indische Partij berupa dana Tot De Onafhankelijkheid (TADO) yang berarti "sampai merdeka". TADO merupakan bantuan dan untuk 'pemberontak' yakni mereka yang berani melawan pemerintah kolonial. Gondowinoto, kerabat Ki Hadjar Dewantara yang sedang studi di Belanda, sering memberikan bantuan beras, pakaian, dan peralatan rumah tangga.

Untuk mendapatkan tambahan uang, Ki Hadjar mulai menulis di surat kabar kembali. Soetartinah mencari pekerjaan  sebagai guru Frobel School (Taman Kanak-kanak) di Weimaar, Den Haag.

Selain menulis, Ki Hadjar Dewantara juga aktif mengikuti diskusi yang sering diadakan Dowes Dekker di Paleis voor Volksvlijt (sebuah gedung di Amsterdam yang menjadi ruang publik) setiap malam. Di sana, Tjipto, Doewes Dekker, dan Ki Hadjar sering memberikan ceramah di depan ratusan untuk menjelaskan kondisi riil di Hindia Belanda.

Ki Hadjar Dewantara merasa bahwa banyak orang Belanda yang tidak paham mengenai kondisi di Hindia Belanda. Berita yang disiarkan pemerintah kolonial tidak selalu sesuai kenyataan. Atas bantuan Algemeen Nederlands Verbond (Perkumpulan Umum di negeri Belanda), Sociaal Democratische Arbeiders Partij (Partai Buruh Sosial Demokrat) dan Oost en West, Ki Hadjar Dewantara rajin berkeliling ke daerah-daerah untuk memutarkan film dan berceramah mengenai Hindia Belanda.

Untuk menggambarkan keadaan masyarakat Hindia Belanda yang sesungguhnya, Ki Hadjar Dewantara juga  mendirikan sebuah kantor berita,  Indonesisch Pers Bureau.   Ki Hadjar menulis beragam isu baik tentang kebudayaan, kemanusiaan, pertanian, peternakan, dan sebagainya.

Adanya Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia) merupakan wadah Ki Hadjar Dewantara untuk berinteraksi dengan mahasiswa Hindia Belanda yang sedang studi di Belanda. Ketika Idul Fitri, mahasiswa berkumpul di rumah Ki Hadjar Dewantara untuk makan nasi tumpeng yang dibuat oleh Soetartinah.

Dengan beberapa mahasiswa   Indische Vereeniging yang sama-sama memiliki minat yang menyukai kesenian Jawa, Ki hadjar juga berlatih gamelan dan menari. Mereka pernah mengadakan malam kesenian untuk mengumpulkan dana untuk korban banjir di tanah air.

 Indische Vereeniging juga memberikan Ki Hadjar Dewantara tanggung jawab untuk menjadi ketua redaksi majalah Hindia Putera yang berbahasa Belanda yang isinya sebagian besar tentang perkembangan masyarakat di Hindia.

Selama di pengasingan  Ki Hadjar juga mengikuti pelajaran di Lager Onderwij (Sekolah Guru) sampai akhirnya beliau memperoleh Akte van bekwaamheid als Onderwijzer (Ijazah Kepandaian Mengajar). Studinya memperkenalkannya kepada pemikiran-pemikitan mengenai pendidikan yang memerdekakan (yang menginspirasinya diantaranya Maria Montessori dan Rabindrath Tagore).

Ada pengalaman pribadi yang sangat membekas di hati Ki Hadjar Dewantara, seperti yang dikutip ini:
Pemikiran tentang berhamba kepada anak, tercetus dari suatu penyesalan yang pernah dirasakannya sendiri ketika Soewardi sedang menghadapi setumpuk pekerjaan yang belum terselesaikan. Tangis Asti [anak pertamanya yang berkebutuhan khusus] yang tiada henti-hentinya, dirasakan sebagai suatu hambatan yang mengganggu tugasnya. Lalu dengan serta merta diseretnya anak itu ke luar, kemudian tanpa berpikir panjang, dibiarkannya Asti kecil menangis di balik hempasan pintu rumah… Salju yang berjatuhan di jendela tiba-tiba menyadarkan kekalutan pikirannya. Ia lari secepat ia dapat. Dibukanya pintu pemisah dan… Asti sudah nampak biru, menggigil kedinginan. Soewardi menyesal, sangat menyesal. Sambil memeluk anak yang sedang tersengal-sengal berurai air mata itu, maka terucaplah kata kasih sepenuh hati: "Kowe bakale dak mulya' ake selawase" (Selamanya Engkau akan aku muliakan). Tuhan mendengar kata umat-Nya. Apa yang akan terjadi, terjadilah. Asti tidak pernah dapat mengurus dirinya hingga sekarang. (Soewito, 1991, h.103)

Pengalamannya, yang pernah mengabaikan anaknya, dan disesalinya, membuatnya sadar bahwa pendidikan harus berfokus pada anak. Ki Hadjar berpandangan bahwa anak harus dibiarkan tumbuh menurut kodratnya. Orang dewasa (orang tua dan guru) bertanggung jawab untuk menjadi among (mengasuh), membiarkan anak 'mencari jalan sendiri', tanpa menunggu perintah. Menurutnya, sistem pendidikan di Hindia Belanda yang masih menggunakan paksaan, dan hukuman harus diganti dengan sistem among.

Membaca "Soewardi Soeryaningrat di Pengasingan" membantu saya memahami beberapa keping-keping kehidupan Ki Hadjar Dewantara. Saya belajar bahwa Ki Hadjar Dewantara merupakan pejuang yang sangat tangguh. Berbagai cara ditempuhnya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, mulai dari menulis, berorganisasi, berkesenian, dan yang paling utama, dengan menggunakan kesempatan belajar di Belanda untuk sungguh-sungguh memikirkan secara serius pendidikan Indonesia, tentu akhirnya dipraktikkan ketika kembali belajar ke tanah air. :)

Comments

Unknown said…
This comment has been removed by a blog administrator.

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Memahami Pembelajaran Terintegrasi (Bagian 1) : Definisi & Manfaat Pembelajaran Terintegrasi

Standar Konten dan Standar Proses (NCTM, 2000)