Posts

Showing posts from 2021

Sekilas Tentang Persiapan Konten Gernas Tastaba

Image
Uji coba Traing of Trainer (ToT) Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Matematika (Gernas Tastaka) diujicobakan pada Desember 2018 sampai Februari 2019. Namun,  persiapannya sudah dilakukan semenjak September 2018. Di sisi lain Uji Coba Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Membaca (Gernas Tastaba) dilakukan sejak 30 Juli 2021 dan akan berakhir pada 3 September 2021. Persiapannya dilakukan sejak 28 Januari 2020. Butuh waktu lebih lama untuk persiapannya. Alasannya, selain karena ada pandemi, juga karena memang tim konten benar-benar mengulik apa yang perlu jadi benang merah dari kegiatan ToT Gernas Tastaba.  Pengalaman menyiapkan konten Gernas Tastaba ini memberikan pengalaman baru bagi saya.  Ketika menyiapkan konten Gernas Tastaka saya tidak terlalu kesulitan karena memang memiliki pengalaman mengajar matematika dan latar belakang di pendidikan matematika. Memang, ketika persiapan saya dan tim belajar lagi. Tapi, saya sudah punya bayangan, buku apa yang akan jadi referensi, teori belajar

Sudah Mengajar Bertahun-tahun Tapi Kembali Belajar (Matematika) dari Dasar? Kenapa Tidak?

Image
Di postingan “Potret Kelas Matematika yang Tidak Ada Matematikanya” saya mengatakan bahwa saya kaget (lebih tepatnya shock ) melihat pengajarannya Prilly Latuconsina (lihat: http://mahkotalima.blogspot.com/2021/07/potret-kelas-matematika-yang-tidak-ada.htm l ). Perasaan kaget itu merupakan emosi yang timbul dalam diri saya. Namun, setelah saya mulai merasa tenang, saya pikir seharusnya saya tidak kaget. Praktik pengajaran yang dilakukkan oleh Prilly yang mengajarkan rumus cepat sebagai suatu kebenaran yang harus diterima begitu saja meskipun tak tahu asal usulnya bukan hal baru. Itu praktik yang sudah sering saya temui. Beberapa orang tidak menyadari bahwa hal tersebut merupakan  kesalahan fatal di kelas matematika. Mungkin, saya juga pernah begitu. Seakan-akan mengajar matematika padahal tanpa menumbuhkan penalaran. So, logically, I shouldn’t be so shocked .   Apa yang dilakukan oleh Prilly, juga pernah dilakukan oleh banyak guru Matematika lainnya termasuk oleh beberapa guru-gur

Potret Kelas Matematika yang Tidak Ada Matematikanya

Saya sangat kaget melihat video pengajaran matematikanya Prilly Latuconsina (duta @ruangguru ). Videonya bisa dilihat di sini:   https://www.instagram.com/tv/CREC9E_JKTZ/?utm_source=ig_web_copy_link .   Video memotret contoh “Kelas Matematika yang tidak ada Matematikanya”. Persis seperti apa yang disuarakan oleh matematikawan Paul Lockhart (2009) dalam buku “ A Mathematician’s Lament ”.   Di video itu Prilly menjelaskan cara menghitung hasil penjumlahan deret bilangan berikut ini: 1 + 2 + 3 + 4 + … + 10 Untuk tahu kenapa video tersebut bermasalah, saya sarankan untuk membaca tulisan teman saya, seorang pendidik matematika Pak Rachmat Hidayat yang juga mengelola akun Instagram @matematigis dan merupakan relawannya @gernastastaka telah menjelaskan secara rinci kenapa pengajaran Prilly tersebut bermasalah di tulisan “Benerin Prilly Ngajar Matematika” di sini:   https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=4287983974594909&id=100001500457505 Saya hanya akan menambahka

Pertanyaan-pertanyaan yang Muncul Setelah Mendengarkan Diskusi Tentang "Membaca untuk Kesenangan"

Image
 Belum lama saya mendengarkan sebuah diskusi di youtube. Judulnya " What if We Want All Children to Read For Pleasure? " yang artinya "Bagaimana Kalau Kita Ingin Setiap Anak Kita Membaca Untuk Kesenangan".  Diskusinya bisa dilihat di sini: Diskusi itu difasilitasi oleh Institute of Education (IoE), University of College London (UCL) dan difasilitasi oleh empat narasumber, Joseph Coelho (penulis buku anak dan puisi),  Charlotte Hacking (yang bekerja di  Centre for Literacy in Primary Education), Gemma Moss (Profesor di bidang literasi dari IoE), dan Alice Sullivan (Profesor di Bidang Sosiologi di IoE). Di dalam tulisan ini saya hanya akan membahas satu aspek dari dialog tersebut yang paling menarik hati saya, yakni apa yang disampaikan oleh Charlotte Hacking. Hacking menyatakan bahwa dirinya berasal dari dunia riset sekaligus juga merupakan praktisi, sehingga dia bisa melihat isu "Membaca untuk Kesenangan" dari kedua sudut pandang tersebut (riset dan sisi p

Guru Membaca "Guru Idola" di Sebuah Lokakarya

Image
"Guru Idola" karya L. Wilardjo (Kompas, 17 Juli 2018) Di sebuah lokakarya untuk guru, saya membagikan sebuah artikel dari koran Kompas berjudul  "Guru Idola" karya L. Wilardjo yang diterbitkan pada 17 Juli 2018. Dengan tulisan bergaya Times New Roman berukuran 12, dengan spasi satu setengah, dan ada spasi antara paragraf, artikel tersebut sepanjang 5 halaman. Tidak terlalu panjang sebenarnya. Peserta lokakarya diberikan waktu sekitar 15 menit untuk membaca artikel tersebut.  Artikel tersebut berupa kisah tentang beberapa guru yang diidolakan siswanya. Semua guru memiliki kesamaan. Mereka berhasil memfasilitasi siswanya untuk berkembang jauh sehingga menjadi jauh lebih hebat dari gurunya. Prof. Arnold Sommerfeld misalnya, mengembangkan teori atom hidrogen-nya Niels Bohr. Hal tersebut memang hebat, tetapi muridnya, Wolfang Pauli justru memperoleh Nobel Fisika. Kehebatan Pauli melampaui kehebatan Sommerfield, meskipun pada awalnya Pauli terinspirasi dari gurunya. Seora

Refleksi Menonton Dokumenter Tentang Asuka Umeda, Si Pembelajar Yang Mencintai Keajaiban Kehidupan

Image
Menonton film dokumenter "My Notebooks: Seven Years of Tiny Great Adventures"  (di NHK-World Japan) tentang kisah Asuka Umeda membuat perasaan saya campur aduk. Saya kagum melihat catatan-catatan harian Asuka Umeda yang menunjukkan rasa ingin tahunya yang tinggi. Namun, Asuka tidak selalu cocok di sekolah, lembaga yang seharusnya menjadi instutusi pendidikan. Institusi yang seharusnya bertujuan memfasilitasi anak agar dipenuhi rasa ingin tahu. Asuka mulai menulis catatan hariannya sejak kelas 3 Sekolah Dasar (SD). Awalnya kegiatan ini dilakukan sebagai bentuk tugas sekolahnya. Gurunya, menugasi siswa-siswinya untuk melakukan "self learning". Yang berarti belajar mandiri. Belajar mandiri tidak berarti siswa belajar tanpa guru mengisi lembar kerja yang tidak habis-habis. Belajar mandiri berarti siswa memilih apa yang ingin dipelajarinya dan menuliskannya di dalam catatan. Pekerjaan rumah ini ternyata menjadi awal mula hobi Asuka. Mencatat apapun yang menarik hatinya s

Peluncuran "Ruang Belajar Alex Tilaar"

Image
Kehormatan besar menjadi saksi peluncuran Ruang Belajar Alex Tilaar (RBAT) di Jl. Wahid Hasyim N0.27 Jakarta. Ruang belajar ini terbuka untuk umum, berisi buku-buku koleksi pribadi alm. Prof. H.A.R Alex Tilaar, seorang pendidik dan pemikir pendidikan yang sangat saya kagumi. Beliau dikenal sebagai seorang guru yang sangat mencintai Indonesia. Hidupnya didedikasikan untuk guru dan pendidikan. Perjuangannya tidak hanya dilakukan dengan mengajar, tapi juga melalui kegiatan belajar, membaca, dan menulis. Hal itulah yang paling saya kagumi darinya. Selama 87 tahun hidupnya beliau telah menulis 31 buku tentang pendidikan (beberapa diantaranya sangat tebal misalnya Kaleidoskop Pendidikan Indonesia). Selain itu beliau juga menulis setidaknya 200 artikel tentang pendidikan. Sebuah kutipan yang terpampang di rumah belajar H.A.R . Tilar menggambarkan hal ini. Tulisannya: "Buku adalah buah pemikiran saya yang abadi. Saya tidak abadi, maka saya berharap suatu saat buku yang saya tulis bisa b

Belajar Klasifikasi Dulu, Belajar Bilangan Kemudian

Image
Kemampuan mengklasifikasi adalah kemampuan untuk bisa menyortir suatu atau beberapa objek berdasarkan perbedaan ataupun persamaannya.  Belajar mengklasifikasi ini bisa dilakukan bahkan sebelum anak mengenal konsep bilangan. Seorang anak misalnya, bisa belajar mengklasifikasi suatu objek berdasarkan warnanya (merah, kuning, hijau), mengklasifikasi makanan berdasarkan rasanya (asam, asin, manis, pahit), dan sebagainya. Kemampuan mengklasifikasi ini merupakan salah satu keterampilan. Untuk mempelajari lebih lanjut mengenai pentingnya keterampilan mengklasifikasi sebelum belajar bilangan, mari kita perhatikan deskripsi mengenai Jalu dan Intan berikut ini.  Kisah Jalu, Intan, dan Cangkang Kerang Seorang anak sedang berjalan bersama kakaknya di pinggir pantai. Jalu namanya. Usianya tak sampai 6 tahun, kakaknya Intan berusia sekitar 8 tahun. Di tangan kanan Jalu terdapat sebuah ember kecil. Sambil berjalan, Jalu mengambil beberapa cangkang kerang yang ditemuinya. Dimasukkannya ke dalam ember.

Amanah baru di 2021

Image
2021 baru berjalan selama 3 bulan, tetapi telah ada beberapa hal penting yang terjadi di dalam hidupku. 26 - 31 Januari 2021 berlangsung Kongres Ikatan Guru Indonesia (IGI) yang ke-3. Tepat di hari pertama kongres, salah satu pendiri IGI, alm. Ibu Yully meninggal dunia. Tentu saja, banyak sekali teman-teman yang merasa kehilangan. Ternyata sebelum pergi Ibu Yully sempat menitipkan pesan kepada saya (melalui suaminya yang juga pengurus IGI) untuk menjaga IGI. Tentu saja saya akan selalu menjaga IGI. Saya mencintainya. Cara yang saya bayangkan, berada di belakang layar. Tidak ikut menjadi pengurus, tapi menulis untuk IGI, berbagi dengan anggota IGI, dan sebagainya. Sebelum kongres ke-3 saya menyumbang tulisan untuk mengingatkan tentang visi dan nilai-nilai yang dipegang IGI. Harapannya agar seluruh anggota maupun pengurus (lama maupun baru) akan fokus pada cita-cita dan nilai bersama. Kapanpun IGI meminta saya untuk mengisi acara mereka, atau bahkan untuk berkunjung saja, saya akan usaha

Pengalaman Belajar Membaca Waktu Kecil

Image
Saya sebenarnya tidak pernah dan agak segan menceritakan pengalaman ini di publik. Namun, saya rasa pengalaman ini bisa mungkin akan berguna bagi beberpa teman-teman di sini. Pengalaman tentang pengalaman belajar membaca ketika saya masih kecil. Ketika saya kecil, kedua orang tua secara bergantian membacakan saya buku setiap hari. Dari bayi sampai saya umur 6 tahun. Hampir tidak pernah absen. Sampai sekarang saya sangat tidak habis pikir, kenapa kedua orang tua saya bisa setekun itu. Di usia 6 tahun, saya ingat dibacakan buku yang lumayan tebal dan tidak bergambar. Kisah tentang Helen Keller. Di bagian belakangnya ada beberapa contoh huruf Braile yang bisa saya sentuh dengan tangan.  Di masa itu saya tidak tinggal di Indonesia karena kedua orang tua berkuliah. Buku-buku yang saya baca, ada yang koleksi sendiri, ada yang pinjaman sekolah dan ada yang didapatkan di perpustakaan umum. Perpustakaan buat saya seperti tempat bermain saja. Ada bagian buku anak-anak, setting ruangannya berwarn

Pandangan Tentang Kongres IGI ke-3

Image
Rasanya tidak mungkin untuk tidak ikut bersemangat dalam menghadapi Kongres Ikatan Guru Indonesia (IGI) ke-3 yang akan diselenggarakan pada 28 - 31 Januari 2021 (secara hybrid di Bandung dan secara daring). Meskipun bukan pengurus lagi, dan berdasarkan AD/ART IGI, sebagai anggota luar biasa IGI, maka saya tidak memiliki hak memilih dan dipilih. Tentu tidak bisa ikut memilih siapa yang akan menjadi pempinan IGI berikutnya. Sampai detik ini sudah ada 7 calon kandidat Ketua IGI periode berikutnya, diantaranya 1). Danang Hidayatullah (IGI DKI), Gusti Surian (IGI Kalimantan Selatan), Jasmin (IGI Sulawesi Tenggara), Khairuddin Budiman (IGI Aceh), Mampuono (Sekjend IGI Pusat), Marjuki (IGI Jawa Timur), Mahrani Arifin (Pengurus Pusat Pengembangan Regional 10, Kalbar-Kalteng). Rasanya senang bahwa ada banyak calon Ketua Umum IGI dari berbagai daerah di Indonesia. Jadi ramai pemilihannya. Seru! Di sisi lain, masih menunggu, akan adakah calon Ketua Umum IGI Perempuan?  Hal yang juga menyenangkan