Refleksi Hari Bumi 2015 tentang Proses Terbangunnya Kesadaran Baru Tentang Lingkungan
Saya termasuk orang yang sebenarnya pernah sangat abai terhadap isu-isu lingkungan. Dari kecil, sampai SMA saya besar di Jakarta. Artinya, setiap hari saya berhadapan dengan macet, pemandangan yang dihadapi adalah gedung-gedung, pemukiman, dan mobil, makanan yang saya makan seringkali adalah jajanan dan tak jarang makanan instan yang bisa dibeli di warung-warung. Saya lupa, istilahnya, tapi ada istilah untuk orang yang sudah tidak tahu lagi dari mana sumber makanan yang dimakannya. Saya pernah termasuk orang seperti itu (bahkan mungkin masih).
Ada masanya, di mana berita-berita tentang kerusakan lingkungan, misalnya, kadang dibaca tapi selewat saja. Saya lebih suka membaca tentang apa yang terjadi di sekolah, praktek-praktek pendidikan di masyarakat, dan sebagainya. Namun, saya mulai sadar, pemahaman saya tentang pendidikan selama ini sangat dangkal. Apa tujuan dari pendidikan kalau bukan untuk menjaga kelangsungan alam dan isinya? Apa tujuan pendidikan kalau tempat di mana manusia tinggal sangat tidak layak untuk hidup? Lama-kelamaan timbullah kesadaran bahwa pendidikan dan lingkungan sangat erat kaitannya dan tidak dapat terpisahkan.
Kesadaran ini mulai terbangun sejak saya bergaul dengan teman-teman di Kuncup Padang Ilalang (KAIL) dan Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB). Saya mulai jadi associate KAIL sejak 2007 dan mulai lebih aktif berkegiatan di KAIL (dan bersama YPBB) mulai tahun 2010. Di sana, saya jadi lebih banyak ngobrol dengan Mbak Any, Pak David Sutasurya, Anil, Rima, Piki, Mbak Melly, dan lain-lain (maaf yah bagi yang tidak tersebut namanya!). Baik secara langsung maupun tidak, mereka turut mendidik saya untuk memiliki kesadaran tersebut.
Saya ingat, ada suatu kegiatan di mana saya memilih meminum air dalam kemasan botol kaca. Rima (YPBB), mengajak saya untuk membahas proses produksi air mineral sehingga menghasilkan air dalam botol tersebut. Rima mengajak saya membahas jumlah air yang diperlukan untuk menghasilkan satu liter air mineral dalam kemasan, sampai sumber air yang digunakan untuk menghasilkan air mineral dalam kemasan. Itu pendidikan yang saya peroleh secara informal, melalui percakapan individu.
Selain itu, YPBB maupun KAIL sering mengadakan kegiatan pemutaran film dan diskusi terkait berbagai isu lingkungan. Mereka juga sering menyelenggarakan lokakarya terkait system thinking sehingga kita bisa mengetahui keterkaitan antar satu komponen dan komponen lainnya. Dengan belajar system thinking saya belajar bahwaisu lingkungan terkait dengan begitu banyak hal, termasuk tentang keadilan, isu sosial, pendidikan, kesehatan dan sebagainya.
Ntah disengaja atau tidak,saya sering diajak untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Kadang sebagai peserta, kadang sebagai notulis, maupun sebagai penerjemah (membuat subtitle film, menerjemahkan diskusi kalau ada yang berbahasa Inggris). Mau tidak mau, saya mulai belajar tentang berbagai isu yang tadinya tidak menjadi perhatian saya.
Saya mulai belajar tentang istilah Gross Nastional Happines seperti yang diterapkan di Burma, saya mulai mempelajari isu-isu sampah, hutan, pangan, dan sebagainya. Saya mulai belajar tentang berbagai teknologi yang sebenarnya tidak merusak alam, misalnya tentang jembatan hidup (living bridge) yang dibuat dari akar pohon seperti gambar di bawah ini :
Saya mulai belajar tentang beberapa masyarakat yang punya kearifan lokalnya sendiri, tetapi dipaksa untuk menjadi 'modern'. Misalnya, ada suku-suku tertentu yang telah terbiasa hidup dipinggir laut, rumahnya pun dibangun di pinggir laut. Mereka pun terbiasa menghadapi air pasang dan tsunami. Namun, demi alasan 'modernitas' mereka dipaksa untuk berpindah oleh pemerintahan setempat dan tinggal di rumah semen di daratan dan berganti pekerjaan. Ketika terjadi bencana alam, mereka tidak sesiap ketika mereka tinggal di lautan dan terpaksa merasakan kelaparan. Secara terstruktur, teman-teman KAIL dan YPBB memberikan saya sarana untuk mempelajari isu-isu yang tidak pernah saya perhatikan sebelumnya dan tentu saja akhirnya membangun kesadaran baru.
Selain melalui diskusi , teman-teman di KAIL dan YPBB secara tidak langsung mengajari saya melalui contoh. Hampir semua teman-teman di YPBB dan KAIL berusaha hidup dengan menghasilkan sampah seminimum mungkin. Setiap kali mengadakan workshop mereka selalu berusaha agar tidak menggunakan makanan ataupun minuman dalam kemasan, kalau bisa menggunakan piring rotan dan daun pisang sebagai alas, memilih memasak makanan sendiri daripada membeli nasi box, menyediakan tempat membuat sampah organik maupun non-organik (bahkan bersedia membawa keranjang takakura untuk setiap workshop yang diselenggarakan). Hampir semua teman-teman di KAIL dan YPBB terbiasa membawa botol minuman sendiri, memisahkan sampai organik maupun organik, membawa kotak makan dan kantong reusable ke mana-mana, berusaha semaksimal mungkin menggunakan prinsip recycle, reuse, dan reduce. Mereka juga memilih membeli produk lokal, , memilih untuk berbelanja di pasar tradisional daripada supermarket, dan kalau bisa berjalan kaki atau bersepeda ke suatu lokasi, itu yang mereka lakukan daripada naik kendaraan bermotor. Banyak diantara mereka memilih untuk berkebun dan menanam berbagai bumbu dan sumber makanan baik jahe, bawang, padi, buah-buahan, sayur-sayuran dan sebagainya.
Harus saya akui, sampai kini gaya hidup saya masih jauh berbeda dibandingkan gaya hidup mereka. Saya masih sering membeli makanan/minuman dalam kemasan, kadang memilih naik kendaraan daripada berjalan kaki ke lokasi yang sebenarnya dekat, dan masih banyak kekurangan lainnya. Namun, setidaknya bergaul dengan mereka membangun kesadaran saya bahwa "yang selama ini saya lakukan masih perlu diperbaiki". Sedikit demi sedikit (meskipun belum sepenuhnya) saya ketularan juga. Setidaknya saya jadi lebih berhati-hati kalau membeli makanan/minuman. Saya berusaha mengurangi volume sampah, mencoba bertanam bumbu-bumbuan sendiri (setidaknya daun bawang dan seledri), memperbanyak makan buah dan sayur daripada daging-dagingan, mengurangi penggunaan makanan/minuman dalam kemasan (meskipun belum sepenuhnya). Tidak terlalu hebat sih, tapi lumayan ada perubahan.
Secara umum, saya jadi punya pandangan yang lebih mendalam terkait pendidikan. Pergaulan dengan teman-teman KAIL dan YPBB mulai membuat saya sadar bahwa pendidikan yang tidak membangun kesadaran manusia terhadap lingkungannya sebenarnya tidak bermakna. Pendidikan yang hanya membuat manusia fokus pada 'kesuksesan pribadi' yang ditentukan dengan tingginya jabatan, banyaknya uang semata, tanpa memperhatikan manusai dan makhluk hidup lain adalah pendidikan yang kering. Apa gunanya pendidikan kalau, pendidikan tidak mendidik sesorang untuk lebih merawat tanah, air, dan udara? Apa gunanya pendidikan kalau lahan hijau di muka bumi ini berkurang? Apa gunanya pendidikan kalau manusia kekurangan pangan, varietas berbagai tumbuhan berkurang, dan semakin banyak hewan yang langka atau punah? Apakah gunanya pendidikan kalau bukan untuk memperkaya kehidupan? Kehidupan kita sebagai manusia dan kehidupan seluruh makhluk hidup di alam semesta. Anyway, Selamat Hari Bumi yah! Semoga kita semua bisa lebih meningkatkan kesadaran kita terkait kualitas alam di sekitar kita!
Ada masanya, di mana berita-berita tentang kerusakan lingkungan, misalnya, kadang dibaca tapi selewat saja. Saya lebih suka membaca tentang apa yang terjadi di sekolah, praktek-praktek pendidikan di masyarakat, dan sebagainya. Namun, saya mulai sadar, pemahaman saya tentang pendidikan selama ini sangat dangkal. Apa tujuan dari pendidikan kalau bukan untuk menjaga kelangsungan alam dan isinya? Apa tujuan pendidikan kalau tempat di mana manusia tinggal sangat tidak layak untuk hidup? Lama-kelamaan timbullah kesadaran bahwa pendidikan dan lingkungan sangat erat kaitannya dan tidak dapat terpisahkan.
Kesadaran ini mulai terbangun sejak saya bergaul dengan teman-teman di Kuncup Padang Ilalang (KAIL) dan Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB). Saya mulai jadi associate KAIL sejak 2007 dan mulai lebih aktif berkegiatan di KAIL (dan bersama YPBB) mulai tahun 2010. Di sana, saya jadi lebih banyak ngobrol dengan Mbak Any, Pak David Sutasurya, Anil, Rima, Piki, Mbak Melly, dan lain-lain (maaf yah bagi yang tidak tersebut namanya!). Baik secara langsung maupun tidak, mereka turut mendidik saya untuk memiliki kesadaran tersebut.
Saya ingat, ada suatu kegiatan di mana saya memilih meminum air dalam kemasan botol kaca. Rima (YPBB), mengajak saya untuk membahas proses produksi air mineral sehingga menghasilkan air dalam botol tersebut. Rima mengajak saya membahas jumlah air yang diperlukan untuk menghasilkan satu liter air mineral dalam kemasan, sampai sumber air yang digunakan untuk menghasilkan air mineral dalam kemasan. Itu pendidikan yang saya peroleh secara informal, melalui percakapan individu.
Selain itu, YPBB maupun KAIL sering mengadakan kegiatan pemutaran film dan diskusi terkait berbagai isu lingkungan. Mereka juga sering menyelenggarakan lokakarya terkait system thinking sehingga kita bisa mengetahui keterkaitan antar satu komponen dan komponen lainnya. Dengan belajar system thinking saya belajar bahwaisu lingkungan terkait dengan begitu banyak hal, termasuk tentang keadilan, isu sosial, pendidikan, kesehatan dan sebagainya.
Ntah disengaja atau tidak,saya sering diajak untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Kadang sebagai peserta, kadang sebagai notulis, maupun sebagai penerjemah (membuat subtitle film, menerjemahkan diskusi kalau ada yang berbahasa Inggris). Mau tidak mau, saya mulai belajar tentang berbagai isu yang tadinya tidak menjadi perhatian saya.
Saya mulai belajar tentang istilah Gross Nastional Happines seperti yang diterapkan di Burma, saya mulai mempelajari isu-isu sampah, hutan, pangan, dan sebagainya. Saya mulai belajar tentang berbagai teknologi yang sebenarnya tidak merusak alam, misalnya tentang jembatan hidup (living bridge) yang dibuat dari akar pohon seperti gambar di bawah ini :
Saya mulai belajar tentang beberapa masyarakat yang punya kearifan lokalnya sendiri, tetapi dipaksa untuk menjadi 'modern'. Misalnya, ada suku-suku tertentu yang telah terbiasa hidup dipinggir laut, rumahnya pun dibangun di pinggir laut. Mereka pun terbiasa menghadapi air pasang dan tsunami. Namun, demi alasan 'modernitas' mereka dipaksa untuk berpindah oleh pemerintahan setempat dan tinggal di rumah semen di daratan dan berganti pekerjaan. Ketika terjadi bencana alam, mereka tidak sesiap ketika mereka tinggal di lautan dan terpaksa merasakan kelaparan. Secara terstruktur, teman-teman KAIL dan YPBB memberikan saya sarana untuk mempelajari isu-isu yang tidak pernah saya perhatikan sebelumnya dan tentu saja akhirnya membangun kesadaran baru.
Selain melalui diskusi , teman-teman di KAIL dan YPBB secara tidak langsung mengajari saya melalui contoh. Hampir semua teman-teman di YPBB dan KAIL berusaha hidup dengan menghasilkan sampah seminimum mungkin. Setiap kali mengadakan workshop mereka selalu berusaha agar tidak menggunakan makanan ataupun minuman dalam kemasan, kalau bisa menggunakan piring rotan dan daun pisang sebagai alas, memilih memasak makanan sendiri daripada membeli nasi box, menyediakan tempat membuat sampah organik maupun non-organik (bahkan bersedia membawa keranjang takakura untuk setiap workshop yang diselenggarakan). Hampir semua teman-teman di KAIL dan YPBB terbiasa membawa botol minuman sendiri, memisahkan sampai organik maupun organik, membawa kotak makan dan kantong reusable ke mana-mana, berusaha semaksimal mungkin menggunakan prinsip recycle, reuse, dan reduce. Mereka juga memilih membeli produk lokal, , memilih untuk berbelanja di pasar tradisional daripada supermarket, dan kalau bisa berjalan kaki atau bersepeda ke suatu lokasi, itu yang mereka lakukan daripada naik kendaraan bermotor. Banyak diantara mereka memilih untuk berkebun dan menanam berbagai bumbu dan sumber makanan baik jahe, bawang, padi, buah-buahan, sayur-sayuran dan sebagainya.
Harus saya akui, sampai kini gaya hidup saya masih jauh berbeda dibandingkan gaya hidup mereka. Saya masih sering membeli makanan/minuman dalam kemasan, kadang memilih naik kendaraan daripada berjalan kaki ke lokasi yang sebenarnya dekat, dan masih banyak kekurangan lainnya. Namun, setidaknya bergaul dengan mereka membangun kesadaran saya bahwa "yang selama ini saya lakukan masih perlu diperbaiki". Sedikit demi sedikit (meskipun belum sepenuhnya) saya ketularan juga. Setidaknya saya jadi lebih berhati-hati kalau membeli makanan/minuman. Saya berusaha mengurangi volume sampah, mencoba bertanam bumbu-bumbuan sendiri (setidaknya daun bawang dan seledri), memperbanyak makan buah dan sayur daripada daging-dagingan, mengurangi penggunaan makanan/minuman dalam kemasan (meskipun belum sepenuhnya). Tidak terlalu hebat sih, tapi lumayan ada perubahan.
Secara umum, saya jadi punya pandangan yang lebih mendalam terkait pendidikan. Pergaulan dengan teman-teman KAIL dan YPBB mulai membuat saya sadar bahwa pendidikan yang tidak membangun kesadaran manusia terhadap lingkungannya sebenarnya tidak bermakna. Pendidikan yang hanya membuat manusia fokus pada 'kesuksesan pribadi' yang ditentukan dengan tingginya jabatan, banyaknya uang semata, tanpa memperhatikan manusai dan makhluk hidup lain adalah pendidikan yang kering. Apa gunanya pendidikan kalau, pendidikan tidak mendidik sesorang untuk lebih merawat tanah, air, dan udara? Apa gunanya pendidikan kalau lahan hijau di muka bumi ini berkurang? Apa gunanya pendidikan kalau manusia kekurangan pangan, varietas berbagai tumbuhan berkurang, dan semakin banyak hewan yang langka atau punah? Apakah gunanya pendidikan kalau bukan untuk memperkaya kehidupan? Kehidupan kita sebagai manusia dan kehidupan seluruh makhluk hidup di alam semesta. Anyway, Selamat Hari Bumi yah! Semoga kita semua bisa lebih meningkatkan kesadaran kita terkait kualitas alam di sekitar kita!
Comments