Pelajaran (IPA) di Sekolah dan Fenomena Sekitar yang Semakin Rumit
“Ini foto orang yang meninggal
karena meminum air yang terkena limbah raksa,” kata Om saya saat saya kunjungi
untuk silaturahmi Lebaran. Beliau menunjukkan sebuah foto anak laki-laki yang
tinggal di daerah Lebak.
“Waktu dia umur 3 tahun dia minum dari botol yang di dalamnya
ada air yang sudah tercemar raksa. Udah terlanjur minum, ibunya telat lihat,
yah sudah terkena efek seperti minamata di Jepang. Setelah itu dia kejang-kejang, lumpuh. Dan akhirnya malam takbiran lalu meninggal di usia 20
tahun. Saya dan anak saya menengok orangtuanya.”
Om saya, mengeluarkan laptopnya dan
memperlihatkan sebuah video tentang bagaimana limbah dari sebuah perusahaan
dibuang di daerah sana. Katanya, “Lihat ini! Ini sawahnya, ini pipa-pipa tempat
mengalirkan limbah ke sawah. Ini mesinnya.”
Om, tante, suami, dan saya mulai
membahas betapa berbahayanya limbah tersebut. Kalau ada satu atau dua korban
saja, itu pun tidak boleh ditolerir. Nyawa manusia, meski satu orang saja, tetap
berharga. Tapi yang lebih mengerikan adalah kalau sumber air minum mulai
tercemar dan diminum oleh banyak warga.
Om saya melanjutkan, “Itu memang
sudah terjadi. Bukan hanya masuk ke sumber air yang jadi minum. Saat dibuang ke
sawah, padi bisa menyerap limbah-limbah tersebut, berasnya dimakan akhirnya
terakumulasi dalam tubuh manusia. Masalahnya limbah yang dibuang bukan hanya raksa, tapi
juga arsenik, sodium sianida, dan sebagainya."
Namanya guru, saya langsung ingat pelajaran-pelajaran
di sekolah. Kata saya, “ Dan di banyak sekolah, saat bahas ekosistem, kita
sibuk membahas rantai makanan yang sama dari tahun ke tahun. Elang makan ular, ular makan
tikus, tikus makan padi. Atau ular makan tikus, tikus makan padi.
Padahal apa yang terjadi di sekitar kita jauh lebih kompleks daripada itu.”
Om saya kemudian menceritakan di
Lebak juga, di salah satu kecamatannya, 422 warga dipatok ular dalam waktu 6 bulan.
(Di lain kesempatan, beliau juga menunjukkan saya salah satu foto orang yang
kakinya dililit ular). Penyebabnya adalah bahwa biasanya ular yang ada di
sekitar sana memakan kodok dan kadal. Racun yang dibuang ke sawah ikut membunuh
kodok dan kadal. Selain itu, di daerah tersebut juga terjadi pembongkaran
tutupan tanah, sehingga binatang-binatang yang menjadi santapan ular tergangu
reproduksinya. Mereka kesulitan bertelur. Akibatnya, ular mulai masuk ke rumah
warga, maksudnya mencari sejenis kadal, yakni cicak untuk dimakan, tapi yang
dipatok akhirnya malah manusia. “Jadi sekarang, dalam rantai makanan di sana,
manusia itu persis di bawah ular.”
Mendengar ceritanya saya merinding.
Ketidakseimbangan ekosistem yang terjadi berasal dari tindakan manusia dan akhirnya juga kembali merugikan manusia. Yang terganggu juga
makhluk-makhluk hidup lamanya dan di dalam satu ekosistem, semuanya terhubung satu sama lain. Tapi yang bikin saya merinding lagi adalah saya
tidak yakin bahwa pelajaran-pelajaran di kebanyakan sekolah, termasuk melalui
pelajaran IPA, mempersiapkan lulusannya untuk menghadapi dunia dengan
permasalahannya yang semakin kompleks ini. Apakah lulusan-lulusan sekolah kita,
mampu memaknai berbagai fenomena di sekitarnya berbekal ilmu yang didapatkan di
sekolah? Apakah mereka bisa memahami ide-ide besar yang penting, misalnya bukan
sekadar menghafal bahwa “elang memakan ular, ular memakan tikus dan tikus memakan padi”, tetapi
juga bahwa ketika ekosistem terganggu, makhluk hidup juga terganggu, dan
akhirnya bisa berefek langsung pada kita manusia, dan makhluk hidup di sekitar
kita?
Comments
Mudah mudahan dengan kurikulum baru ini, paradigma para guru bisa berubah
mesti update dan contextual..
Semangaat ah!!..(^.^)/..