Refleksi Membaca (beberapa bab) “How Humans Learn to Think Mathematically: Exploring the Three Worlds of Mathematics” karya David Tall



Buku ini belum saya baca sampai tuntas. Baru bagian pendahuluan (prelude) dan dua bab berikutnya,  yakni “The Foundations of Mathematical Thinking” dan  “Compression, Connection and Blending of Mathematical Ideas”.


Sebelum menuliskan refleksi saya mengenai buku ini, saya ingin bercerita apa yang membuat saya tertarik pada buku ini. Alasannya, karena saya cukup familiar dengan nama penulisnya. Pernah membaca salah satu penelitiannya yang ditulis bersama Gray (1994). Judulnya,  “Duality, Ambiguity and Flexibility: A Proceptual View of Simple Arithmetic”. Bahkan penelitian ini dikutip sebagai salah satu bahan untuk Training of Trainers (ToT) Gernas Tastaka mengenai Bilangan. Baru kali ini saya berkesempatan membaca bukunya. Buku bagian pendahuluannya tidak terlalu mudah untuk saya pahami. Setelah membaca bagian pendahuluan berkali-kali, dilanjutkan dengan dua bab berikutnya, saya menemukan beberapa hal yang terasa bermakna. Oh iya, bab kedua dan ketiga lebih mudah dibaca daripada membaca pendahuluannya. Pendahuluannya berisi kerangka teoritis yang merupakan dasar penulisan seluruh buku. 


Salah satu frase yang menarik dari buku Tall ini adalah penggunaan istilah “three worlds of mathematics” yang berarti “tiga dunia matematika”. Apa artinya? 


 

Pada intinya, tiga dunia ini adalah gagasan tentang bagaimana seorang mengembangkan kemampuan berpikir matematisnya. Setiap orang, bahkan matematikawan, tidak ada yang langsung bisa berpikir matematis, apalagi sampai bisa melakukan pembuktian-pembuktian formal. Di ketiga dunia tersebut, matematika dilihat dengan cara yang berbeda. 

Dunia tersebut adalah:

(1) Conceptual embodiment: di ‘dunia’ ini, pemahaman akan Matematika dikembangkan dengan berinteraks (melakukan aksi) dengan  hal-hal fisik apa yang ada di sekitar. Proses ini membantu seseorang untuk mengembangkan persepsinya mengenai dasar-dasar matematika, misalnya mengenai ‘bilangan’, ‘geometri’ sehingga bisa mengembangkan visualisasi mental (mental images) dan bahasa yang menjadi bagian dari imajinasi matematisya. 

(2) Operational symbolism: di ‘dunia’ ini, seseorang mulai mengembangkan akan berbagai prosedur matematis. Beberapa orang mungkin ‘mentok’ dan hanya memahami matematika sampai tahapan prosedural, namun beberapa orang mulai mengembangkan kemampuan untuk memahami berbagai simbol secara lebih fleksibel,  serta menggunakan berbagai operasi untuk melakukan kalkulasi dan manipulasi matematis.

(3) Aximatic formalism: di ‘dunia’ ini, pemahaman akan Matematika dibangun di atas pengetahuan yang formal dan sistem aksiomatik. Set theoretic definition digunakan dan sifat-sifatnya dideduksi menggunakan pembuktian matematis. 


Kalau direfleksikan, Gernas Tastaka berfokus pada dua dunia yang pertama. Terkhusus lagi, dunia yang pertama. Hal ini didasarkan pada temuan, bahwa siswa-siswa SD/MI kadang tidak diberikan kesempatan untuk merasakan dunia yang pertama. Mereka langsung diharapkan bisa mengerti berbagai simbol dan bahasa matematika tanpa pernah memiliki pengalaman yang memungkinkannya memaknai simbol-simbol tersebut. 


Misalnya, untuk mengembangkan pemahaman geometri,   anak perlu punya pengalaman bermain-main dengan objek geometris (benda di sekitarnya). Panca inderanya digunakan untuk mengenali sifat-sifat geometris berbagai benda. Anak juga perlu memiliki pengalaman untuk mengungkapkan hasil pengamatannya terhadap benda-benda tersebut secara deskriptif, menggunakan kata-kata. Baru, di tingkat pendidikan yang selanjutnya, mereka mungkin akan menggunakan berbagai definisi terkait geometri yang lebih presisi.


 

Pemahaman mengenai bilangan, perlu dimulai dengan pengalaman melakukan berbagai hal terhadap objek di sekitarnya. Anak-anak perlu menggunakan objek-objek tersebut dan menghitungnya, mengelompokkannya, membaginya, mengurutkannya, menjumlahkannya, menguranginya, mengalikan, dan membaginya. 


Pemahaman mengenai pengukuran perlu dimulai dengan mengalami proses mengukur. Anak perlu merasakan mengukur panjang, luas, volume, massa, dari hal-hal yang ditemuinya. 


Pengalaman berinteraksi dengan berbagai hal konkret di sekitar akan menjadi dasar bagi anak untuk mengembangkan imajinasi matematisnya. Sayangnya, kadang di sekolah hal-hal ini terlewati. Anak terkadang langsung dipaksa untuk masuk ke ‘dunia’ kedua bahkan ketiga, meskipun belum siap. 


Selain belajar mengenai tiga dunia tersebut, saya terkesan oleh sebuah kutipan Tall berikut ini:


“It is generally considered that mathematicians wish to avoid ambiguity in mathematics because precision seems to be vital. Now I see that ambiguity and flexibility in using symbolism is essential to enable us to think mathematically.”


Artinya, “Secara umum ada pandangan bahwa matematikawan menghindari ambiguitas,  karena menganggap presisi menjadi hal yang sangat penting di matematika. Justru, sekarang  saya melihat bahwa ambiguitas dan fleksibilitas ketika menggunakan simbol-simbol matematika justru sangat esensial untuk memungkinkan kita berpikir secara matematis” (h.45).


Kutipan ini mengingatkan saya mengenai perdebatan mengenai 3 dikali 4 dan 4 dikali tiga (yang sampai hari ini masih terus diperdebatkan oleh beberapa teman-teman guru). Menariknya, kasus tersebut dibahas di buku Tall. 


Tall menganggap bahwa untuk bisa berpikir matematis, terkadang kita tidak bisa terlalu kaku ketika memaknai sebuah simbol matematis. Kita perlu fleksibilitas untuk melihat bagaimana simbol-simbol tersebut berkaitan dengan berbagai konsep matematika lainnya. 


Tall memberikan sebuah kasus mengenai  anak yang ingin menghitung  2 + 8. Ada anak yang menganggap menyelesaikan masalah ini harus dengan menghitung 2 terlebih dahulu, lalu dilanjutkan dengan berhitung lanjut (counting on), 3, 4,5, … sampai akhirnya menemukan bahwa hasilnya sama dengan 10.  Anak ini masih belum fleksibel dalam memahami 2 + 8. 


Di sisi lain, anak lain berpikir, akan lebih mudah kalau mulai berhitung dari 8 lalu menambahkannya sebanyak 2 sehingga hasilnya sama dengan 10. 


Tall juga menggambarkan pernyataan William Thurston tentang pengalaman masa kecilnya. Thurston adalah seorang matematikawan ahli topologi yang memperoleh Fields Medal, salah satu penghargaan paling bergengsi di bidang matematika.

Ketika kelas 5 SD, Thurston sangat kagum bahwa 134 dibagi 29 hasilnya adalah 134/29. Tidak perlu diapa-apakan lagi. Ini fakta yang sangat menarik baginya.

Kisah Thurston mengingatkan saya akan pengalaman bertemu siswa yang merasa tidak nyaman kalau hasil perhitungannya tidak berupa bilangan bulat. Kadang saya memperoleh pertanyaan, “Apakah tidak apa-apa menuliskan hasil akhir perhitungan ini seperti ini (berupa pecahan, atau desimal, atau masih dalam bentuk akar). Tentu jawaban terhadap pertanyaan tersebut tergantung pada konteksnya, tetapi hal tersebut memberikan gambaran bahwa kadang siswa (atau bahkan kita sendiri sebagai pendidik) tidak fleksibel ketika memaknai berbagai simbol-simbol Matematika. Pemahaman akan berbagai simbol lebih bersifat prosedural, bukan relasional. Tall menggunakan istilah lain untuk menjelaskan mengenai fenomena ini, yakni pemahaman yang bersifat “proceptual” (belum akan saya terangkan secara rinci di sini). 

Sebenarnya di bagian pendahuluan bukunya, Tall sudah mengungkapkan pentingnya membangun koneksi-koneksi antar berbagai gagasan matematis. Katanya , “The long-term development of mathematical thinking is more subtle than adding new experience to a fixed knowledge structure. It is a continual reconstruction of mental connections that evolve to build increasingly sophisticated knowledge structure over time”. Artinya, “Mengembangkan kemampuan berpikir matematis dalam jangka panjang  lebih dari sekadar menambah pengalaman baru kepada struktur pengetahuan yang sudah ajeg. Namun, merupakan rekonstruksi yang berkelanjutan untuk membangun koneksi-koneksi mental yang berevolusi untuk membentuk struktur pengetahuan yang lebih canggih seiring dengan berjalannya waktu.” 






Sumber: 

Tall, D. (2013). How humans learn to think mathematically: Exploring the three worlds of mathematics. Cambridge University Press.

Gray, E. M., & Tall, D. O. (1994). Duality, ambiguity, and flexibility: A" proceptual" view of simple arithmetic. Journal for Research in Mathematics Education, 116-140.





 

Comments

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Memahami Pembelajaran Terintegrasi (Bagian 1) : Definisi & Manfaat Pembelajaran Terintegrasi

Belajar Tentang Keliling Bangun Datar Memecahkan Masalah