Refleksi setelah merenungi kasus 4 x6
Belakangan, Indonesia dihebohkan oleh perdebatan ‘4 x 6’
apakah itu berarti 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4
atau 6 + 6 + 6 + 6. Kasus tersebut membuat saya belajar dan kembali memikirkan beberapa
hal. Apa yang saya pelajari?
1. Pertanyaan “4 x 6 berarti 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 atau 6 + 6 + 6 + 6?"
bukanlah pertanyaan matematis tapi merupakan pertanyaan linguistik (lihat: http://mathforum.org/library/drmath/view/61066.html ).
4 x 6 hanya bisa didefinisikan sebagai 6 + 6 + 6 + 6, tidak bisa dibuktikan
secara matematis. Menggunakan penjelasan obat diminum tiga kali sehari = 3 x 1 atau
misalnya, atau menyatakan bahwa y + y + y = 3y tidak dituliskan sebagai y3 sehingga 4 + 4
+ 4 + 4 + 4 + 4 tidak boleh dituliskan sebagai 4 x 6 bukanlah pembuktian
matematis.
Kenapa tidak bisa dibuktikan secara matematis? Karena 4 x 6 didefinisikan sebagai 6 + 6 + 6 + 6 hanyalah sebuah konvensi, tapi bukanlah sebuah fakta matematis.
Sebuah konvensi matematis bisa berupa fakta matematis, namun fakta matematis tidak selalu merupakan konvensi matematis.
Kenapa tidak bisa dibuktikan secara matematis? Karena 4 x 6 didefinisikan sebagai 6 + 6 + 6 + 6 hanyalah sebuah konvensi, tapi bukanlah sebuah fakta matematis.
Sebuah konvensi matematis bisa berupa fakta matematis, namun fakta matematis tidak selalu merupakan konvensi matematis.
Fakta matematis, biasanya bisa dibuktikan secara matematis.
Misalnya -1 x -1 = 1 bisa dibuktikan secara matematis (lihat : http://mathforum.org/dr.math/faq/faq.negxneg.html ) tapi 4 x 6 hanya bisa didefinisikan
sebagai 6 + 6 + 6 + 6, tidak bisa dibuktikan secara matematis.
Hal ini bukan berarti bahwa konvensi matematis tidak
penting. Konvensi matematis tetap berguna untuk memudahkan komunikasi. Dalam
beberapa konteks, ketiadaan konvensi matematis bisa membingungkan saat dua orang atau lebih ingin mengkomunikasikan matematika, misalnya dalam konteks 2 x 6 -3.
Mana yang harus dikerjakan dulu? Berdasarkan konvensi matematis yang harus dikerjakan
terlebih dahulu adalah perkalian yakni 2 x 6 baru kemudian dikurangi 3. Dalam
konteks ini, konvensi sangat penting untuk mengurangi kebingungan karena bila urutan perhitungan dilakukan dengan berbeda, hasilnya juga berbeda. Mana yang dikerjakan terlebih
dahulu menjadi esensial.
Namun, kita tidak bisa membuat pembuktian matematis mengenai mengapa 2 x 6 harus dikerjakan terlebih dahulu.
Namun, kita tidak bisa membuat pembuktian matematis mengenai mengapa 2 x 6 harus dikerjakan terlebih dahulu.
Dalam konteks perkalian, konvensi saat 4 x 6 berarti 6 + 6 + 6 + 6 bisa bersifat esensial, saat digunakan untuk mendefinisikan 4 groups of 6, namun di sisi lain bisa
tidak esensial dalam konteks yang lain.
Memang, secara matematis, apakah 4 x 6 hanya bisa didefinisikan sebagai 6 + 6 + 6 + 6
tidak bisa didefinisikan sebagai benar atau salah secara matematis. Namun,
kalau dilihat dari konteks bahasa, ada kemungkinan bahwa 4 x 6 lebih tepat
didefinisikan sebagai 6 + 6 + 6 + 6
Dalam hal ini, saya bukan ahli bahasa. Dalam konteks bahasa
Indonesia, saya tidak tahu apakah
Apakah 4 x 6 dibaca “4 dikali 6”, “4-nya dikali 6”, “4
dikali 6-nya”.
Apakah benar pernah ada kesepakatan dalam hal ini? Saya hanya tahu dalam kebanyakan buku matematika Indonesia 4 x 6 = 6 + 6 + 6 + 6 . Apakah pernah disepakati secara resmi? Saya belum tahu.
Apakah benar pernah ada kesepakatan dalam hal ini? Saya hanya tahu dalam kebanyakan buku matematika Indonesia 4 x 6 = 6 + 6 + 6 + 6 . Apakah pernah disepakati secara resmi? Saya belum tahu.
2. Pernyataan
“Matematika adalah ilmu pasti” masih bisa diperdebatkan
Apakah matematika merupakan ilmu pasti (exact science)? Dulu saya mengira begitu. Sekarang? Saya ragu.
Tergantung bagaimana kita mendefinisikan “ilmu
pasti” itu. Apakah yang dimaksud dengan “ilmu pasti”?
Dalam dikatakan website http://www.mathteacherctk.com/blog/2010/12/is-mathematics-an-exact-science/
bahwa:
"This is a hard question to answer because there are many views on what
mathematics is and whether it is a science at all, let alone an exact one. And,
of course, there is a question of what constitutes an exact science. To
compound it all, not only it is possible to question the meaning of
the word "is", but it is also a fact that the word "is" has
many meanings."
Read (1943) dalam
tulisannya misalnya menggunakan definisi ilmu pasti yang terdapat dalam kamus
Oxford sebagai berikut:
“Exact sciences are those which admit of absolute precision, especially
the mathematical sciences.”
Namun kalau matematika merupakan ilmu pasti, pertanyaan
berikutnya apanya yang pasti? Tapi
kadang terminologi yang digunakan di matematika tidak selalu pasti. Salah satu contoh yang diungkapkan Read:
"In the field
of statistics if a city of 100,000 increases its population 10% each year many books
speak of a constant rate of change. In the sense of calculus this is definitely
not a constant rate of change. A better term would be constant ratio of change."
Bagi Read, matematika adalah ilmu pasti tapi terminologi
yang digunakan tidak selalu pasti. Katanya:
“Yes, mathematics is an exact science, but mathematicians use inexact terminology”
Di sisi lain, ada juga yang tidak setuju bahwa matematika
adalah ilmu pasti. Sudjiwo Tedjo yang juga sempat belajar matematika di tingkat perguruan tinggi saat berbicara mengenai “Math:
Finding Harmony in Chaos” pada kegiatan TEDx Bandung (lihat: http://www.youtube.com/watch?v=Y6FDTbfkHjs)
mengatakan:
“matematika selalu dikesankan [sebagai] ilmu kepastian. Itu bulshit, itu orang yang gak ngerti. Aku malu kalau ada temanku, teman dekatkku, ngomong kayak gitu. Matematika itu ketidakpastian tapi tentang kesepakatan. 1 + 1 = 2, siapa bilang pasti? Itu kalau bicara dalam konsep persepuluhan tapi dalam konteks bilangan biner 1 + 1 tidak sama dengan dua.”
Sudjiwo Tedjo mengungkapkan bahwa matematika, yang penting adalah kesepakatan (seperti yang sempat dibahas
di bagian sebelumnya). Kesepakatan ini
memang tergantung konteks, semesta apa yang sedang kita bicarakan?
Saya sendiri tidak bisa
memastikan apakah matematika adalah ilmu pasti atau bukan. Yang saya tahu,
banyak hal yang selama ini dianggap benar di matematika ternyata dalam
perkembangannya bisa dibuktikan salah. Jadi, yang dianggap benar, tidak pasti
benar. Misalnya pernah ada masa di mana
dianggap tidak ada akar dari bilangan negatif
seperti √-4 , namun
kemudian muncullah gagasan mengenai bilangan imajiner, di mana √-1 = i. Matematika sangat memungkinkan
kita untuk mempertanyakan berbagai hal, termasuk hal-hal yang sebelumnya
dianggap benar. Yang jadi penting adalah penalarannya. Seorang teman saya,
bernama Hokky Situngkir meneliti mengenai Borobudur. Dalam sebuah berita yang
membahas penelitiannya ( lihat: http://teknologi.news.viva.co.id/news/read/214498-peneliti--borobudur-adopsi-konsep-fraktal
) :
Secara konvensional kita
mengenal konsep dimensi, yang merupakan 'bilangan bulat'. Dimensi 1
direpresentasikan dengan garis, dimensi 2 dengan bidang, dimensi 3 dengan
ruang, dimensi 4 dengan ruang dan waktu, dan seterusnya.
Namun menurut
Hokky, Borobudur merupakan bentuk yang dimensinya diantara 2 dan 3. Apakah
boleh berpikir begitu? Di matematika boleh saja, tidak ada larangan. Setuju
atau tidak mengenai gagasan itu, itu persoalan lain. Bagi yang setuju maupun tidak, silakan berargumentasi! Matematika justru menjadi menarik karena banyak hal masih bisa diperdebatkan.
Jadi yang mana yang benar? Matematika adalah ilmu pasti atau
bukan? Sampai detik ini saya belum tahu apa jawaban pastinya.
3. Ada jenis
pertanyaan tertutup (close-ended question)
dan ada pertanyaan terbuka (open-ended
question). Dalam pelajaran apapun, termasuk matematika, kedua jenis
pertanyaan itu perlu diperkenalkan kepada siswa.
Dalam konteks sekolah, siswa kita seringkali dihadapkan pada berbagai pertanyaan tertutup, di mana hanya ada satu jawaban benar, biasanya ini ditemui dalam soal-soal pilihan ganda.
Mengajukan pertanyaan tertutup, tidak selalu salah. Tergantung tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Namun,
siswa juga perlu diperkenalkan terhadap pertanyaan terbuka. Pertanyaan terbuka
memungkinkan siswa menjelaskan penalaran mereka.
Pertanyaan :
4 x 6 = ...
Bisa saja dianggap sebagai pertanyaan terbuka, di mana di ruas sebelah kanan, jawaban apa saja boleh diberikan asalkan nilainya sama besarnya dengan ruas yang ada di sebelah kiri.
Jadi, saya bisa saja menjawab
4 x 6 = 2 x 2 x 6
atau
4 x6 = 2^3 x 3
atau
4 x 6 = (1+3) x (2x3)
Tidak ada yang salah dengan jawaban-jawaban tersebut. Jawaban yang beragam ini justru bisa dijadikan sebuah diskusi di dalam kelas, di mana siswa bisa diajak mengkonfirmasikan kenapa mereka memilih jawaban yang mereka pilih. Apa alasannya?
Pertanyaan terbuka biasanya memancing lebih banyak dialog di
dalam kelas. Biasanya pertanyaan terbuka mengharuskan siswa untuk menjelaskan
penalarannya. Di website http://rothinks.wordpress.com/2011/03/17/opening-up-the-questions-in-the-math-classroom/ada sebuah contoh menarik di mana sebuah pertanyaan tertutup bisa diolah
kembali menjadi pertanyaan terbuka yang bisa menantang siswa untuk berpikir
sekaligus mengkomunikasikan gagasan matematika mereka.
Kurang lebih, hal-hal di atas yang jadi pemikiran saya karena
tergelitik kasus 4 x6. Semoga bermanfaat!
Sumber:
4.
Cecil B. Read, Is Mathematics an Exact
Science?, National Mathematics Magazine, Vol.
17, No. 4 (Jan., 1943), pp. 174-176 diunggah dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/3028342.pdf?acceptTC=true&jpdConfirm=true
Comments