Pendidikan Siapakah yang Perlu Lebih Difasilitasi?

Sejumlah kepala sekolah RSBI mengunjungi Jepang pada tahun 2009 untuk ‘menjajagi kerjasama dengan sekolah-sekolah di Jepang dalam bentuk sister school’ (Ramli, 2007)[1]. Murni Ramli, penerjemah sekaligus seorang peneliti pendidikan yang saat itu mendampingi mereka, membuat catatan terkait kunjungan tersebut. Berdasarkan catatannya, konsep RSBI dikritisi secara keras oleh para pendidik di Jepang. Mereka beranggapan bahwa konsep RSBI yang dianggap sebagai sebuah konsep yang tidak jelas.


“… (Menurut para pendidik di Jepang) pendidikan bukanlah barang elit yang harus diberikan hanya kepada sebagian anak yang pandai saja. Tetapi pendidikan adalah sebuah hak yang harus diterima oleh semua anak dengan kualitas yang sama. Memang mereka mengakui bahwa anak yang pandai perlu difasilitasi secara lebih baik, tapi bukan dengan mendirikan sekolah berstandar internasional mengikuti standar negara lain.... Yang dilakukan pemerintah Jepang bukanlah mendirikan sekolah unggul tetapi membangun sekolah-sekolah dengan fasilitas yang sama yang bisa mendidik anak-anak tanpa ada perbedaan.” (Ramli, 2007)


Para birokrat pendidikan Indonesia (pemerintah) tampaknya berpikiran lain. Mereka tidak menganggap bahwa setiap anak harus diberikan kesempatan yang sama untuk memperolah haknya terhadap pendidikan. Mereka mendirikan sekolah-sekolah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan sekolah unggulan yang difasilitasi lebih baik dibandingkan sekolah-sekolah pada umumnya.


Seorang guru, di Langkat, Sumatra Utara, harus mengajar enam kelas sekaligus karena kurangnya jumlah guru (Harian Analisa, 2011)[2]. Siswa-siswa yang bersekolah di RSBI dan sekolah unggulan tidak pernah merasakan kekurangan guru. Mereka, para siswa sekolah unggulan tersebut, juga bisa menikmati fasilitas laboratorium, komputer, dan perpustakaan yang tersedia di sekolah. Fasilitas yang mereka dapatkan lebih baik dibandingkan sekolah lainpada umumnya.


Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan, Suyanto membenarkan adanya kastanisasi dalam pendidikan di Indonesia. Menurutnya, sekolah-sekolah RSBI memang menciptakan kasta, yakni dari sisi akademik. “Hidup kan memang ada kastanya. Di perusahaankan juga ada kasta”, kata Suyanto (kompas.com, 4/1/2012) [3].


Pernyataan Suyanto mengindikasikan bahwa kastanisasi adalah hal yang wajar di dalam dunia pendidikan. Kastanisasi di sini berarti ada anak-anak yang lebih berhak difasilitasi dibandingkan dengan yang lain.


Pernyataan di dalam Education For All Global Monitoring Report, UNESCO, serupa tapi tak sama. UNESCO sepakat bahwa ada pihak yang lebih perlu difasilitasi dibandingkan yang lain. Di situ tertulis bahwa ‘dukungan terbesar perlu diberikan kepada yang paling memerlukannya (those in greatest need... [should recieve] the most support)’ (UNESCO, 2009, h. 143[4]). Pertanyaannya adalah siapakah yang dimaksud dengan ‘those in greatest need’ tersebut? Siapakah yang paling perlu difasilitasi pendidikannya?


Tampaknya versi pemerintah adalah bahwa yang pendidikannya paling perlu difasilitasi lebih adalah anak-anak yang memiliki kemampuan akademik yang tinggi dan juga kemampuan finansial yang memadai. Sekolah RSBI dan unggulan hanya menerima siswa yang memiliki kemampuan akdemik di atas rata-rata. Bukan hanya di Jakarta, di Lampung pun biaya masuk RSBI bisa mencapai Rp 20.000.000,- (Tribun Lampung, 2011)[5]. Sebuah RSBI hanya wajibmengakomodasikan 20% siswa miskin dari total siswa. Sisanya, dipersilakan bersekolah di tempat yang lain meskipun fasilitasnya masih jauh dari layak.


Mereka yang memiliki kemampuan finansial atau setidaknya berasal dari lingkungan keluarga yang resourceful, mereka punya lebih banyak pilihan dalam menentukan bentuk pendidikan yang diinginkan. Kurang puas dengan sekolah publik? Bisa masuk sekolah swasta atau sekolah ke luar negeri. Kalau tidak, bisa memilih melakukan home schooling, ikut kursus ataupun belajar sendiri (melalui pengalaman, buku, maupun, internet). Hanya saja, tidak semua anak seberuntung itu. Kesempatan untuk bisa memilih bentuk pendidikan yang diinginkan adalah sebuah kemewahan (privillage) yang tidak dimiliki oleh kebanyakan rakyat Indonesia. Tugas pemerintah adalah memfasilitasi mereka yang tidak memiliki privillage ini.


Program RSBI dan sekolah unggulan sebenarnya mengasumsikan bahwa siswa-siswa yang perlu difasilitasi lebih hanyalah anak-anak yang memiliki tingkat akademik yang tinggi dan memiliki kemampuan finansial yang memadai. Padahal, mereka bukan ‘those in greatest need’. Mereka punya pilihan yang lebih banyak ketimbang masyarakat Indonesia pada umumnya. Mereka adalah kaum yang memang memilki kesempatan-kesempatan yang istimewa (priviliged).


Majalah Jakarta Globe dalam editorialnya menyatakan bahwa 50% penduduk Indonesia hidup dengan penghasilan di bawah $2 per hari (Sekitar Rp.600.000,- per bulan).[6] Bagaimana caranya mereka memperoleh pendidikan yang layak apabila pemerintah tidak memfasilitasi mereka?


Sebagian besar penduduk Indonesia kemampuan akademiknya masih rendah. Setidaknya berdasarkan hasil studi PISA (OECD, 2006) yang menyatakansebagian besar siswa indonesia memiliki kemampuan literasi di bawah level 1 (tidak mampu memahami bacaan)[7], baik dalam membaca, matematika, maupun sains. Tentu ini bukan salah siswa. Mereka memang tidak pernah difasilitasi dengan baik untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas. Pemerintah wajib memfasilitasi mereka dengan kualitas pendidikan yang terbaik. Kenapa pemerintah tidak melakukannya? Apakah karena memang tidak ada dana atau kapasitas? Ataukah karena memang tidak ada political will saja?


------------------------------------
[1] Ramli, Murni (2007).RSBI vs Sekolah Jepang. Diunggah dari http://murniramli.wordpress.com/2009/01/27/kedatangan-kepala-sekolah-sma-smp-jateng/


2] Harian Analisa, 10 Desember 2011. DPRD Langkat Prihatin, Masih Ada SD Hanya Miliki Seorang Guru . Diunggah dari http://www.analisadaily.com/news/read/2011/12/10/25498/dprd_langkat_prihatin_masih_ada_sd_hanya_miliki_seorang_guru/#.TwQTUjVOhbI


[3] Akuntono, Iwan. (2012). Kemendikbud Akui RSBI Ciptakan Kasta. Diunggah dari http://edukasi.kompas.com/read/2012/01/04/09013828/Kemdikbud.Akui.RSBI.Ciptakan.Kasta


[4] Education for All 2009 Global Monitoring Report : Overcoming Inequalities : Why Governance Matters. France : UNESCO. Diunggah dari http://unesdoc.unesco.org/images/0017/001776/177683e.pdf


[5] Tribun Lampung 11 Juli 2011. Wow, Biaya Masuk RSBI di Lampung Capai Rp 20 Juta http://lampung.tribunnews.com/2011/07/11/wow-biaya-masuk-rsbi-di-lampung-capai-rp-20-juta


[6] Jakarta Globe 15 September 2010. Editorial: Widespread Hunger Indonesia’s Shame http://www.thejakartaglobe.com/opinion/editorial-widespread-hunger-indonesias-shame/396307


[7] (2007) PISA 2006 : science competencies for tomorrow's world. Paris : OECD

Comments

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Belajar Tentang Keliling Bangun Datar Memecahkan Masalah

Standar Konten dan Standar Proses (NCTM, 2000)