Kesimpulan setelah mengunjungi beberapa lebaga pendidikan (formal+non-formal)

Salah satu hobi saya adalah berkunjung ke
berbagai komunitas
pendidikan, baik formal maupun non-formal. Saya cukup beruntuk
mempunyai kesempatan untuk mengunjungi berbagai komunitas pendidikan
tersebut, diantaranya Mts Sururon, Garut (gara-gara diajak bikin
training di sana), SLTP Qaryah Thayibah, Salatiga (ajakan teman saya
Sali gara-gara baca di Kompas), SD Hikmah Teladan Cimahi, Sekolah Alam
Dago (bareng teman2x dalam rangka diskusi pendididikan di kampus), SD
Mutiara Bunda (yang ngebantuin bikin training di Sururon, n juga
ngebantu ngelatih relawan kampus yang mau ke berangkat ke Aceh),
sekolah ibu kembar di Jakarta, Rumah Dunia, Pendidikan Alternatif
Samoja Bandung, Rumah Sakola, Makassar, Komunitas Babakan Siliwangi
(anak jalanan) sebelum terbakar dan termasuk masuk kelas bimbel di SSC
Tebet dan banyak lagi...

Saya hobi banget memperhatikan metode pengajaran, interaksi murid
siswa (klo di sekolah formal). Well, setelah sekian lama memperhatikan
akhirnya, aku menemukan beberapa kesimpulan ( yang mungkin bakal
nambah kelak) seiring dengan perkembangan waktu. Diantaranya:
1. Metode ternyata nomer 2
Sekarang mungkin lagi marak berbagai metode untuk ngajar, active
learning lah, metode yang mengutamakan kompetensi lah, n macem-macem.
Metode untuk mengajar bisa macam-macam. Bisa dengan diskusi,
presentasi, dan banyak lagi. Metode tentunya adalah hal yang penting,
tapi ternyata bukan yang terpenting.

Kadang ada guru/dosen yang udah pake metode macem-macem, pake slide
lah, paje games lah, tapi muridnya tetep gak nangkep esensinya, atau
tetep aja bosen. Ada juga guru/dosen yang konvensional cara ngajarnya
tapi berhasil narik perhatian murid-muridnya.

Ternyata kata kuncinya adalah.. Asalkan seorang guru/dosen mengajar
dengan hati, semangat, dan niat, terbuka, perhatian dengan
murid-muridnya, proses pendidikan bisa berjalan dengan baik.

Idealnya sih metodenya juga bagus. Tapi ternyata yang harus ditekankan
adalah mengajar dengan hati. Bila mengajar dengan hati metode
sesederhana apapun pasti OK, kalo ditambah metode yang bagus lebih OK
lagi.

Hal ini saya temukan ketika saya mengunjungi sebuah sekolah yang
fasilitasnya biasa aja. Saat itu buku-buku yang ada di sekolahnya
hanya kiriman dari sekolah lain, seadanya. Kalo lagi ada LKS ya udah
LKS itu dipake untuk belajar. Tanpa buku yang terlalu wah, penuh warna
gambar, n macem-macem, ternyata anak-anak di kelas itu tetep belajar
dengan semangat.

2. Salah satu cara untuk menentukan sekolah tersebut bagus atau tidak
adalah dengan melihat karya siswanya
Pernah nga kita meminta seorang anak mengungkapkan pendapat,
menggambar, menulis cerita dan sebagainya? Coba perhatikan deh, apakah
anak tersebut meniru pendapat/gambar/cerita teman di dekatnya. Kasus
`meniru cerita' dan `gambar mirip dengan temanya' banyak saya temukan
di mana-mana, jujur, termasuk murid saya sendiri. Suatu hari saya
mengunjungi sekolah yang cukup besar dan terkenal dan karya-karya
muridnya saya lihat dan saya menemukan kasus-kasus seperti ini.
Karya-karya yang mirip satu sama lain, baik puisi, cerita, maupun
gambar. Sedangkan suatu hari saya mengunjungi sekolah yang berbeda di
daerah dan suatu lembaga pendidikan alternatif. Saya menemukan karya
murid-murid di sekolah tersebut ditempel di dinding dan tidak ada
satupun karya yang mirip satu sama lainnya. Tiap karya memiliki
karakternya tersendiri. Artiny sekolah ini bagus. Setidaknya sekolah
ini berhasil memacu murid-muridnya untuk tumbuh dengan kreativitasnya
masing-masing dan dengan karakter yang berbeda-beda pula.

3. Saya juga menemukan bahwa di tiap lingkungan, permasalahan yang
dihadapi berbeda-beda. Misalnya permasalahan yang terjadi di kota
tidak akan sama dengan masalah yang terjadi di desa. Teman-teman yang
berkecimpung di pendidikan kota misalnya, harus berhadapan dengan
pluralitas yang cukup besar, sedangkan di desa pluralitasnya tidak
sebesar di kota. Ada teman-teman yang mengajar di sebuah komunitas
yang dekat dengan mall dan pusat perbelanjaan, akibatnya karena anak
begitu dekat dengan mall dan pusat perbelanjaan, sehingga walaupun
berasal dari, maaf, ekonomi menengah ke bawah, tetapi tetap saja
hidupnya ingin konsumtif. (Yang penting gaya!). Sedangkan ada teman
yang mengajar di daerah-daerah tertentu tapi sulit sekali mendapatkan
akses terhadap informasi. Ada juga teman yang mengajar anak-anak dari
keluarga mampu tapi merasa sangat kesepian. Saya juga pernah bertemu
seoarang perempuan yang harus melakukan pendekatan sati per satu ke
orang tua murid untuk berdiskusi dengan orang tua murid tentang
pentingnya pendidikan, sampai kadang harus menginap di rumah orang tua
murid tersebut

4. Saya juga menemukan bahwa persaingan di tingkat sekolah ada
bagusnya dan ada tidaknya. Dengan adanya persaingan, anak akan terpacu
untuk belajar lebih giat. Misalnya saat seorang anak sekolah di
sekolah di mana lingkungannya sangat kompetitif, anak juga akan
menjadi kompetitif. Dia akan berusaha semaksimal mungkin agar ia bisa
menunjukan potensi dirinya. Malu dunks kalah sama yang lain. Tapi
kadang tingkat persaingan yang terlalu gila-gilaan di pendidikan dini,
tidak bagus juga. Seringkali anak jadi tidak bisa membedakan
persaingan sehat maupun tidak. Persaingan tidak selalu dibutuhkan.
Saya jauh lebih senang sewaktu saya masuk kelas di sebuah sekolah,
lalu ada anak yang sudah ngerti materinya duluan dibandingkan
teman-temannya, lalu gurunya mengatakan, "Coba kamu ajari teman-teman
yang lain". Tapi saya juga pernah menemukan kasus, ada sekolah yang
persaingan (belajar)-nya hampir tidak pernah ada, akibatnya yang
juara-1-nya merasa bahwa dia sudah berusaha belajar semaksimal
mungkin, karena dia melihat teman-temannya tidak semaksimal dia,
tetapi ketika dia berhadapan dengan anak dari sekolah lainnya, dia
baru tahu kalau usaha belajarnya sama sekali belum maksimal.

5. Saya juga menemukan bahwa yang butuh pendidikan bagus bukan hanya
yang pintar saja. Sekolah yang bagus bukan berarti bahwa saat masuk
anaknya sudah pintar (mengingat bahwa untuk masuk sekolah menengah
yang `katanya bermutu' butuh seleksi menurut kecerdasan, IQ, dan
sebagainya) dan saat keluar anaknya pintar juga. Tetapi sekolah yang
bisa membuat anak yang biasa-biasa saja menjadi lebih pintar, lebih
bersemangat, lebih ingin belajar. Ada anggapan bahwa kita harus
mengistimewakan anak-anak yang pintar, memberi mereka perhatiab extra
khusus agar menghasilkan bibit-bibit yang unggul. Pendapat ini ada
benarnya, tapi tidak sepenuhnya benar. Anak-anak yang berkemampuan
kurang justru harus dibimbing semaksimal mungkin, agar kelak lebih
percaya diri, bisa berprogres dalam belajar, dan sebagainya

Well, itu baru 5 kesimpulan yang saya dapatkan. Nanti kalau aku
menemukan kesimpulan lagi, ku-sharing dhe.. Ada tanggapan?

Comments

Beni Suryadi said…
puti, aku pengen bikin sekolah.
Anonymous said…
Sama dunks ben... Hehehe. Pa kabar?
Anonymous said…
Sama dunks ben... Hehehe. Pa kabar?
Anonymous said…
mbak putiii...aku berkunjung. hehehe

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Memahami Pembelajaran Terintegrasi (Bagian 1) : Definisi & Manfaat Pembelajaran Terintegrasi

Belajar Tentang Keliling Bangun Datar Memecahkan Masalah