Jurnal pribadi : Ibu bahagia menjadi guru?

Hari itu saya lagi sedikit bersedih. Murid [privat] saya, yang masih kelas 7, sang adik, baru bertengkar dengan sepupunya. Pertengkaran terjadi persis sesaat sebelum saya akan mengajarnya. Saat itu saya baru saja usai mengajar kakaknya yang duduk di kelas 10. Baru mau mengajarnya.

Karena habis bertengkar, jangan ditanya mengenai suasana hatinya! Moody abies!. Tak berhasil membujuknya untuk mulai belajar. Saya menyempatkan mendengarkan curahan hatinya. Tidak langsung belajar.

"Kamu marah kenapa?" tanya saya.

Dia menjawab, tetapi tidak langsung menjawab pertanyaan saya, "Tadi aku minta ibu membelikan beberapa hal -- ini dan itu. Sudah dibelikan banyak hal aku masih belum puas. Minta dibelikan lagi. Akhirnya gak dikasih."

Saya mendengarkan. Tidak mengomentari.

"Saya bilang sama ibu, ibu lebih sayang kakak daripada aku. Eh, aku malah dimarahin kakak. Kata kakak, kemauan saya lebih banyak dituruti oleh ibu. Kalau aku minta baso, dan kakak minta siomay, misalnya, pasti ibu akan buatkan baso dulu."

*

Hari itu memang lagi masa UTS. Ketika saya tiba di rumah kedua muridku yang kakak beradik itu, saya memang mengajar sang kakak dulu. Saya mengajar sang kakak di ruang duduk yang terletak di lantai dua. Sang adik sedang menonton televisi di lantai satu. Tak lama kemudian, sang adik menaiki tangga dan memasuki kamar. Tidak sampai 1 menit, ia keluar kamar dan turun lagi. Aku mendengarnya berkata pada ibunya, "PR-nya kelewat sulit."

"Nanti bisa tanya ibu Puti," kata ibunya.
"Tapi Bu Puti lagi mengajar kakak!" jawabnya.

Tak lama kemudian, pertengkaran itu terjadi. Bukan antara sang adik dengan sang kakak, tetapi antara sang adik dengan sepupunya.

Sepupunya sedang bermain-main.Suaranya nyaring, "Aku mau belajar tahu! Jangan berisik! Jangan sampai aku marah," kata sang adik.

**

Ketika saya menemui sang adik untuk mengajaknya belajar. Suasana hatinya benar-benar sedang kacau balau.

"Sudah tidak mau belajar lagi!" katanya. Artinya, sebelumnya dia punya niat untuk belajar, tapi kini perasaan itu sudah hilang. Saya tidak mau memaksanya. Saya sempatkan waktu untuk mendengarkan curahan hatinya. Dia bosan sekolah. Sekolah menyebabkan saya begini. Ia menggambar wajah yang sedang murung.

"Memangnya ada masalah di sekolah?"
"Ngak sih, cuma pelajarannya saja semakin sulit."
"Kalau teman-teman bagaimana."
"Baik-baik saja."
"Kalau gurunya?"
"Ada yang genit."
"Hah! Maksudnya?" tanya saya. Dalam hati saya berharap gurunya tidak melakukan pelecehan seksual.

Dia menceritakan bahwa gurunya, seorang laki-laki, meminta nomor telepon temannya. Katanya untuk memberitahu kalau ada apa-apa, misalnya saat dia tidak bisa masuk sekolah. Ternyata sorenya, dia meng-sms, "Halo cantik, sudah makan belum?

"Sama saya juga begitu. Dia waktu itu meng-add aku di facebook. Waktu online, dia mengajak saya chatting. 'Halo cantik, lagi apa?' Langsung saya tutup chatting-nya"

Menurut saya, sikap tersebut tidak pantas dilakukan seorang guru. Bagi saya, bukan demikian tata komunikasi antara guru laki-laki dengan murid perempuan. Atau mungkin saya salah? Apaa memang tutur bahasanya begitu dan tidak ada maksud merayu? Entahlah, tapi saya setuju, bukan bahasa demikan yang seharusnya digunakan guru tersebut untuk berkomunikasi dengan murid-muridnya.

Murid saya lalu bertanya, "Ibu Puti, memangnya gak sayang yah, sudah susah-susah belajar dari TK, SD, SMP, SMU, dan juga kuliah. Belajar fisika eh cuma jadi guru?"

Saya menjawab seadanya, "Tidak. Pendidikan itu bidang yang multi-disiplin. Artinya, seorang guru yang baik, seharusnya punya ilmu-ilmu yang kaya dan mendalam." Ntah kenapa, saat itu saya sedikit kagok menjawabnya. Padahal pertanyaan itu bukan pertama kalinya saya dengar. Murid-murid saya, terutama yang dari keluarga terpelajar, orang tuanya lulusan universitas, sering menanyakan hal serupa pada saya.

Murid saya yang lain pernah kata, "Bu Puti aneh deh, kayak Bu Rakhmi [teman saya]. Sama-sama lulusan ITB tapi malah jadi guru."

Tak lama kemudian dia cerita bahwa kakak laki-lakinya bertunangan dengan seorang guru.

"Masak calon istri kamu jadi guru!" kata sang ayah memarahi calon pengantin baru di depan murid saya. Akhirnya, sang calon istri diminta pindah ke perusahaan ayahnya, bekerja di bidang manajemen.

Murid saya yang lain lagi juga menanyakan hal yang sama. Saat itu saya berhasil menerangkan dengan baik, bahwa belajar ilmu sebanyak-banyaknya itu penting, terutama untuk guru. "Justru guru harus pintar! Belajar yang banyak," kata saya. Tentu maksud saya bukan hanya belajar secara akademis tetapi juga kemampuan berkomunikasi dan juga belajar memperkaya jiwa.

Memang di Indonesia, orang pintar biasanya diharapkan menjadi dokter, engineer, mungkin masuk jurusan akutansi. Padahal justru profesi-profesi lain termasuk guru, petani, nelayan, dan sebagainya butuh orang-orang yang pintar. Saat itu saya ceritakan sahabat saya yang lebih gila. Cita-citanya mengabdi pada bidang pertanian. Dia berkuliah di S1 ITB. Selepas itu mengolah pertanian organik sambil terus belajar managemen bioteknologi (S2). Belakangan ini dia mendapatkan beasiswa S3 antropologi pertanian. Tapi sampai detik ini cita-citanya menjadi petani tidak pernah luntur,

"Justru petani harus pintar," katanya. Perkataan tersebut selalu terngiang-ngiang di kepala saya.

Tentu saja, petani-petani kita banyak yang pintar. Saya ingat dengan pertemuan saya dengan petani-petani di Jawa Tengah beberapa tahubn lalu. Saat itu ada pertemuan antar petani. Saya ikut dan merasakan diskusinya benar-benar hidup dan kaya. Mereka berpikiran maju, mengembangkan kompor yang ramah lingkungan untuk mengolah hasil pertanian, mampu menciptakan berbagai produk pertanian dengan kemasan menarik meskipun belum pengalaman mendistribusikannya di pasar. Mereka cerdas sekali meskipun beberapa hanya lulusan SD. Tetapi bayangan bahwa seseorang berkuliah setinggi-tingginya untuk menjadi petani, sungguh hal yang aneh di Indonesia. Di negara lain, tidak selalu begitu. Di Thailand misalnya, banyak petani yang kuliah di universitas, melakukan riset, lalu kembali menjadi petani. Bukan mencari pekerjaan lain. Mereka berkuliah untuk kembali menjadi petani. Petan yang lebih berilmu tentunya. Bukan hal aneh.

***

"Ibu bahagia yah? Guru kan gak sejahtera," tanyanya sambil menatap saya.

Karena tidak siap menjawab. Saya hanya berkata, "Iya, saya bahagia. Banyak pengalaman yang saya peroleh."

"Tapi muka ibu memelas begitu. Kayak gak bahagia."

"Saya memang lagi sedih. Bukan karena jadi guru, tetapi karena kamu gak mau belajar," kata saya, "Saya kan bersemangat sekali mau mengajar dan jadi sedih karena gak berhasil mengajak kamu belajar."

Murid saya tertawa. Kata-kata saya ternyata berhasil membuatnya bersemangat lagi. Kami mulai belajar, membahas gerak lurus berubah beraturan.Wah lega, akhirnya dia bersemangat juga. :)

Comments

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Belajar Tentang Keliling Bangun Datar Memecahkan Masalah

Standar Konten dan Standar Proses (NCTM, 2000)