Saya menemukan buku " The Present Takers " karya Aidan Chambers di lemari buku adik saya. Tampaknya adik saya, yang kelahiran 1992, membaca buku tersebut saat dia remaja. Buku ini memang buku untuk remaja (atau malah pra-remaja). Sepertinya buku ini memang cocok dibaca oleh siswa usia 10 - 15 tahunan. Tentu, saya bukan remaja lagi, tapi saya penasaran membaca bukunya. Kenapa? Karena di bagian belakang buku ada keterangan bahwa ini bercerita tentang seorang anak yang mengalami bullying. Bullying adalah salah satu bentuk kekerasan di mana seorang anak menggunakan kekuasaannya untuk menekan anak yang lain baik secara verbal maupuk fisik. Bullying belakangan sering terjadi di beberapa sekolah, termasuk sekolah di Indonesia. Sebagai orang yang bergelut di dunia pendidikan, saya ingin tahu bagaiamana buku ini mengangkat cerita mengenai bullying. Mungkin ada yang bisa dipelajari. Cerita Tentang Lucy yang Di- Bully dan Guru yang Tidak Curiga Tokoh utama dalam buku ini bern...
“Apa saja yang dipelajari ketika belajar matematika (di sekolah)?” tanya seorang fasilitator pada suatu pelatihan guru. Seorang menjawab, “Menghitung.” “Belajar tentang bilangan dan bentuk-bentuk,” kata seorang guru yang lain. “Belajar aljabar, kalkulus, dan sebagainya.” Ketika mendengar kata ‘matematika’, beberapa guru tampaknya langsung ingat pada topik-topik matematika seperti bilangan dan geometri. Yang kadang terlupa adalah bahwa matematika juga sangat terkait dengan proses berpikir tertentu. Seseorang yang belajar matematika pada dasarnya juga belajar bernalar, memecahkan masalah, melakukan pemodelan, dan lain-lain. Di dalam buku Principles and Standards for School Mathematics (NCTM, 2000), standar mengenai pengajaran matematika di sekolah dibagi menjadi dua: (1) standar konten dan (2) standar proses. Standar konten menggambarkan konten-konten yang perlu diajarkan kepada siswa dari TK sampai SMA, yakni: bilangan dan operasinya, aljabar, geometri, pengukuran, ana...
"Merevolusi Pendidikan Dasar untuk Indonesia Emas 2045" adalah tema diskusi Barisan Pengkaji Pendidikan (Bajik) yang diadakan pada Rabu, 6 November 2024 lalu. Pak Ahmad Rizali (Nanang) menyampaikan presentasi tentang perlunya kebijakan yang fokus pada peningkatan mutu SD/MI, salah satunya melalui peningkatan mutu pendidikan guru, mulai saat calon guru berkuliah S1 di LPTK dan pendidikan guru yang sudah jadi guru. Tampaknya, hampir semua peserta setuju bahwa peningkatan mutu guru adalah salah satu kebijakan strategis. Namun, salah satu peserta lain, Prof Iwan Pranoto, mengingatkan bahwa peningkatan mutu guru itu ideal, tetapi dalam kondisi Indonesia saat ini, strategi itu tidak cukup. Kondisi riil, masih ada sekolah-sekolah yang tidak ada gurunya. Juga, ada kalanya gurunya harus meninggalkan siswa untuk mengikuti berbagai program pelatihan guru. Akhirnya, siswa ditinggal. Jelas, siswa dirugikan. Maka Pak Iwan Pranoto menganggap, meningkatkan mutu guru saja itu tak cukup untu...
Comments