tag:blogger.com,1999:blog-142683872024-03-13T21:54:23.717+07:00Mahkota LimaDhitta Puti Sarasvatihttp://www.blogger.com/profile/14527876469514260028noreply@blogger.comBlogger459125tag:blogger.com,1999:blog-14268387.post-39319659997243674142023-07-24T17:08:00.002+07:002023-07-24T17:15:20.305+07:00Guru, Jangan Jadi Sekadar "Pengimplementasi Kurikulum"<p>Saya pernah mengajar mata kuliah terkait kurikulum. Peserta mata kuliah tersebut adalah calon guru matematika, mahasiswa tingkat tiga di Fakultas Pendidikan. Sebelum mengajar, saya memberikan calon guru artikel "Teacher as Transformatory Intellectuals" karya Henry Giroux dan mengajak mahasiswa mendiskusikannya. Saya berharap setelah mengikuti mata kuliah yang saya ampu, calon guru punya kesadaran bahwa mereka boleh memilih atau tidak memilih untuk mengikuti kurikulum resmi (baik yang disediakan oleh pemerintah, lembaga tertentu, ataupun sekolah) selama keputusan tersebut diambil berdasarkan basis keilmuan pendidikan yang mereka pelajari selama ini. Kurikulum resmi apapun tidak boleh dianggap kebenaran mutlak. </p><p><br /></p><p>Artikel yang ditulis oleh tersebut mengatakan bahwa ada dua pandangan mengenai guru. Pandangan pertama, guru sebagai teknisi yang tugasnya hanya mengimplementasikan kurikulum yang diberikan kepadanya. Dalam hal ini guru tidak dianggap tidak memiliki kapasitas intelektual dan moral untuk mendidik siswanya menjadi warga negara yang kritis. Dalam konteks guru sebagai teknisi, maka guru harus dilengkapi dengan seperangkat kurikulum yang harus diikuti begitu saja. Kalau ada materi ajar yang telah disiapkan, misalnya dalam bentuk buku teks, maka guru mengikuti saja materi ajar yang telah disiapkan baginya tersebut. Pandangan kedua adalah guru sebagai intelektual transformatif. Pandangan ini melihat guru sebagai seorang intelektual. Guru di sini haruslah seorang yang mampu memadukan pengetahuan-pengetahuan ilmiah dengan proses refleksi sehingga siap mengambil keputusan terbaik di kelasnya untuk mendidik siswanya menjadi warga negara yang kritis. </p><p><br /></p><p>Sebenarnya, setelah mengajak calon guru membaca artikel ini, saya tetap mengajarkan calon guru untuk membaca beragam kurikulum resmi dan bagaimana menggunakannya. Terlepas dari itu, saya berharap calon-calon guru punya sudut pandang yang lebih kritis dalam membaca kurikulum apapun. Mereka tidak menjadi orang yang sekadar "mengimplementasikan kurikulum resmi" belaka. </p><div><br /></div>Dhitta Puti Sarasvatihttp://www.blogger.com/profile/14527876469514260028noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-14268387.post-68803020874519194942022-12-24T12:11:00.001+07:002022-12-24T12:17:11.499+07:00Pak Sumardianta dan Saya (Bagian 3)<p>Berkolaborasi menulis buku "Mendidik Pemenang Bukan Pecundang" bersama Pak Sumar berarti bahwa saya punya lebih banyak kesempatan ketemu Pak Sumar dan mengenal banyak orang baru. Kini, setiap ke Jogjakarta, saya selalu mengabari Pak Sumar. Ketika Pak Sumar tidak sibuk, dia dan istrinya (juga anaknya) akan menemui saya di Jogjakarta dan mengajak saya berjalan-jalan. Pernah saya diajak menemani Pak Sumardianta dan istrinya pergi kondangan, ke pernikahan anak seorang seniman di kaki gunung Merapi, di dusun Juwiran, Klaten. Saya melihat misa pernikahan yang dipimpin oleh Romo Sindhunata (yang sempat diperkenalkan kepada saya juga). Acaranya di semacam lereng gunung. Begitu banyak warga berkumpul di sana, duduk di atas kursi-kursi yang ditaruh di atas tanah, mengenakan pakaian tradisional, berarak-arak, dan membawa beragam seserahan. Sebuah upacara adat yang sangat menarik dan tidak pernah saya temui di kota besar. </p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiA6KqDsGpknISo0OlZnR1a9a-PIS6KS5D2f4JErLDlDNfbGlmXm9lGSbGRUmO1S_9Myg6TjMAQKH4EKkzfbj4s8iOA1NP2-WUM7oDfsx-tWIc3DIZFjwLOmXj8e1xvD-JTWdnTyShRdeKPCFZ1NgkqVZ0xGD3JPmfoqzkz3AaIl9jYyKfS0w/s957/merapi%20compile.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="957" data-original-width="939" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiA6KqDsGpknISo0OlZnR1a9a-PIS6KS5D2f4JErLDlDNfbGlmXm9lGSbGRUmO1S_9Myg6TjMAQKH4EKkzfbj4s8iOA1NP2-WUM7oDfsx-tWIc3DIZFjwLOmXj8e1xvD-JTWdnTyShRdeKPCFZ1NgkqVZ0xGD3JPmfoqzkz3AaIl9jYyKfS0w/s320/merapi%20compile.jpg" width="314" /></a></div><p>Saya juga punya kesempatan berkenalan dengan banyak orang baru. Setelah menulis buku bersama saya, Pak Sumardianta juga berkolaborasi menulis buku bersama orang lain. Bersama Pak Gregorius Sutarto, guru Fisika di Kolese Kanisius, Pak Sumardianta menulis "Jatuh 7 Kali, Bangkit 8 kali". Buku tersebut berkisah tentang Pak Tarto yang hidupnya penuh tantangan tetapi selalu bangkit, bukan karena "ingin membalas dendam" terhadap kesulitan yang pernah dialami tetapi didasari pada harapan akan kebaikan yang Maha Kuasa. Saat diskusi buku tersebut di Jakarta, saya hadir dan bisa berkenalan dengan Pak Tarto. </p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjJ55rKKDoESOoNdp2W36lUFc2zE8S6lqCAnuPsnV4iNCnm70bw1VlVo9UyC3AQwB5o1lX39Kvu3vROD17QguG5h_g8us7VXiFHwaeyvGXSuyFagYhSOmGpW2vNrdmy9P9Whkm7dmz-NMV4YzBSk6Ggd-QLoMrABTeQ2OwUm8fYN2T9w87WIg/s956/18342002_336092433472607_787806340856857943_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="796" data-original-width="956" height="266" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjJ55rKKDoESOoNdp2W36lUFc2zE8S6lqCAnuPsnV4iNCnm70bw1VlVo9UyC3AQwB5o1lX39Kvu3vROD17QguG5h_g8us7VXiFHwaeyvGXSuyFagYhSOmGpW2vNrdmy9P9Whkm7dmz-NMV4YzBSk6Ggd-QLoMrABTeQ2OwUm8fYN2T9w87WIg/s320/18342002_336092433472607_787806340856857943_n.jpg" width="320" /></a></div><div><br /></div><br /><p><br /></p><p> Buku lain yang ditulis Pak Sumardianta secara kolaboratif berjudul "Seasoning Madaventures: Lompatan Bisnis Juragan Bumbu". Buku tersebut ditulis oleh Pak Sumardianta bersama Pak Henri Suhardja. Selain diperkenalkan kepada Pak Henri, saya juga diperkenalkan kepada tokoh di dalam buku. Namanya Pak Gunawan Wibisono, yang ternyata teman kuliahnya Pak Muzi Marpaung. Pak Gunawan Wibisono kerjanya meracik rasa (bumbu). Tanpa kita sadari, bisa jadi kita pernah memakan makanan yang diracik oleh Pak Gunawan, tapi tidak sadar, misalnya beberapa bumbu mie, dan makanan kecil. Pekerjaannya memang menggugah selera dengan rasa dan bau yang harum. Meskipun sangat berpengaruh di industri makanan, Pak Gunawan orang yang rendah hati dan selalu memperlakukan orang lain dengan rasa hormat. Meskipun hanya bertemu sebentar, saya sangat hormat kepadanya. </p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgbEmocvJvqbyg-HQl09pNbCI28Aqhf5vdwJrAfGXjNSu6h8q0ZubnyyyxTDtYRk4JDZFf80kRecalrXwXQ1BBUL-qVz4SfYHFpB0raDUUBJo3m_rtfmX8O9k6AuKtvEC8Y1sifrkK7uP4309A8DGxKlX4fJ0dWYKw4IyqyHbXeRTCOAo5yqA/s972/MAdventures.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="650" data-original-width="972" height="214" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgbEmocvJvqbyg-HQl09pNbCI28Aqhf5vdwJrAfGXjNSu6h8q0ZubnyyyxTDtYRk4JDZFf80kRecalrXwXQ1BBUL-qVz4SfYHFpB0raDUUBJo3m_rtfmX8O9k6AuKtvEC8Y1sifrkK7uP4309A8DGxKlX4fJ0dWYKw4IyqyHbXeRTCOAo5yqA/s320/MAdventures.jpg" width="320" /></a></div><br /><p><br /></p><p>Tahun 2022 ini, Pak Sumardianta dan saya berkolaborasi menulis "Guru Update Berdiri, Murid Posting Berlari" yang diterbitkan oleh Diva Press. Saat peluncuran buku tersebut di Jogjakarta, saya jadi punya kesempatan berkenalan dengan beberapa teman-temannya Pak Sumardianta. Ada Mas Alfin Rizal, ilustrator buku tersebut. Juga ada Mas Iqbal Aji Darmono, penulis buku "Out of The Truck Box" dan buku "Sapiens di Ujung Tanduk". Saya belum membaca keduanya tapi ingin membacanya suatu hari. Selain menulis buku, Mas Iqbal juga sering mengadakan pelatihan menulis online. Salah satu muridnya, teman baik saya waktu kuliah S1, Meirin. Saya juga bisa berkenalan langsung dengan Mas Edi Mulyono, pemilik Penerbit Diva Press. Saya pernah mendengarkan podcast di Mojok, berupa wawancara Mas Puthuh EA dengan Mas Edi (lihat: Kopi, Literasi, dan Pak Edi di <a href="https://www.youtube.com/watch?v=VGX02_ydMGI">https://www.youtube.com/watch?v=VGX02_ydMGI</a>). </p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgUNt64m2CRGliMSXX5hiATa4jOCgkzW0mEKxW4sogBKc2OLJxKWZYydFoMp9COoQrgSngPeuuGjEn6ETl7DBz-XKN2_p4sNZnf6InGqji9Zr5uDBKF-Qex-3EQ17frkkIPlmT4KGSykdqQM3xFkXsgQCjOPKDhsSJPmYQzC_BkCojzJpb6nQ/s1280/jogja%201.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1280" data-original-width="1280" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgUNt64m2CRGliMSXX5hiATa4jOCgkzW0mEKxW4sogBKc2OLJxKWZYydFoMp9COoQrgSngPeuuGjEn6ETl7DBz-XKN2_p4sNZnf6InGqji9Zr5uDBKF-Qex-3EQ17frkkIPlmT4KGSykdqQM3xFkXsgQCjOPKDhsSJPmYQzC_BkCojzJpb6nQ/s320/jogja%201.jpg" width="320" /></a></div><p>Di podcast tersebut Mas Edi menceritakan tentang kafe-kafe yang dibuatnya. Pekerjanya merupakan mahasiswa-mahasiswa dari kampus sekitar. Makanan dan minum di kafenya dibuat terjangkau. Kafe-kafenya juga menjadi tempat berkumpulnya orang-orang. Salah satu kafe binaannya menjadi tempat peluncuran buku "Guru Update Berdiri, Murid Posting Berlari." (berlanjut) </p><div><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br /></div><br />Dhitta Puti Sarasvatihttp://www.blogger.com/profile/14527876469514260028noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-14268387.post-43050794640108681302022-12-23T12:59:00.004+07:002022-12-23T13:54:53.922+07:00Pak Sumardianta dan Saya (Bagian 2)<p> </p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgvHRMU4fwJpLN2qG_CIyaPdQcTwGOGiMJfvdnG05Ztn-t2kSaBOd1qwxtsepGwN9jCrETwOAwQwB0ideb11cL1_MuXbaPIFD2KCe7NYwO1tq9q4qqtQ9kw3BjScHQZjosk-OAFx-Ku8I8kCNl1yGcLYhfenpeogoqJiMQBJjhMtgoKz8DoNw/s960/13346548_1123821297640120_4560478771081139450_n.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="595" data-original-width="960" height="198" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgvHRMU4fwJpLN2qG_CIyaPdQcTwGOGiMJfvdnG05Ztn-t2kSaBOd1qwxtsepGwN9jCrETwOAwQwB0ideb11cL1_MuXbaPIFD2KCe7NYwO1tq9q4qqtQ9kw3BjScHQZjosk-OAFx-Ku8I8kCNl1yGcLYhfenpeogoqJiMQBJjhMtgoKz8DoNw/s320/13346548_1123821297640120_4560478771081139450_n.jpg" width="320" /></a></div><div style="font-weight: bold;"><b><br /></b></div><br /><p>Tampaknya saya menemukan alamat twitter Pak J. Sumardianta dari buku "Guru Gokil Murid Unyu". Sebenarnya saya agak lupa. Saya mengirimkan twit perkenalan ke Pak Sumardianta, mengatakan bahawa saya baru membeli bukunya di toko. Sejak itu saya sering mengirimkan twit ke Pak Sumardianta, isinya link postingan tulisan saya di blog. Siapa tahu Pak Sumardianta mau meretweet. Pembaca blogku bisa lebih banyak kan? Bisa dikatakan saya 'memanfaatkan' popularitas Pak Sumardianta. </p><p>Ternyata Pak Sumardianta membaca tulisan-tulisan saya dan mengajak saya berkolaborasi menulis buku bareng. Saya iyakan. </p><p>Saat Pak Sumardianta ke Jakarta untuk menjadi pembicara di acaranya Universitas Negeri Jakarta (UNJ), bersama suami saya datang ke sana. Acara sudah selesai dan Pak Sumardianta harus kembali ke bandara Soekarno Hatta untuk pulang ke Jogjakarta. Suami dan saya sepakat mengantarkan Pak Sumardianta ke bandara menggunakan Bus Damri. Di dalam bus Damri tersebutkah Pak Sumardianta dan saya bersepakat untuk berkarya bareng. </p><p>Setelah itu saya mengirimkan kumpulan tulisan saya kepada Pak Sumardianta. Kebutulan tulisan-tulisan tersebut sudah diedit oleh suami saya yang merupakan editor. Pak Sumardianta membantu mengemas tulisan-tulisan saya agar lebih layak terbit. Pak Sumardianta memilah-milah tulisan dan temannya, menambahkan lead yang menarik, menggabungkan beberapa tulisan yang setama, dan menambah beberapa bagian dengan tulisannya. Ketika Pak Sumardianta mengusulkan judul "Mendidik Pemenang Bukan Pecundang" sebagai judul buku, saya sempat kurang sreg karena merasa judul tersebut berhubungan dengan kompetisi. Pak Sumardianta menjelaskan bahwa judul tersebut menarik untuk pembaca. Sekarang, saya senang dengan judul tersebut karena pemenang dan pecundang di sini bukan berhubungan dengan kompetisi, tetapi keberanian seseorang untuk bertanggung jawab memimpin hidupnya, menjadi pengemudi di dalam hidupnya sendiri. Pecundang adalah orang yang sebaliknya. </p><p>Buku hasil kolaborasi saya dengan Pak Sumardianta tersebut diterbitkan tahun 2016 oleh Penerbit Bentang Pustaka. Berkat kolaborasi tersebut, saya bisa berkenalan dengan Pak Sumardianta secara lebih dalam. Secara tidak langsung saya punya jaringan pertemanan baru yang kemudian memperluas wawasan saya dan membuat saya lebih terbuka. (berlanjut)</p><p><br />Keterangan:</p><p>**Baca tulisan "Pak Sumardianta dan Saya (Bagian 1) di sini: <a href="https://mahkotalima.blogspot.com/2022/12/pak-sumardianta-dan-saya-bagian-1.html">https://mahkotalima.blogspot.com/2022/12/pak-sumardianta-dan-saya-bagian-1.html</a><i></i></p>Dhitta Puti Sarasvatihttp://www.blogger.com/profile/14527876469514260028noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-14268387.post-11571698940284121832022-12-23T09:33:00.001+07:002022-12-23T12:30:58.460+07:00Pak Sumardianta dan Saya (Bagian 1)<div><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiVfypcNz_mKTLTiRWnon7CBE9EPyX3Vf2lPdCymOoOjt-6Z7kFKJHo1zL8cLPlXFe4YfJvx1LmUCThqF29hfvSUG4QZ7SdZYlCAUYFpWHsUeIsZHCN3FhHfDkekBz-hJ6UUw12QolEVMGwIRE0gtu_-vQhzwp3CVlLlmvM8h0bgaq6mfXPGw/s781/1.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="500" data-original-width="781" height="205" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiVfypcNz_mKTLTiRWnon7CBE9EPyX3Vf2lPdCymOoOjt-6Z7kFKJHo1zL8cLPlXFe4YfJvx1LmUCThqF29hfvSUG4QZ7SdZYlCAUYFpWHsUeIsZHCN3FhHfDkekBz-hJ6UUw12QolEVMGwIRE0gtu_-vQhzwp3CVlLlmvM8h0bgaq6mfXPGw/s320/1.jpg" width="320" /></a></div><br /><div><br /></div><div><br /></div>Saya mengenal Pak <a href="https://www.facebook.com/pakguru.jsumardianta?__cft__[0]=AZXDde39D8nxA0fuvEg8_EoAmsc_6rm2NPDzAe1yqX-XxmGayKIYFE81W-FP8b13nIsI1tCC5BOJ9fkqpefwoQ57us6ISbE8ihH8PmRU4PLhLaN3OzQZyifwNNsBfHTeBI6U2rqRlHe8fV8uJ4n7YzH4AAWfNMrK9xa4ZHHAmHjiZQ&__tn__=-]K-R">J Sumardianta</a> cukup lama. Tahun 2012 saya menjadi peserta Konferensi Guru Nasional (KGN) di Atma Jaya. Salah satu sesi yang saya ikuti diisi oleh seorang guru SMA SMA De Britto, Yogjakarta. Guru tersebut Pak Sumardianta.<div> <br />Pak Sumardianta bercerita tentang program live in di sekolahnya. Di sekolah tersebut, program live in bukan sekadar tinggal bersama warga, tetapi turut hidup bersama warga. Siswa-siswa SMA De Britto, yang semuanya laki-laki, ikut hidup bersama pemulung, tinggal di panti jompo, dan berbagai tempat lainnya. Kalau mereka tinggal di rumah pemulung, mereka akan ikut bekerja bersama pemulung, memakan apa yang dimakan pemulung, tidur di rumah pemulung, tidak diistimewakan. Anak yang tinggal di panti jompo, ikut bekerja di sana, menemani orang-orang tua membersihkan diri (menceboki orang tua di panti jompo). Sambil tinggal di sana, para siswa secara tidak langsung merenungi hidupnya. Siswa yang tadinya jijikan dengan kotoran, setelah ikut memulung, belajar untuk tidak jijikan lagi. Siswa yang tadinya memiliki relasi kurang baik dengan orang tuanya, setelah hidup berhari-hari bersama orang tua di panti, pulang dengan melihat orang tuanya dengan perspektif baru. Pak Sumardianta menceritakan kisah-kisah ini tidak dengan mendayu-dayu, tetapi diselingi humor yang membuat seluruh peserta tertawa terbahak-bahak.</div><div> <br />Saya ingat, Pak Sumar bercerita tentang orang-orang tua khawatir keadaan anak-anaknya selama program live in berjalan. Ketika orang tua menelepon para guru untuk menanyakan keadaan anaknya, para guru dengan santainya menjawab, "Anak Ibu/Bapak baik dan sehat. Terima kasih". Telepon ditutup tanpa penjelasan lebih lanjut. Sampai hari ini, sesi Pak Sumardianta merupakan salah satu sesi terbaik tentang pendidikan yang saya ikuti. Cara Pak Sumardianta presentasi sangat lucu, menarik, tetapi isi presentasinya sangat berbobot.</div><div> <br />Saat itu, saya belum tahu kalau Pak Sumardianta merupakan penulis terkenal. Di kemudian hari saya menemukan buku Pak Sumardianta di Gramedia, "Guru Gokil Murid Unyu". Saya kemudian memfollow twitternya, sesekali mengirimkan twit padanya. Itulah awal pertemanan saya dengan Pak Sumardianta. Siapa sangka, perkenalan tersebut menjadi salah awal yang sangat penting dalam hidup saya.</div>Dhitta Puti Sarasvatihttp://www.blogger.com/profile/14527876469514260028noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-14268387.post-61959006908300977702022-09-15T14:58:00.009+07:002022-09-15T15:53:57.489+07:00Membaca "Mengubah Kebijakan Publik: Panduan Pelatihan Advokasi"<p> </p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgJqjPG-cCrMZ4BPRtUL6wQesjHwHGOvxEPpBoDheDUQxFdjMjUZ0Usf-1kiQBy3oiN3pWltu1poEY5DJXWIE3H9eaed1EXJxf9kZtXyzxbXlVnt4FbSZby8pDSZg3lqLo15lSKSQqu8im3QmtTMawrOyIRim9nMS-AlnQmzWfaNRxvKaTTPw/s1137/Mengubah%20Kebijakan%20Publik.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1137" data-original-width="881" height="414" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgJqjPG-cCrMZ4BPRtUL6wQesjHwHGOvxEPpBoDheDUQxFdjMjUZ0Usf-1kiQBy3oiN3pWltu1poEY5DJXWIE3H9eaed1EXJxf9kZtXyzxbXlVnt4FbSZby8pDSZg3lqLo15lSKSQqu8im3QmtTMawrOyIRim9nMS-AlnQmzWfaNRxvKaTTPw/w321-h414/Mengubah%20Kebijakan%20Publik.jpg" width="321" /></a></div><br /><p></p><p style="text-align: justify;">Tak sampai 3 jam, saya menamatkan buku "Mengubah Kebijakan Publik: Panduan Pelatihan Advokasi" yang disunting oleh Roem Topatimasang, Manshour Fakih, dan Toto Rahardjo. </p><p style="text-align: justify;">Seharusnya, saya tidak membaca buku tersebut dengan terburu-buru. Saya seharusnya membaca buku tersebut dengan perlahan, sambil menerapkan hal-hal yang ada di dalam buku. Seharusnya saya membaca sambil benar-benar melakukan upaya advokasi kebijakan, khususnya terkait kebijakan pendidikan nasional, lalu merefleksikannya.</p><p style="text-align: justify;">Tidak apa-apa! Saya tetap bisa merasakan manfaat dari membaca buku tersebut. Sekarang saya sedang berkutat dengan RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dibantu oleh beberapa teman seperjuangan, saya sedang mencoba membangun kesadaran banyak orang, khususnya teman-teman yang bergerak di pendidikan, bahwa RUU Sisdiknas (Agustus 2022) tersebut tidak menuju arah pendidikan nasional yang lebih baik. Usaha yang sulit memang, beberapa orang percaya saja pada apa yang diucapkan oleh pejabat publik tentang "kebaikan RUU Sisdiknas" tanpa benar-benar membaca dan mencoba menganalisisnya sendiri. Saya beruntung dipertemukan dengan buku ini</p><p style="text-align: justify;">Buku "Mengubah Kebijakan Publik: Panduan Pelatihan Advokasi" berhasil memberikan amunisi mengenai apa yang harus dikerjakan oleh teman-teman yang sedang berjuang bersama terkait isu RUU Sisdiknas ini. Pertama, buku ini mengingatkan kembali mengenai apa yang dimaksud dengan advokasi kebijakan publik dan pentingnya advokasi untuk keadilan sosial. </p><p style="text-align: justify;">Advokasi merupakan "suatu usaha sistematik dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap-maju (<i>incremental)</i> . Di buku ini, advokasi tidak dianggap hal yang menakutkan (seperti anggapan rezim otoriter orde baru) namun tidak juga dianggap sebagai sesuatu yang revolusioner ataupun heroik. Sesuatu yang biasa saja. Pada dasarnya advokasi lebih merupakan usaha perubahan sosial melalui semua saluran dan piranti demokrasi perwakilan, proses-proses politik dan legislasi yang terdapat dalam sistem yang berlaku.</p><p style="text-align: justify;">Advokasi tidak hanya digunakan oleh mereka yang memperjuangkan keadilan sosial, tetapi juga oleh perusahaan-perusahaan yang punya kepentingan tertentu. Buku ini mengingatkan pentingnya advokasi untuk keadilan sosial yang didefinisikan sebagai advokasi yang justru meletakkan korban kebijakan sebagai subjek utama sehingga ada proses yang menghubungkan antar berbagai unsur progresif dalam masyarakat warga (civil society), melalui terbentuknya aliansi-aliansi strategis yang memperjuangkan terciptanya keadilan sosial dengan cara mendesakkkan terjadinya perubahan-perubahan kebijakan publik. </p><p style="text-align: justify;">Saat membaca buku "Mengubah Kebijakan Publik: Panduan Pelatihan Advokasi" kita bisa merasakan bahwa buku ini dituliskan oleh orang yang sangat mengerti lapangan khususnya praktik advokasi di level akar rumput. Di sisi lain, buku ini mengingatkan kita untuk menyadari kenapa advokasi perlu dilakukan. Ada banyak tips yang sangat praktis, misalnya bagaimana caranya memfasilitasi pelatihan terkait advokasi kebijakan publik, apa yang perlu dilakukan saat menganalisis suatu undang-undang (petakan apa yang dulu ada dan sekarang tidak ada dan sebaliknya, analisis kenapa perubahan tersebut terjadi), dan banyak tips praktis bermanfaat lainnya seperti cara membangun pendapat umum dan cara mendesakkan perubahan. Buku ini juga menyediakan berbagai studi kasus tentang proses advokasi terkait isu-isu yang beragam. Ada yang terkait sengketa tanah dan pengelolaan hutan di Yamdena, Maluku (di sekitar tahun 1990-an), tentang Dwi-Fungsi Tentara, Isu Pendidikan sebagai Hak Asasi Manusia, Isu Gender, dan sebagainya.</p><p style="text-align: justify;">Secara pribadi ada bagian yang paling saya suka, mungkin karena ada kaitannya langsung dengan apa yang saya rasakan saat ini. Ini kutipannya:</p><p style="text-align: justify;"></p><blockquote>"Perubahan-perubahan keadaan yang sedemikian cepat dan sangat dinamis dalam dunia politik dan kegiatan advokasi, juga tak boleh mempengaruhi, mengaburkan atau melencengkan inti permasalahan dari isu yang Anda perjuangkan. Salah satu strategi dan taktik yang sangat terkenal dalam dunia politik adalah membuat lawan menjadi lupa atau bahkan ragu pada apa yang sebenarnya mereka perjuangkan. Waspadalah! Ada saja cara lawan melakukan hal ini, misalnya dengan mengungkit-ungkit kesalahan masa lalu Anda, sekecil apapun juga (pasti ada!), sehingga Anda kemudian sibuk membela diri dan merencanakan tindakan balasan, lalu Anda pun lupa pada apa yang sebenarnya sedang Anda perjuangkan. Tanggapi seperlunya saja, lalu pusatkan kembali perhatian Anda pada tujuan semula dan inti persoalannya."</blockquote><p></p><p style="text-align: justify;">Meskipun buku ini pertama diterbitkan pada tahun 2000 (ada beberapa edisi setelahnya), buku ini masih sangat relevan dibaca sampai hari ini. Mungkin perlu penambahan beberapa kasus-kasus terkait advokasi kebijakan publik terbaru, bukan hanya yang sukses tetapi yang gagal juga. </p><div style="text-align: justify;"><br /></div>Dhitta Puti Sarasvatihttp://www.blogger.com/profile/14527876469514260028noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-14268387.post-77056316863088228592022-04-15T12:38:00.002+07:002022-04-20T13:16:14.457+07:00Mencoba Mengenal Budaya Indonesia Melalui Bacaan: Sebuah Refleksi<p>Setelah melakukan Uji Coba Training of Trainers (TOT) Gernas Tastaba (Juli - Agustus 2021) ada beberapa perbaikan bahan yang kami lakukan. TOT kami terdiri dari enam pertemuan. Temanya ada tiga. Pertama, "Menjadi Pembaca Aktif" untuk mendorong teman-teman guru SD untuk menjadi pembaca aktif sebelum mengajarkan siswanya membaca. Kedua, "Membaca Dasar" untuk belajar kembali caranya mengajar anak yang belum bisa membaca sehingga bisa membaca. Ketika, "Membaca Bermakna" untuk membantu guru belajar caranya memfasilitasi anak agar bukan hanya bisa membunyikan bacaan, tetapi bisa memaknainya. </p><p>Awalnya, masing-masing tema disampaikan dalam 2 pertemuan masing-masing 5 jam. Namun, kini tema pertama disampaikan dalam satu pertemuan, tema kedua dalam 2 pertemuan, dan tema ketiga dalam tiga pertemuan. Kami juga menggunakan dan memodifikasi bahan yang telah dikembangkan oleh Credo Foundation untuk tema Membaca Dasar (lihat <a href="https://www.youtube.com/channel/UCbME3gwMJDJVfAhv924l7jA/videos">https://www.youtube.com/channel/UCbME3gwMJDJVfAhv924l7jA/videos</a> ). Btw, terima kasih banyak kepada Credo Foundation untuk dukungannya. </p><p><br /></p><p>Tim konten juga mengembangkan buku kerja (<i>workbook</i>) .Kami telah menyediakan beberapa teks yang terkait tema TOT yang dibahas. Teks yang kami sediakan beragam. Ada yang terkait teori tentang belajar dan mengajar membaca, ada juga teks puisi, lirik lagu, cerita pendek, potongan novel, juga teks non fiksi seperti biografi, dan teks terkait Ilmu Pengetahuan Alam maupun Ilmu Pengetahuan Sosial. Kami juga menyediakan ruang bagi teman-teman guru untuk merefleksikan bacaan maupun kegiatan yang dilakukan selama TOT. Sambil mengikuti TOT, teman-teman guru berlatih membuat pertanyaan terkait teks, menganalisis teks, dan menggunakan pengatur grafis (<i>graphic organizer</i>) sebagai alat untuk memaknai teks. Semua keterampilan yang diperlukan guru apapun saat ingin mengajarkan siswa-siswanya membaca secara bermakna.</p><p>Meskipun peserta TOT Gernas Tastaka akan memperoleh sertifikat jika menamatkan rangkaian pelatihan, namun dengan mengisi buku kerja, sebenarnya peserta jadi memiliki semacam portfolio yang menunjukkan proses belajar dan perkembangan pemikiran selama enam minggu berproses bersama. Selain itu, buku kerja ini bisa menjadi bahan bagiteman-teman peserta TOT yang mau mempelajari kembali bahan-bahan Gernas Tastaba, karena nanti para peserta perlu membagikan apa yang dipelajari kepada guru lain. </p><p>Salah satu kesulitan Gernas Tastaba adalah mengumpulkan teks yang boleh kami gunakan untuk kegiatan Gernas Tastaba, khususnya yang tidak melanggar hak cipta. Rencananya memang buku kerja ini akan kami cetak, sehingga kami ingin agar bahan yang tersedia memang tidak melanggar hak cipta. Akhirnya kami menggunakan beberapa bahan open resources yang ada di internet (kami menyediakan link untuk membaca teks langsung di internet). Selain itu, kami juga meminta izin kepada beberapa teman penulis (fiksi, teks sejarah, lirik lagu) agar tulisannya boleh kami gunakan. Beberapa teks kami buat sendiri, seadanya. </p><p>Saya sendiri ikut menyumbang beberapa teks, diantaranya teks tentang alat musik Tifa dari Maluku dan Papua dan tentang orang Bajo. Keduanya teks pendek, hasil ringkasan dari bacaan-bacaan yang saya temukan di internet. Ntah kenapa, saya memang ingin membuat tulisan yang berhubungan dengan budaya Indonesia. Saya tiba-tiba teringat pada acara TV sewaktu saya kecil "Anak Seribu Pulau" karya Garin Nugroho. Waktu saya mengunjungi perpustakaan Sanggar Anak Akar saya menemukan sekumpulan buku "Anak Seribu Pulau" yang tampaknya merupakan pelengkap dari serial TV tersebut. Kira-kira buku-buku tersebut masih bisa didapatkan gak yah?</p><p>Membuat buku kerja Gernas Tastaba membuat saya makin menyadari betapa sedikitnya pengetahuan saya, tentang budaya Indonesia. Saya merasa teks tentang Tifa maupun suku Bajo yang saya tuliskan tidaklah sempurna. Sumbernya hanya beberapa bacaan seadanya dari internet. Mungkin saja, topiknya tidak saya kuasai dengan baik.\</p><p>Maka, setelahn TOT berakhir, saya mulai membaca lagi. Saya menemukan buku "Orang Halmahera: Sebuah Catatan dari Lapangan" karya Faris Bobero. Narasi di buku itu bagus sekali. Kisah-kisah tentang orang biasa dii Halmahera dan sekitarnya. Membacanya membuat saya ingin kembali ke Maluku dan menjelajahi pulau-pulaunya, bertemu kembali dengan orang-orangnya (kalau bisa pergi ke sana sebulan, tak hanya 4 hari seperti yang saya lakukan di tahun 2018 bersama Gernas Tastaka).</p><p> Penulis buku ini tampaknya orang Halmahera yang lama tidak tinggal di sana, lalu kemudian kembali menjelajahi Halmahera dan menuliskan catatan lapangannya berupa buku ini. Kata penulisnya:</p><blockquote><p><i>"Saya sadar bahwa cerita pengalaman dalam buku ini, bukan produksi pengetahuan, Meski begitu, saya berharap buku ini menjadi 'jalan pulang' - setelah ditampar dengan kata-kata oleh kerabat atau bisa dibilang senior di luar daerah Maluku. "Kenapa selalu kami, dari luar daerah Maluku yang menulis tentang kehidupan di Halmahera, kenapa bukan kalian?" Hal ini menjadi motivasi tentang orang-orang di pulau Halmahera.</i></p></blockquote><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJgTEh0sLuGaIVJkd-kr9YZvgZm1rrw0KRajaIosf-dMkVXwX7n8zQM-ldiTDgsgaoGJ3pbhjV2aRXxVRikJZsjcOHmrR3RkI1NnAgY07LVdf-JnV8OVg3GSBoO8jAFiDO3nnIE1M2ClU5YWxEW13dlTh2QgNjAzKuq-IoyNOJXhkY47XgfQ/s735/orang%20halmahera.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="735" data-original-width="525" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJgTEh0sLuGaIVJkd-kr9YZvgZm1rrw0KRajaIosf-dMkVXwX7n8zQM-ldiTDgsgaoGJ3pbhjV2aRXxVRikJZsjcOHmrR3RkI1NnAgY07LVdf-JnV8OVg3GSBoO8jAFiDO3nnIE1M2ClU5YWxEW13dlTh2QgNjAzKuq-IoyNOJXhkY47XgfQ/s320/orang%20halmahera.jpg" width="229" /></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">Buku di atas merupakan sebuah karya non fiksi tentang orang-orang Halmahera. Saya ingin juga menjelajah buku-buku yang membantu pemahaman saya tentang budaya Indonesia, diantaranya melalui karya fiksi. Ternyata di Gramedia saya menemukan seri buku anak karya Okky Madyasari tentang seorang tokoh bernama Mata. Bukunya ada beberapa seri. Yang saya baca berjudul "Mata di Tanah Melus". </div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">Ternyata itu fiksi anak yang sangat menarik. Dari fiksi tersebut, saya jadi belajar mengenal Belu, daerah di NTT yang merupakan perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste. </div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1woj024QAMXWJS4cIauHShSi1KQnO6jR9wbBD8iJEWEGBeIYXRdL-m3_TD2--h2AOP_JTDBxszmCvrL9HuJ4jNM6EcO3J_XgU1oI72B2MqZHBVkIatuyFKZq0aMRpmEPiQ5XWLYGneSS6ZAcMD6Iqtiild0BCm3WKRgGNBu4EJB5qiH3gWw/s377/Mata%20Melus.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="377" data-original-width="261" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1woj024QAMXWJS4cIauHShSi1KQnO6jR9wbBD8iJEWEGBeIYXRdL-m3_TD2--h2AOP_JTDBxszmCvrL9HuJ4jNM6EcO3J_XgU1oI72B2MqZHBVkIatuyFKZq0aMRpmEPiQ5XWLYGneSS6ZAcMD6Iqtiild0BCm3WKRgGNBu4EJB5qiH3gWw/s320/Mata%20Melus.jpg" width="222" /></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><div class="separator" style="clear: both;">Tokoh utamanya anak Jakarta bernama Mata. Awalnya Mata merasa malas ketika tahu diajak mamanya berangkat berlibur. Berliburnya bukan ke Bali, Lombok, atau daerah-daerah lain yang biasa dikunjungi teman-temannya. </div><div class="separator" style="clear: both;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both;">Saat awal membaca bukunya saya sempat sebal dengan tokoh Mata maupun mamanya. Saya merasa keduanya "norak" dan tidak respek terhadap budaya lokal. Mata misalnya mengeluhkan sarapan di hotel yang berupa nasi telur, dan mie, tidak seperti buffet di hotel yang biasa dikertahuinya. Mamanya Mata sempat mencela upacara adat di Belu.</div><div class="separator" style="clear: both;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both;">Tapi lama-lama baca kok makin seru. Mata juga tampaknya mengalami transformasi karakter seiiring dengan pengalaman-pengalaman yang dirasakannya selama di Belu. Saya jadi ingat pernyataan Pak Yudhistira Massardi, penulis "Arjuna Mencari Cinta,". Menurutnya cerita yang baik itu bukanlah ketika si tokoh baik terus atau jahat terus tetapi ketika sang tokoh bertransformasi karakternya sesuai pengalaman yang dialaminya. </div><div class="separator" style="clear: both;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both;">Menariknya, karena berupa fiksi, penulis tampak lebih bebas mengeksplorasi gagasan-gagasan yang bukan hanya soal fakta-fakta menarik tentang Belu. Penulis memang bercerita tentang beberapa info menarik misalnya tentang Benteng Lapis 7, dan Padang Fulan Fehan yang luas. Tapi pembaca juga diajak untuk berimajinasi seakan-akan kita bisa ikut merasakan sejarah dan mitos-mitos terkait Belu, khususnya khususnya tentang suku Melus, penghuni pertama wilayah Belu. </div><div class="separator" style="clear: both;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both;">Setelah baca saya kepo, jadi penasaran tentang Belu. Saya baca-baca di internet lalu menemukan artikel yang ditulis oleh Okky Madyasari . Ternyata Okky pernah menuliskan latar belakangnya menulis buku tersebut di sini : </div><div class="separator" style="clear: both;"><a href="https://okkymadasari.net/read/sebuah-narasi-baru-untuk-belu">https://okkymadasari.net/read/sebuah-narasi-baru-untuk-belu</a>.</div><div class="separator" style="clear: both;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both;">Menurut saya ini, buku yang menarik yang bisa dibaca bersama dan dibahas mungkin di kelas 6 SD atau di SMP. Menarik sekali. </div><div class="separator" style="clear: both;"><br /></div></div><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br /></div><br /><p><br /></p><p> </p><p><br /></p><p><br /></p>Dhitta Puti Sarasvatihttp://www.blogger.com/profile/14527876469514260028noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-14268387.post-54841049684471484272022-03-28T14:22:00.004+07:002022-03-28T14:22:53.005+07:00 TOT Gernas Tastaba: Bagaimana Proses Pelatihannya?<p><br /></p><p style="--artdeco-reset-typography_getfontsize: 1.6rem; --artdeco-reset-typography_getlineheight: 1.5; background-color: white; border: var(--artdeco-reset-base-border-zero); box-sizing: inherit; color: rgba(0, 0, 0, 0.9); counter-reset: list-1 0 list-2 0 list-3 0 list-4 0 list-5 0 list-6 0 list-7 0 list-8 0 list-9 0; cursor: text; font-family: -apple-system, system-ui, BlinkMacSystemFont, "Segoe UI", Roboto, "Helvetica Neue", "Fira Sans", Ubuntu, Oxygen, "Oxygen Sans", Cantarell, "Droid Sans", "Apple Color Emoji", "Segoe UI Emoji", "Segoe UI Emoji", "Segoe UI Symbol", "Lucida Grande", Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 16px; line-height: var(--artdeco-reset-typography_getLineHeight); margin: 0px; padding: 0px; vertical-align: var(--artdeco-reset-base-vertical-align-baseline); white-space: pre-wrap;"></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhGiDKd1K6EQHTVwRjxvXdUcPWrOmSIvG8M6z8VOEcZYD7Mand1O9IfS115Z5mvgJ8XwqyHt2jtpF57UNgWazNmvI6W9xrn0M9vvZ5r6dHf5geM8evxgYQ0MoVZ4aRY9jWgrqX5-YcbXVkddALhJEGgZgdddVeQSrZ4RNFoQ33taqGnJKRQwg/s1071/Gernas%20Tastaba-IGI%20DKI%20%20(Membaca%20Bermakna%203,%2028%20Maret%202022).jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="499" data-original-width="1071" height="286" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhGiDKd1K6EQHTVwRjxvXdUcPWrOmSIvG8M6z8VOEcZYD7Mand1O9IfS115Z5mvgJ8XwqyHt2jtpF57UNgWazNmvI6W9xrn0M9vvZ5r6dHf5geM8evxgYQ0MoVZ4aRY9jWgrqX5-YcbXVkddALhJEGgZgdddVeQSrZ4RNFoQ33taqGnJKRQwg/w614-h286/Gernas%20Tastaba-IGI%20DKI%20%20(Membaca%20Bermakna%203,%2028%20Maret%202022).jpg" width="614" /></a></div><br />TOT Gernas Tastaba dibagi menjadi tiga topik besar.<p></p><p style="--artdeco-reset-typography_getfontsize: 1.6rem; --artdeco-reset-typography_getlineheight: 1.5; background-color: white; border: var(--artdeco-reset-base-border-zero); box-sizing: inherit; color: rgba(0, 0, 0, 0.9); counter-reset: list-1 0 list-2 0 list-3 0 list-4 0 list-5 0 list-6 0 list-7 0 list-8 0 list-9 0; cursor: text; font-family: -apple-system, system-ui, BlinkMacSystemFont, "Segoe UI", Roboto, "Helvetica Neue", "Fira Sans", Ubuntu, Oxygen, "Oxygen Sans", Cantarell, "Droid Sans", "Apple Color Emoji", "Segoe UI Emoji", "Segoe UI Emoji", "Segoe UI Symbol", "Lucida Grande", Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 16px; line-height: var(--artdeco-reset-typography_getLineHeight); margin: 0px; padding: 0px; vertical-align: var(--artdeco-reset-base-vertical-align-baseline); white-space: pre-wrap;"> </p><p style="--artdeco-reset-typography_getfontsize: 1.6rem; --artdeco-reset-typography_getlineheight: 1.5; background-color: white; border: var(--artdeco-reset-base-border-zero); box-sizing: inherit; color: rgba(0, 0, 0, 0.9); counter-reset: list-1 0 list-2 0 list-3 0 list-4 0 list-5 0 list-6 0 list-7 0 list-8 0 list-9 0; cursor: text; font-family: -apple-system, system-ui, BlinkMacSystemFont, "Segoe UI", Roboto, "Helvetica Neue", "Fira Sans", Ubuntu, Oxygen, "Oxygen Sans", Cantarell, "Droid Sans", "Apple Color Emoji", "Segoe UI Emoji", "Segoe UI Emoji", "Segoe UI Symbol", "Lucida Grande", Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 16px; line-height: var(--artdeco-reset-typography_getLineHeight); margin: 0px; padding: 0px; vertical-align: var(--artdeco-reset-base-vertical-align-baseline); white-space: pre-wrap;">Pertama, "Menjadi Pembaca Aktif" yang bertujuan untuk mengajak teman-teman guru SD untuk bukan sekadar gemar membaca tetapi juga menjadi pembaca yang aktif. Artinya, bukan hanya membaca. Apa yang dibaca juga dipikirkan dan dipertanyakan, mungkin juga dirasakan, hasil bacaan dibicarakan dengan orang lain, juga menghasilkan karya setelah membaca. </p><p style="--artdeco-reset-typography_getfontsize: 1.6rem; --artdeco-reset-typography_getlineheight: 1.5; background-color: white; border: var(--artdeco-reset-base-border-zero); box-sizing: inherit; color: rgba(0, 0, 0, 0.9); counter-reset: list-1 0 list-2 0 list-3 0 list-4 0 list-5 0 list-6 0 list-7 0 list-8 0 list-9 0; cursor: text; font-family: -apple-system, system-ui, BlinkMacSystemFont, "Segoe UI", Roboto, "Helvetica Neue", "Fira Sans", Ubuntu, Oxygen, "Oxygen Sans", Cantarell, "Droid Sans", "Apple Color Emoji", "Segoe UI Emoji", "Segoe UI Emoji", "Segoe UI Symbol", "Lucida Grande", Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 16px; line-height: var(--artdeco-reset-typography_getLineHeight); margin: 0px; padding: 0px; vertical-align: var(--artdeco-reset-base-vertical-align-baseline); white-space: pre-wrap;"><br style="box-sizing: inherit;" /></p><p style="--artdeco-reset-typography_getfontsize: 1.6rem; --artdeco-reset-typography_getlineheight: 1.5; background-color: white; border: var(--artdeco-reset-base-border-zero); box-sizing: inherit; color: rgba(0, 0, 0, 0.9); counter-reset: list-1 0 list-2 0 list-3 0 list-4 0 list-5 0 list-6 0 list-7 0 list-8 0 list-9 0; cursor: text; font-family: -apple-system, system-ui, BlinkMacSystemFont, "Segoe UI", Roboto, "Helvetica Neue", "Fira Sans", Ubuntu, Oxygen, "Oxygen Sans", Cantarell, "Droid Sans", "Apple Color Emoji", "Segoe UI Emoji", "Segoe UI Emoji", "Segoe UI Symbol", "Lucida Grande", Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 16px; line-height: var(--artdeco-reset-typography_getLineHeight); margin: 0px; padding: 0px; vertical-align: var(--artdeco-reset-base-vertical-align-baseline); white-space: pre-wrap;">Kedua, "Membaca Dasar". Di sini, peserta belajar kembali bagaimana caranya mengajarkan anak yang belum bisa membaca menjadi bisa membaca. Dalam hal ini, kami juga didukung oleh Credo Foundation yang mengizinkan kami menggunakan beberapa bahan yang mereka miliki untuk kegiatan Gernas Tastaba. Di sini kami membahas sekilas mengenai 4 aspek literasi (mendengar, berbicara, membaca, dan menulis) serta hubungannya satu sama lain. Peserta juga diperkenalkan dengan lambang aksara baru "huruf telur" sehingga bisa menyadari proses belajar membaca (dasar) membutuhkan proses yang perlu dipikirkan dengan seksama. Peserta juga diajak belajar bahwa agar "Anak bisa sampai ke tahap memahami bacaan (<i>reading comprehension)</i>, anak perlu membangun kemampuan terkait pemahaman bahasa dan kemampuan decoding. Kami lalu mempelajari 6 komponen literasi (kesadaran cetak, fonologi, pengetahuan alfabet, kosa kata, dan pemahaman). Peserta juga diajak mempelajari bagaimana caranya mengases keterampilan membaca dasar anak dengan melakukan diagnostik kemampuan membaca. Lalu, ditutup dengan mengutip pandangan Pak Yanto Musthofa membaca meliputi aktivitas keaksaraan (mengidentifikasi-menyerap-memanfaatkan lambang bunyi dan makna), membaca tumbuh dan berkembang dalam proses panjang sejak masa awal kehidupan (paparan kekayaan bahasa serta memerlukan pondasi kemampuan klasifikasi: (sekurang-kurangnya) warna-bentuk-ukuran, merupakan proses organik (didorong oleh motivasi intrinsik), dan guru punya peran penting dalam melakukan proses merancah (scaffolding).</p><p style="--artdeco-reset-typography_getfontsize: 1.6rem; --artdeco-reset-typography_getlineheight: 1.5; background-color: white; border: var(--artdeco-reset-base-border-zero); box-sizing: inherit; color: rgba(0, 0, 0, 0.9); counter-reset: list-1 0 list-2 0 list-3 0 list-4 0 list-5 0 list-6 0 list-7 0 list-8 0 list-9 0; cursor: text; font-family: -apple-system, system-ui, BlinkMacSystemFont, "Segoe UI", Roboto, "Helvetica Neue", "Fira Sans", Ubuntu, Oxygen, "Oxygen Sans", Cantarell, "Droid Sans", "Apple Color Emoji", "Segoe UI Emoji", "Segoe UI Emoji", "Segoe UI Symbol", "Lucida Grande", Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 16px; line-height: var(--artdeco-reset-typography_getLineHeight); margin: 0px; padding: 0px; vertical-align: var(--artdeco-reset-base-vertical-align-baseline); white-space: pre-wrap;"><br style="box-sizing: inherit;" /></p><p style="--artdeco-reset-typography_getfontsize: 1.6rem; --artdeco-reset-typography_getlineheight: 1.5; background-color: white; border: var(--artdeco-reset-base-border-zero); box-sizing: inherit; color: rgba(0, 0, 0, 0.9); counter-reset: list-1 0 list-2 0 list-3 0 list-4 0 list-5 0 list-6 0 list-7 0 list-8 0 list-9 0; cursor: text; font-family: -apple-system, system-ui, BlinkMacSystemFont, "Segoe UI", Roboto, "Helvetica Neue", "Fira Sans", Ubuntu, Oxygen, "Oxygen Sans", Cantarell, "Droid Sans", "Apple Color Emoji", "Segoe UI Emoji", "Segoe UI Emoji", "Segoe UI Symbol", "Lucida Grande", Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 16px; line-height: var(--artdeco-reset-typography_getLineHeight); margin: 0px; padding: 0px; vertical-align: var(--artdeco-reset-base-vertical-align-baseline); white-space: pre-wrap;">Ketiga, "Membaca Bermakna". Di sini peserta belajar lebih mendalam bagaimana caranya memfasilitasi siswa untuk bisa memaknai bacaan. Peserta diajak membahas makna dari "literasi aktif", lalu setelahnya diajak merefleksikan pentingnya bertanya. Peserta belajar beberapa kerangka yang bisa digunakan untuk merancang pertanyaan terkait bacaan, lalu diajak mempelajari kembali contoh kegiatan sebelum membaca (pre-reading), saat membaca (while reading), dan setelah membaca (after reading), lalu diperkenalkan pada pengatur grafis yang bisa dijadikan alat bantu untuk membantu siswa memahami bacaan (jadi tidak sekadar menyuruh siswa membaca dan merangkum bacaan saja), setelahnya peserta diajak menyimpulkan seluruh rangkaian training Gernas Tastaba sambil merefleksikan perubahan yang terjadi. Lalu, diajak membuat rencana aksi terkait perubahan yang ingin dilakukan. Cerita perubahan ini akan ditampilkan dalam bentuk karya (poster, video, presentasi, dll) yang kemudian akan dipamerkan di sebuah kegiatan yang boleh dihadiri oleh guru-guru lainnya. </p><p style="--artdeco-reset-typography_getfontsize: 1.6rem; --artdeco-reset-typography_getlineheight: 1.5; background-color: white; border: var(--artdeco-reset-base-border-zero); box-sizing: inherit; color: rgba(0, 0, 0, 0.9); counter-reset: list-1 0 list-2 0 list-3 0 list-4 0 list-5 0 list-6 0 list-7 0 list-8 0 list-9 0; cursor: text; font-family: -apple-system, system-ui, BlinkMacSystemFont, "Segoe UI", Roboto, "Helvetica Neue", "Fira Sans", Ubuntu, Oxygen, "Oxygen Sans", Cantarell, "Droid Sans", "Apple Color Emoji", "Segoe UI Emoji", "Segoe UI Emoji", "Segoe UI Symbol", "Lucida Grande", Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 16px; line-height: var(--artdeco-reset-typography_getLineHeight); margin: 0px; padding: 0px; vertical-align: var(--artdeco-reset-base-vertical-align-baseline); white-space: pre-wrap;"><br /></p><p style="--artdeco-reset-typography_getfontsize: 1.6rem; --artdeco-reset-typography_getlineheight: 1.5; background-color: white; border: var(--artdeco-reset-base-border-zero); box-sizing: inherit; color: rgba(0, 0, 0, 0.9); counter-reset: list-1 0 list-2 0 list-3 0 list-4 0 list-5 0 list-6 0 list-7 0 list-8 0 list-9 0; cursor: text; font-family: -apple-system, system-ui, BlinkMacSystemFont, "Segoe UI", Roboto, "Helvetica Neue", "Fira Sans", Ubuntu, Oxygen, "Oxygen Sans", Cantarell, "Droid Sans", "Apple Color Emoji", "Segoe UI Emoji", "Segoe UI Emoji", "Segoe UI Symbol", "Lucida Grande", Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 16px; line-height: var(--artdeco-reset-typography_getLineHeight); margin: 0px; padding: 0px; vertical-align: var(--artdeco-reset-base-vertical-align-baseline); white-space: pre-wrap;">25 Maret 2022</p>Dhitta Puti Sarasvatihttp://www.blogger.com/profile/14527876469514260028noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-14268387.post-18879547564271696032022-01-17T14:23:00.003+07:002022-01-17T14:31:11.865+07:00Memaknai Pemikiran Ki Hadjar Dewantara: Sebuah Refleksi (Bagian 1)<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEjYRTcrDgLEFt6Kl66-TUrG-0GBMveymeZAHBl-xiuIsx6TVJDWl0KGjlqtGZLycVEsH-sM3t63aIIAIqoNOKkTcFqtBRR-_-uExaXnhXXaO1Kv1RQGeXBKlj_UEO3-n5iKyaNq1RSsDex5JPaQcFtZgewwf8dNTw5gu_dt2HKl8ZNDNhtkpg=s1049" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="698" data-original-width="1049" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEjYRTcrDgLEFt6Kl66-TUrG-0GBMveymeZAHBl-xiuIsx6TVJDWl0KGjlqtGZLycVEsH-sM3t63aIIAIqoNOKkTcFqtBRR-_-uExaXnhXXaO1Kv1RQGeXBKlj_UEO3-n5iKyaNq1RSsDex5JPaQcFtZgewwf8dNTw5gu_dt2HKl8ZNDNhtkpg=s320" width="320" /></a></div><br /> Semalam, Anyi, Qory, dan saya ngobrol soal interpretasi terhadap karya dan pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Harus diakui, membaca karya-karya Ki Hadjar tidaklah selalu mudah, apalagi untuk bisa menginterpretasinya dengan bermakna dan tepat. Misalnya, saat membaca kedua buku "Pendidikan" dan "Kebudayaan", ada kalanya saya perlu membaca satu bagian berulang kali untuk benar-benar mencoba memahami pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Apakah selalu berhasil? Tidak juga. <p></p><p><br /></p><p>Maka, sebagai bagian dari proses belajar, saya akan mencoba menyicil sedikit beberapa hasil bacaan saya terhadap karya Ki Hadjar Dewantara, sebagai bagian untuk mencoba memahami pemikirannya. Saya menulis, hanya sebagai bentuk belajar saya dan saya akan membagikan hasil pembelajaran saya sebagai diskusi bersama.</p><p><br /></p><p>Ini bagian pertama.</p><p><br /></p><p>"Pendidikan" dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara</p><p>Menurut Ki Hadjar, pendidikan adalah </p><blockquote style="border: none; margin: 0 0 0 40px; padding: 0px;"><p style="text-align: left;"></p><blockquote>"daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budipekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak, agar supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, <span style="white-space: pre;"> </span>yaitu penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya.' (Dewantara, 2014, h. 14)</blockquote><p></p></blockquote><p>Bagi saya, kata "daya upaya" berarti bahwa pendidikan memang perlu diupayakan. Tidak begitu saja terjadi. Belajar itu bisa terjadi secara tidak disengaja ataupun disengaja. Ketika kita berjalan-jalan, tanpa ada niat belajar sekalipun, kita bisa saja belajar banyak hal baru misalnya tentang tempat-tempat yang ternyata menyenangkan untuk didatangi, belajar tentang orang-orang baru yang kita temui sepanjang perjalanan, dan banyak lagi. Namun, belajar bisa juga kita lakukan secara sengaja. Misalnya kita memang ingin mempelajari suatu daerah tertentu, maka sebelum pergi ke sana pun, kita "meniatkan diri" untuk belajar. Ketika berjalan-jalan, kita jauh lebih sadar dengan apapun yang kita temui. Jadi, belajar dengan sengaja berarti ada unsur kesadaran diri di dalamnya, ada upaya untuk mencoba memaknai apapun yang akan kita pelajari. </p><p><br /></p><p>Pendidikan di sini, tampaknya dihubungkan dengan sebuah "upaya yang disengajakan" untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tujuan apa saja? Yang utama untuk bertumbuhnya budipekerti (kekuatan batin, karakter). Bentuk pendidikan bisa beragam, tapi tujuan menumbuhkan kekuatan batin dan karakter ini menjadi utama. Pendidikan juga bertujuan berkembangnya pikiran (artinya pendidikan perlu mengasah keterampilan berpikir). Ketika di sekolah, siswa tidak diajak terampil menggunakan pikirannya, maka bisa dikatakan ada masalah dengan pendidikan tersebut. Terampil menggunakan pikirannya diantaranya berarti bahwa siswa bisa bernalar dengan baik, terampil dalam mengolah pikirannya dan mengungkapkannya secara runut. Dengan kemampuan refleksi bisa melakukan penilaian tentang baik buruknya sesuatu, benar tidaknya sesuati, indah tidaknya sesuatu, dan banyak hal lainnya. </p><p>Selain itu pendidikan juga bertujuan untuk menumbuhkan anak-anak yang sehat (bertumbuhnya tubuh anak). Kalau proses pendidikan tidak membuat anak-anak menjadi sehat. Anak hanya duduk saja, saking sibuknya dengan pekerjaan-pekerjaan sekolah sehingga tidak punya waktu untuk mengolah tubuhnya, berolahraga, menumbuhkan kesehatan jiwa dengan berbahagia bersama teman-temannya. Maka, ada masalah dengan proses pendidikan tersebut. </p><p><br /></p><p>Apa gunanya memajukan bertumbuhnya budi pekerti, daya pikir, dan tubuh anak? Tujuannya untuk memajukan kesempurnaan hidup , yaitu penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya. Bagi saya itu maknanya agar anak bisa tumbuh untuk hidup sebaik-baiknya sesuai konteks kehidupannya. Supaya bisa hidup selaras dengan dunianya, maka anak perlu belajar mengenal lingkungan sekitarnya sebagai bagian dari mengenal dunianya. Dalam proses itu, dia juga belajar untuk hidup sebaik-baiknya, selaras dengan dunianya. </p>Dhitta Puti Sarasvatihttp://www.blogger.com/profile/14527876469514260028noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-14268387.post-47534717942276115222021-08-29T19:51:00.007+07:002021-08-30T12:31:17.970+07:00Sekilas Tentang Persiapan Konten Gernas Tastaba<div>Uji coba Traing of Trainer (ToT) Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Matematika (Gernas Tastaka) diujicobakan pada Desember 2018 sampai Februari 2019. Namun, persiapannya sudah dilakukan semenjak September 2018. Di sisi lain Uji Coba Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Membaca (Gernas Tastaba) dilakukan sejak 30 Juli 2021 dan akan berakhir pada 3 September 2021. Persiapannya dilakukan sejak 28 Januari 2020. Butuh waktu lebih lama untuk persiapannya. Alasannya, selain karena ada pandemi, juga karena memang tim konten benar-benar mengulik apa yang perlu jadi benang merah dari kegiatan ToT Gernas Tastaba. </div><div><br /></div><div>Pengalaman menyiapkan konten Gernas Tastaba ini memberikan pengalaman baru bagi saya. Ketika menyiapkan konten Gernas Tastaka saya tidak terlalu kesulitan karena memang memiliki pengalaman mengajar matematika dan latar belakang di pendidikan matematika. Memang, ketika persiapan saya dan tim belajar lagi. Tapi, saya sudah punya bayangan, buku apa yang akan jadi referensi, teori belajar apa yang akan digunakan, dan dari mana ide bisa dicari. Meskipun ada beberapa penyesuaian, dari awal, bayangan tentang bentuk trainingnya sudah lebih terbayang. </div><div><br /></div><div><div>Dengan Gernas Tastaba bagaimana? Rasanya sangat berbeda. Sebagai orang yang tidak punya latar belakang pendidikan formal di bidang bahasa saya sempat tidak percaya diri. Saya punya ketertarikan terhadap membaca, tapi sebagai kegiatan yang menyenangkan saja. Namun, belum pernah secara sistematis mempelajari bagaimana proses anak belajar membaca.</div><div><br /></div><div>Dalam satu rapat, Ibu Itje mengatakan, "Semua guru adalah guru membaca." </div><div><br /></div><div>Benar juga sih. Apapun yang menjadi bidang keahlian kita, kalau mengajar kita harus punya keterampilan untuk mengajari siswa kita membaca. Setidaknya bisa memfasilitasi siswa kita menjadi pembaca lebih baik lagi. </div><div><br /></div><div>Saya ingat cerita seroang teman saya Pak Budi. Seperti saya, kini dia dosen di Program Studi Pendidikan Matematika, Fakultas Pendidikan. Namun, sebelumnya dia pernah menjadi guru Fisika SMP dan SMA. Dia pernah bercerita, siswa-siswanya tidak selalu tahu caranya mengambil intisari dari sebuah bacaan, termasuk buku teks mengenai fisika. Maka Pak Budi memilih untuk bersama-sama dengan siswanya mendiskusikan caranya membaca teks. Pak Budi mengajar fisika, tapi dia juga mengajar membaca. </div><div><br /></div><div>Meskipun merasa ada kebenaran di kata-kata Bu Itje bahwa setiap guru adalah guru membaca, tetap merupakan tantangan bagi saya untuk belajar kembali caranya mengajar membaca, khususnya di tingkat SD. Saya mesti mulai dari mana belajarnya? </div></div><div><br /></div><div>Di WA grup tim konten Gernas Tastaba kami mendiskusikan pertanyaan "Apa pengetahuan, keterampilan, sikap, dan pandangan yang sebaiknya dimiiki guru SD terkait mengajar membaca?"</div><div><br /></div><div>Pertanyaan utamanya itu, tetapi turunan jawabannya beragam. Beberapa anggota tim konten lainnya memiliki latar belakang di bidang pendidikan bahasa atau ilmu bahasa, saya tidak. Jadi, butuh waktu bagi saya untuk memahami berbagai informasi yang didiskusikan bersama. Untungnya seluruh tim berproses bersama. Proses diskusi yang intensif tampaknya membantu saya secara pribadi maupun tim secara keseluruhan untuk menemukan apa yang akan difokuskan oleh Gernas Tastaba. </div><div><br /></div><div>Setelah diskusi yang sangat panjang , tim Gernas Tastaba sepakat agar ToT Gernas Tastaba fokus mengajak guru SD mempelajari tiga hal. Pertama, bahwa guru SD perlu menjadi pembaca aktif. Pembaca aktif ini sudah harus suka membaca. Itu prasyaratnya. Setelahnya, keterampilan membacanya harus ditingkatkan agar tidak sekadar banyak membaca, tetapi bisa memperoleh manfaat yang lebih mendalam dari proses membacanya. Salah satu referensi utama untuk topik ini adalah buku "How to Read A Book: The Classic Guide ti Intellegent Reading" karya Adler & Doren (2011). Harapannya, Gernas Tastaba bisa mendorong agar proses belajar membaca di SD memungkinkan agar anak lebih dari sekadar "membunyikan huruf" tapi bisa "memaknai bacaan". Tentu, sebelum mendorong anak memaknai bacaan, guru juga perlu terbiasa memaknai bacaan. Caranya bukan sekadar dengan banyak membaca, tapi juga membaca beraga genre bacaan, terbiasa mendiskusikannya, bahkan mungkin membandingkan bacaan yang satu dengan lainnya. Tanpa menjadi pembaca aktif, akan sulit bagi guru SD misalnya untuk mengkurasi bacaan yang bisa digunakan di kelas, mengajukan pertanyaan yang membuat anak mengkoneksikan bacaan dengan berbagai fenomena di sekitarnya (bukan sekadar pertanyaan seperti di buku teks), serta memiliki antusiasme tinggi untuk menumbuhkan minat anak terhadap bacaan. </div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjiW1j4vcgNvtPMIgNxbAjWLKXz-BQPYGG2gqKhQobinuVUVeDJzKWkmeR5DWQh0T7Ia_qIvyNBOYJgkxplQ_NTxzg0gze-6lqFJdAPRG_Vuktl0q1Rl5soADK75o6YGX3Ii45O/s792/How+to+Read+A+Book+JPD.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="792" data-original-width="523" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjiW1j4vcgNvtPMIgNxbAjWLKXz-BQPYGG2gqKhQobinuVUVeDJzKWkmeR5DWQh0T7Ia_qIvyNBOYJgkxplQ_NTxzg0gze-6lqFJdAPRG_Vuktl0q1Rl5soADK75o6YGX3Ii45O/s320/How+to+Read+A+Book+JPD.jpg" width="211" /></a></div><br /><div><br /></div><div>Setelah mengajak guru menjadi pembaca aktif, kami sepakat untuk bersama-sama mengajak guru belajar kembali mengenai caranya mengajar membaca dari dasar. Tim Gernas Tastaba menamai proses ini sebagai belajar mengajar "Membaca Dasar". Terkait membaca dasar ada beberapa hal penting. Pertama, bahwa berdasarkan sejarah, manusia tidak langsung bisa melakukan proses membaca menggunakan sistem abjad yang kita gunakan sekarang ini. Zaman dulu, orang belum kenal istilah "membaca". Gagasan dikemukakan secara lisan. Setelahnya, manusia mengenal caranya mengekspresikan gagasan melalui gambar, tapi belum mengenal caranya mengespresikan gagasan dengan rangkaian huruf. Kemudian, manusia belajar untuk mencari simbol yang merepresentasikan bunyi, biasanya berkaitan dengan gambar tertentu. misalnya (ini contoh saja yang saya karang sendiri):</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjUumlwNvpINDgrEMvmMfD3EzoQhmWjThMQWbgEuPebT6715C7V7ncGI_gaXijqiMIj7PB8rJo7N6_op9kflXOXvc-uqhwLA2UcXPWtB8RCwXX82FqwGLu5SpR8UjDTGN_1b1Ks/s841/tari.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="623" data-original-width="841" height="237" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjUumlwNvpINDgrEMvmMfD3EzoQhmWjThMQWbgEuPebT6715C7V7ncGI_gaXijqiMIj7PB8rJo7N6_op9kflXOXvc-uqhwLA2UcXPWtB8RCwXX82FqwGLu5SpR8UjDTGN_1b1Ks/s320/tari.jpg" width="320" /></a></div><br /><div>Seiring dengan perkembangan zaman dan dipengaruhi oleh berbagai pertukaran budaya, gambar-gambar ini kemudian berkembang menjadi simbol-simbol yang lebih sederhana (aksara latin, misalnya( sehingga menyimbolkan bunyi tertentu) . Untuk belajar lebih lengkap meng.enai ini silakan lihat <a href="https://www.youtube.com/watch?v=TyfIS9b77A8&t=4880s">BBC Four HD The Secret History of Writing Episode 1-3 (Complete) (2020) </a> </div><div><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><iframe allowfullscreen="" class="BLOG_video_class" height="266" src="https://www.youtube.com/embed/TyfIS9b77A8" width="320" youtube-src-id="TyfIS9b77A8"></iframe></div><br /><div><br /></div><div>Intinya proses menyadari bahwa simbol merepresentasikan bunyi bukanlah proses yang alami dan perlu proses belajar.</div><div><br /></div><div>Proses bagi anak untuk memahami bahwa huruf menyimbolkan bunyi tidak akan langsung terjadi tiba-tiba. Ada proses belajar yang harus dilalui termasuk mempelajari bahwa gagasan bisa dinyatakan dalam bentuk simbol lainnya, termasuk gambar. Di bagian proses membaca dasar, juga ada penekanan betapa pentingnya memperkaya anak dengan pengalaman aksara. Artinya, proses mengajak anak berdialog merupakan proses yang sangat penting. Kayanya kosa kata akan mempengaruhi ketertarikan anak dalam membaca, serta kemampuan membacanya. Maka belajar membaca tidak hanya tentang "proses membacanya saja" tetapi apa yang dilakukan sebelumnya. Apakah anak memiliki pengalaman yang kaya, terbiasa menceritakan pengalamannya, terbiasa diajak berdialog tentang pengalamannya, terbiasa dikenalkan kepada ragam kosa kata. </div><div><br /></div><div>Beberapa referensi untuk mendesain proses belajar terkait ":Membaca Dasar" adalah buku "<i>Guided by Meaning in Primary Literacy: Libraries, Reading, Writing, and Learning</i>" (Caroll, Berger, James, & Hill, 2017), buku "Bahasa Mencerdaskan Bangsa: Panduan Berbahasa Berbasis Metode Sentra" (Musthofa, 2021), dan beberapa referensi lainnya.</div><div><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjOlXl6sle_5iBoRYcz-uUjbStxDTMwv59GhDKGpyiEL04OVZ_8PKkF0VhTOxlehE9gwSKkTooWgJ6cFR9W1k_aHDoNU2eNrzdZoL1ZAq53TcFmKNH-9gvYz3C63YDoNPFZewRD/s709/guided+by+meaning.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="709" data-original-width="548" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjOlXl6sle_5iBoRYcz-uUjbStxDTMwv59GhDKGpyiEL04OVZ_8PKkF0VhTOxlehE9gwSKkTooWgJ6cFR9W1k_aHDoNU2eNrzdZoL1ZAq53TcFmKNH-9gvYz3C63YDoNPFZewRD/s320/guided+by+meaning.jpg" width="247" /></a></div><br /><div><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj35iDShHyOUmrdnFk4UgCxOIcnLzzaginwiSit-KiP1K9ANY3OkgdMTrRkld56iPdbAJJlfwD_IwdC16tp0Z6IUID9mZHI-aLAxme7GE_EzWTOCgBrccysTP951pTuhqdt6I6q/s623/BMB.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="623" data-original-width="415" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj35iDShHyOUmrdnFk4UgCxOIcnLzzaginwiSit-KiP1K9ANY3OkgdMTrRkld56iPdbAJJlfwD_IwdC16tp0Z6IUID9mZHI-aLAxme7GE_EzWTOCgBrccysTP951pTuhqdt6I6q/s320/BMB.jpg" width="213" /></a></div><br /><div><br /></div><div>Terakhir kami mengajak guru SD untuk belajar kembali berbagai strategi untuk memfasilitasi anak yang sudah bisa membaca agar semakin bisa memaknai bacaan. Sesi mengenai ini kami namanya belajar mengajar "Membaca Bermakna". Untuk bisa mengajak anak memaknai bacaan, guru perlu memiliki keterampilan bertanya. Hal ini berarti bahwa guru perlu bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan otentik yang mengajak anak membuat koneksi antara bacaaan dan pengalamannya sehari-hari. Selain itu, guru juga perlu memikirkan kegiatan pra-membaca, sambil membaca, dan paska-membaca. Contohnya kalau anak akan membaca tentang pantai, bisa saja sebelumnya anak-anak diajak jalan-jalan di pantai, merefleksikan pengalamannya pergi ke pantai, menceritakan apa yang diketahuinya tentang pantai, dan sebagainya. Saat membaca, guru bisa mengajak siswa menebak apa yang akan terjadi berikutnya, membuat relasi antara bacaan dengan pengalaman anak, teks lain, ataupun apa yang terjadi di dunia. Setelah membaca anak bisa diajak menghasilkan karya baik gambar, cerita, dan lainnya yang berhubungan dengan pantai. Guru juga bisa menggunakan berbagai kerangka seperti <i>graphic organizer </i> yang bisa digunakan untuk mengajak anak memikirkan kembali bacaannya secara lebih mendalam. Referensi untuk sesi "Membaca Bermakna" diantaranya adalah buku "Membaca untuk Belajar" (Djiwatampu, 2008). <div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjXNKu1nkTxjH1S15HyFC_G7ERzvAHQlil4DwmlY8eJcFNlHCKTIaDiTns7G5Dbh0C8BRV8yhKk_6ITGnb2Gq5XmAHS38KEaRyh6ynbKPEowVsR5AxbapCxuzcsLQPU3T2nnE2M/s567/djiwatampu.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="567" data-original-width="431" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjXNKu1nkTxjH1S15HyFC_G7ERzvAHQlil4DwmlY8eJcFNlHCKTIaDiTns7G5Dbh0C8BRV8yhKk_6ITGnb2Gq5XmAHS38KEaRyh6ynbKPEowVsR5AxbapCxuzcsLQPU3T2nnE2M/s320/djiwatampu.jpg" width="243" /></a></div><br /></div><div><br /></div><div>Ketiga gagasan untuk Gernas Tastaba baik tentang "Menjadi Pembaca Aktif", "Membaca Dasar", dan "Membaca Bermakna" tidak muncul secara tiba-tiba, tapi dadahului dengan proses berpikir dan berdialog, dan belajar yang cukup panjang. Setelah ini apa?</div><div><br /></div><div>Yang pasti, Sabtu, 4 September 2021 adalah pertemuan keenam dari Uji Coba ToT Gernas Tastaba. Itu uji coba yang terakhir. Setelahnya kami sudah punya beberapa ide perbaikan. Meskipun upaya yang kami lakukan masih sangat sederhana, ada harapan bahwa apa kami lakukan bisa berkembang dan bermanfaat bagi pendidikan dasar di Indonesia. Bismillah. </div><div><br /></div><div><br /></div>Dhitta Puti Sarasvatihttp://www.blogger.com/profile/14527876469514260028noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-14268387.post-21448879723797403372021-07-11T22:30:00.004+07:002021-07-11T22:31:43.784+07:00Sudah Mengajar Bertahun-tahun Tapi Kembali Belajar (Matematika) dari Dasar? Kenapa Tidak?<p>Di postingan “Potret Kelas Matematika yang Tidak Ada
Matematikanya” saya mengatakan bahwa saya kaget (lebih tepatnya <i>shock</i>)
melihat pengajarannya Prilly Latuconsina (lihat: <a href="http://mahkotalima.blogspot.com/2021/07/potret-kelas-matematika-yang-tidak-ada.htm">http://mahkotalima.blogspot.com/2021/07/potret-kelas-matematika-yang-tidak-ada.htm</a>l
).</p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><br />
Perasaan kaget itu merupakan emosi yang timbul dalam diri saya. Namun, setelah
saya mulai merasa tenang, saya pikir seharusnya saya tidak kaget. Praktik
pengajaran yang dilakukkan oleh Prilly yang mengajarkan rumus cepat sebagai
suatu kebenaran yang harus diterima begitu saja meskipun tak tahu asal usulnya
bukan hal baru. Itu praktik yang sudah sering saya temui. Beberapa orang tidak menyadari bahwa hal tersebut merupakan kesalahan fatal di kelas matematika. Mungkin, saya juga pernah begitu. Seakan-akan mengajar matematika padahal tanpa menumbuhkan penalaran. <i>So, logically, I shouldn’t be so shocked</i>. <o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p><p class="MsoNormal">Apa yang dilakukan oleh Prilly, juga pernah dilakukan oleh
banyak guru Matematika lainnya termasuk oleh beberapa guru-guru saya terdahulu
(yang tetap saya hormati), bahkan mungkin oleh saya sendiri. Jujur, dulu, saya
memang pernah berpikir bahwa Matematika memang hanya soal hitung-hitungan
mencari jawaban yang benar. Matematika menjadi sekadar alat yang bisa membantu
untuk belajar ilmu lain seperti Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). </p><p class="MsoNormal"><br /></p><p class="MsoNormal">Belakangan saya baru ngeh
bahwa pemahaman saya tentang Matematika saat itu sangat sempit. Setelah belajar kembali, barulah saya <i>ngeh</i> bahwa matematika itu adalah ilmu tentang pola, sangat mengutamakan proses penalaran, dan bukan sekadar alat untuk menyelesaikan perhitungan. </p><p class="MsoNormal"><br /></p><p class="MsoNormal">Selama sekolah ada masanya saya mengerjakan begitu banyak soal-soal matematika, kadang saya memperoleh nilai yang baik (nyaris 100). Namun, baru kemudian saya sadar bahwa kebisaan menyelesaikan soal-soal tersebut tidak berarti saya memahami konsep-konsepnya. Jujur, pernah ada waktunya saya menggunakan berbagai rumus cepat tanpa tahu asal usulnya. Kalaupun kita lulus dari sekolah yang "berlabel unggulan", lulus dari bidang yang berhubungan dengan MIPA dengan nilai tinggi, belum tentu kita benar-benar memahami apa yang pernah kita pelajari. Sampai sekarang saya harus mengakui ada banyak konsep-konsep matematika yang belum saya kuasai. Tapi saya tidak malu untuk kembali belajar lagi, bahkan dari dasar. <o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><br /></p><p class="MsoNormal">Ada beberapa orang yang mengirimkan pesan kepada saya, menyatakan keprihatinan terhadap rendahnya pemahaman
konsep guru-guru yang mengajar Matematika di sekolah (di berbagai tingkat). Bagaimana
posisi saya terhadap isu itu? </p><p class="MsoNormal"><br /></p><p class="MsoNormal">Saya sangat mengerti bahwa ada guru yang mengajar matematika tapi belum menguasai konsep-konsep matematika, apalagi cara mengajarnya. Tidak semua guru terakses dengan pendidikan guru yang berkualitas yang menjadi wadah untuk mengembangkan kemampuan matematika maupun kemampuan mengajar matematika mereka. Saya juga mengerti bahwa seorang guru pada dasarnya terus berproses. Melakukan kesalahan merupakan hal yang wajar. Tidak tahu suatu hal juga hal yang wajar. Yang penting ada keinginan dan usaha untuk terus belajar. Tidak perlu takut belajar kembali dari dasar, bahkan hal yang mungkin tampaknya kita kuasai sebelumnya. Belajar selalu bisa memberikan kita sudut pandang baru. </p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><br /></p><p class="MsoNormal">Ada cerita menarik, sekitar setahun terakhir ini beberapa
teman-teman di Gerakan Pemberantasan Buta Matematika (Gernas Tastaka) mengulik
lagi konsep terkait nilai tempat (<i>place value). </i>Ceritanya kita berniat membuat buku tentang nilai tempat sebagai pegangan
bagi teman-teman guru (belum jadi). Nilai tempat adalah topik matematika yang sangat mendasar. Biasanya, mulai dipelajari sejak kelas 1 SD. </p><p class="MsoNormal"><br /></p><p class="MsoNormal">Anggota tim yang mengulik soal
nilai tempat berasal dari berbagai latar belakang. Ada yang memang matematikawan, ada yang guru Matematika (SD, SMP, perguruan tinggi), dan ada mahasiswa pendidikan matematika. Kami semua bersepakat untuk membaca kembali bahan-bahan yang berhubungan dengan nilai tempat dari berbagai
jurnal dan buku. Kami juga menonton video tentang nilai tempat yang ada di youtube. Setelahnya kami melakukan presentasi mengenai apa yang kami pelajari. </p><p class="MsoNormal"><br /></p><p class="MsoNormal">Meskipun sudah belajar (atau mengajar matematika) selama bertahun-tahun, pengalaman belajar kembali membuat kami menyadari bahwa masih ada banyak hal terkait nilai tempat yang belum kami ketahui. Nilai tempat bukan hanya soal
menyebutkan 234 terdiri dari 2 ratusan, 3 puluhan, dan 4 satuan. Kami belajar bahwa tidak semua sistem bilangan memiliki nilai tempat. Sistem bilangan Hindu-Arab
(decimal) yang kita gunakan sekarang menggunakan nilai tempat. Itu salah satu hal yang membuat sistem bilangan ini lebih
efisien dibandingkan beberapa sistem bilangan yang lain. Kami belajar betapa
hebatnya gagasan tentang pengelompokan dan hubungannya dengan nilai tempat,
serta gagasan bahwa sekolompok hal (benda) bisa kita anggap sebagai entitas
tunggal. Sungguh tak menyesal mempelajari kembali apa yang tampaknya mudah karena dipelajari di SD. Tetap saja ada banyak gagasan baru, pemahaman kami pun menjadi sedikit lebih mendalam, serta muncul ide-ide baru terkait pengajaran nilai tempat. Tanpa adanya proses belajar kembali tersebut, webminar <a href="https://www.youtube.com/watch?v=mZd9iWeE9_o&t=5513s">"Bincang Gernas Tastaka : Nilai Tempat" </a> pada 5 April 2021 lalu tampaknya tidak mungkin terlaksana (lihat video di bawah). </p><p class="MsoNormal"><a href="https://www.youtube.com/watch?v=mZd9iWeE9_o&t=5513s"><o:p></o:p></a></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><iframe allowfullscreen="" class="BLOG_video_class" height="266" src="https://www.youtube.com/embed/mZd9iWeE9_o" width="320" youtube-src-id="mZd9iWeE9_o"></iframe></div><br /><p class="MsoNormal"><br /></p>
<p class="MsoNormal">asih merasa pengajaran matematika kita hanya fokus pada “rumus-rumus cepat”
tanpa menumbuhkan kemampuan bernalar? Tidak apa-apa, asalkan mulai sadar bahwa
hal tersebut perlu kita ubah. Masih merasa ada konsep Matematika yang belum
kita kuasai? Tidak apa-apa, masih ada ruang untuk belajar kembali.</p><p class="MsoNormal">
<br />
Saya sepenuhnya percaya bahwa membuat kesalahan itu bagian yang penting dalam
proses belajar, termasuk ketika kita belajar mengajar matematika. Saya juga percaya bahwa tidak apa-apa kalau ada
hal-hal yang tidak kita ketahui. Itu manusiawi. Selama ada keinginan untuk terus belajar, itu sudah baik. Mudah-mudahan proses belajar kita menjadikan kita terus berkembang dan bisa menggapai hal-hal yang mungkin tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Selamat belajar teman-teman guru! <o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p>Dhitta Puti Sarasvatihttp://www.blogger.com/profile/14527876469514260028noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-14268387.post-72988030115277457612021-07-11T15:51:00.010+07:002021-07-11T17:54:56.076+07:00Potret Kelas Matematika yang Tidak Ada Matematikanya<p>Saya sangat kaget melihat video pengajaran matematikanya Prilly
Latuconsina (duta @ruangguru ). Videonya bisa dilihat di sini:</p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"></p><blockquote> <span face=""Segoe UI",sans-serif" style="background: white; color: #262626; font-size: 10.5pt; line-height: 107%;"><a href="https://www.instagram.com/tv/CREC9E_JKTZ/?utm_source=ig_web_copy_link">https://www.instagram.com/tv/CREC9E_JKTZ/?utm_source=ig_web_copy_link</a>
</span>. </blockquote><o:p></o:p><p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p>
<p class="MsoNormal">Video memotret contoh “Kelas Matematika yang tidak ada
Matematikanya”. Persis seperti apa yang disuarakan oleh matematikawan Paul
Lockhart (2009) dalam buku “<i>A Mathematician’s Lament</i>”. <o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p>
<p class="MsoNormal">Di video itu Prilly menjelaskan cara menghitung hasil
penjumlahan deret bilangan berikut ini:<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"></p><blockquote>1 + 2 + 3 + 4 + … + 10 </blockquote><o:p></o:p><p></p>
<p class="MsoNormal">Untuk tahu kenapa video tersebut bermasalah, saya sarankan
untuk membaca tulisan teman saya, seorang pendidik matematika Pak Rachmat
Hidayat yang juga mengelola akun Instagram @matematigis dan merupakan relawannya
@gernastastaka telah menjelaskan secara rinci kenapa pengajaran Prilly tersebut
bermasalah di tulisan “Benerin Prilly Ngajar Matematika” di sini:<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"> <a href="https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=4287983974594909&id=100001500457505"></a></p><blockquote><a href="https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=4287983974594909&id=100001500457505">https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=4287983974594909&id=100001500457505</a></blockquote><o:p></o:p><p></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br /></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Saya hanya akan menambahkan beberapa
pendapat pribadi saya mengenai kenapa video ini menggelisahkan dan berharap ini
menjadi bahan refleksi, bukan saja bagi Prilly, tetapi siapapun yang mengajar Matematika,
termasuk saya. Sebelumnya mari kita bahas kenapa pengajaran Prilly di videonya merupakan
contoh nyata “Kelas Matematika yang tidak ada matematikanya.”<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br /></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Video tersebut seakan-akan berbicara
tentang Matematika karena ada angka (lebih tepat disebut bilangan), ada operasi
bilangannya, ada perhitungan yang perlu dilakukan, dan ada rumus-rumus yang
oleh Prilly disebut sebagai rumus cepat. Karena ada itu semua, video itu
seakan-akan tentang Matematika meskipun tidak ada proses penalaran sama sekali.
Tidak ada pembahasan, kenapa “rumus ini
benar”, “apakah selalu benar?”, “apakah kadang benar?”, “apakah selalu salah”,
dan argumennya. Rumus-rumus yang diajarkan Prilly seperti rumus ajaib yang
tidak ada asal usulnya. Meskipun kelas yang kita ajar dipenuhi angka, simbol-simbol
matematis, perhitungan, tapi kalau tidak membangun penalaran, maka sebenarnya
proses belajar Matematika sama sekali tidak terjadi. <o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
Di dalam Matematika, yang penting tidak hanya sekadar “Apa jawaban yang benar”,
tetapi argumen yang menjelaskan kenapa kita menganggap sesuatu benar atau salah
sekalipun. Saat mengajar Matematika, merupakan “dosa besar” kalau guru
mengatakan, “Itu benar, karena emang begitu rumusnya”, “Itu benar, karena emang
dari sananya benar”, apalagi sampai siswa mengatakan , “Itu benar soalnya kata Ibu/Bapak
guru itu yang benar.” <o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br /></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Di kelas Matematika yang lebih
penting bukan sekadar “ini jawaban yang benar” atau “ini jawaban yang salah”
tapi kemampuan anak berargumen, “Saya menganggap ini benar karena… “ atau “Saya
menganggap ini salah karena.. “.<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
Saya jadi ingat salah satu tulisan karya seorang ahli pendidikan Matematika Richard
Skemp (1976) tentang pemahaman relasional dan instrumental. Tulisan ini
mengkritisi pandangan Steig Meilin-Olsen yang mengatakan ada dua jenis
pemahaman, pemahaman instrumental (tahu cara menghitung/rumusnya) meskipun
tidak tahu asal usulnya seperti yang digambarkan dalam video pengajaran
matematianyya Prilly), dan pemahaman relasional (tahu hubungan antara
perhitungan/rumus tertentu dengan konsep-konsep matematis lainnya). Bagi Skemp,
pemahaman instrumental bukanlah pemahaman sama sekali. Menariknya, video Prilly yang merupakan potret
“Kelas Matematika yang tidak ada matematikanya” dan merupakan contoh “pemahaman
instrumental, yang sebenarnya bukan pemahaman sama sekali” memperoleh nyaris 3
juta like. Bagaimana yah kita bisa merefleksikan fenomena itu apabila kita
kaitkan dengan pendidikan Matematika di Indonesia (atau pendidikan pada
umumnya)?<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p>
<p class="MsoNormal">Sumber:<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><span face=""Arial",sans-serif" style="background: white; color: #222222; font-size: 10pt; line-height: 107%;">Skemp, R. (1976). Relational
understanding and instrumental understanding', MathematicsTeacher77, 20-26. </span><i>Skemp2077Mathematics Teacher1976</i>.<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><span face=""Arial",sans-serif" style="background: white; color: #222222; font-size: 10pt; line-height: 107%;">Lockhart, P. (2009). </span><i>A mathematician's lament: How school cheats us out of our most fascinating
and imaginative art form</i>. Bellevue literary press.<o:p></o:p></p>Dhitta Puti Sarasvatihttp://www.blogger.com/profile/14527876469514260028noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-14268387.post-51880737923639791482021-07-08T14:26:00.004+07:002021-07-08T14:27:41.787+07:00Pertanyaan-pertanyaan yang Muncul Setelah Mendengarkan Diskusi Tentang "Membaca untuk Kesenangan"<p> Belum lama saya mendengarkan sebuah diskusi di youtube. Judulnya <a href="https://www.youtube.com/watch?v=nFlTHrGuZGY">"<i>What if We Want All Children to Read For Pleasure?</i></a>" yang artinya "Bagaimana Kalau Kita Ingin Setiap Anak Kita Membaca Untuk Kesenangan". Diskusinya bisa dilihat di sini:</p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><iframe allowfullscreen="" class="BLOG_video_class" height="321" src="https://www.youtube.com/embed/nFlTHrGuZGY" width="386" youtube-src-id="nFlTHrGuZGY"></iframe></div><br /><p>Diskusi itu difasilitasi oleh Institute of Education (IoE), University of College London (UCL) dan difasilitasi oleh empat narasumber, Joseph Coelho (penulis buku anak dan puisi), Charlotte Hacking (yang bekerja di Centre for Literacy in Primary Education), Gemma Moss (Profesor di bidang literasi dari IoE), dan Alice Sullivan (Profesor di Bidang Sosiologi di IoE).</p><p>Di dalam tulisan ini saya hanya akan membahas satu aspek dari dialog tersebut yang paling menarik hati saya, yakni apa yang disampaikan oleh Charlotte Hacking. Hacking menyatakan bahwa dirinya berasal dari dunia riset sekaligus juga merupakan praktisi, sehingga dia bisa melihat isu "Membaca untuk Kesenangan" dari kedua sudut pandang tersebut (riset dan sisi praktis). </p><p>Menurutnya, ada tiga elemen yang perlu dipertimbangkan di dalam sistem pendidikan agar bisa mendukung anak menjadi pembaca yang baik. Pertama, adalah bagaimana sistem mengutamakan pentingnya membaca. Kedua, adalah bagaimana orang dewasa (guru maupun anak-anak) melibatkan dan memfasilitasi anak untuk membaca. Ketiga, tersedianya keragaman teks yang bisa diakses oleh anak-anak. Diagram di bawah ini menggambarkan apa yang dikatakan oleh Hacking:</p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjaLlLSz9ZFq89jNkA7SvibtlZnENcyGwC5DM0N7OJVuqKLQ6tT37iaQ92bjN4VtfGuLM39bQrkl5xoBjlMuTb55JwC2ATp_iiU0vPCTeoSYMOHc2waXb1wHf16amd1OqorKkPL/s843/CLPE.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="663" data-original-width="843" height="353" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjaLlLSz9ZFq89jNkA7SvibtlZnENcyGwC5DM0N7OJVuqKLQ6tT37iaQ92bjN4VtfGuLM39bQrkl5xoBjlMuTb55JwC2ATp_iiU0vPCTeoSYMOHc2waXb1wHf16amd1OqorKkPL/w448-h353/CLPE.jpg" width="448" /></a></div><br /><p>Apa yang Hacking sampaikan membuat saya mengajukan beberapa pertanyaan terkait sistem pendidikan yang ada di Indonesia, khususnya di tingkat Sekolah Dasar (SD) / Madrasah Ibtidayah (MI). Pertanyaan-pertanyaan saya adalah sebagai berikut :</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>Apa yang benar-benar terjadi di kelas-kelas SD di Indonesia (pada umumnya) terkait kegiatan membaca?</li><li>Apa sistem pendidikan / sekolah menganggap membaca sesuatu yang bernilai/penting? Apa membaca jadi fokua utama?</li><li>Apakah orang dewasa di sekolah mencontohkan proses membaca secara aktif dan membiasakan proses dialog tentang bacaan terjadi di sekolah?</li><li>Apa anak Indonesia pada umumnya memperoleh akses terhadap bacaan dari beragam genre?</li><li>Apakah anak membicarakan, terlibat dalam kegiatan membaca, tumbuh kecintaannya terhadap membaca, membaca untuk kesenangan?</li></ul><div><br /></div><div>Pertanyaan-pertanyaan ini belum sepenuhnya terjawab, namun semoga bisa memancing dialog diantara teman-teman pendidik (guru dan orang tua) serta masyarakat pada umumnya. Menurut teman-teman sendiri, apa jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas? </div><p></p><br /><p><br /></p>Dhitta Puti Sarasvatihttp://www.blogger.com/profile/14527876469514260028noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-14268387.post-81192850908531382422021-07-07T18:58:00.005+07:002021-07-08T17:26:03.177+07:00Guru Membaca "Guru Idola" di Sebuah Lokakarya<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgjC3ikO0ddi576Gs3F2Y-Npd_yGKO-p8flGW7jgiHyPRs_xoM0IBde2QKFi-5Pagpnzbm0Rj3Hnf0U_5KLeupQWSorvkhhshWVvLu1K2m-FxS-VNGf4vTiOAzW6hPIKBoG9E37/s609/Guru+Idola+%2528Kompas+2018%2529.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="428" data-original-width="609" height="286" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgjC3ikO0ddi576Gs3F2Y-Npd_yGKO-p8flGW7jgiHyPRs_xoM0IBde2QKFi-5Pagpnzbm0Rj3Hnf0U_5KLeupQWSorvkhhshWVvLu1K2m-FxS-VNGf4vTiOAzW6hPIKBoG9E37/w407-h286/Guru+Idola+%2528Kompas+2018%2529.jpg" width="407" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">"Guru Idola" karya L. Wilardjo (Kompas, 17 Juli 2018)</td></tr></tbody></table><br /><p><br /></p><p>Di sebuah lokakarya untuk guru, saya membagikan sebuah artikel dari koran Kompas berjudul "Guru Idola" karya L. Wilardjo yang diterbitkan pada 17 Juli 2018. Dengan tulisan bergaya Times New Roman berukuran 12, dengan spasi satu setengah, dan ada spasi antara paragraf, artikel tersebut sepanjang 5 halaman. Tidak terlalu panjang sebenarnya. Peserta lokakarya diberikan waktu sekitar 15 menit untuk membaca artikel tersebut. </p><p><br /></p><p style="text-align: justify;">Artikel tersebut berupa kisah tentang beberapa guru yang diidolakan siswanya. Semua guru memiliki kesamaan. Mereka berhasil memfasilitasi siswanya untuk berkembang jauh sehingga menjadi jauh lebih hebat dari gurunya. Prof. Arnold Sommerfeld misalnya, mengembangkan teori atom hidrogen-nya Niels Bohr. Hal tersebut memang hebat, tetapi muridnya, Wolfang Pauli justru memperoleh Nobel Fisika. Kehebatan Pauli melampaui kehebatan Sommerfield, meskipun pada awalnya Pauli terinspirasi dari gurunya. Seorang guru, tak selalu berarti orang yang mengajar langsung di depan kelas. Bagi Richard Feyman, Paul Dirac adalah gurunya. Feyman belajar dari buku-buku yang ditulis oleh Dirac dan itu menginspirasinya bukan hanya ketika beliau menjadi ilmuwan peraih nobel fisika, tetapi juga ketika Feyman mengajar. Feyman terkenal karena kemampuan mengajarnya yang mumpuni sehingga dijuluki sebagai "The Great Explainer". Feyman memang dikenal bisa menjelaskan konsep-konsep fisika yang rumit dengan sangat menarik dan mudah dipahami. Juga ada kisah tentang tokoh pewayangan bernama Palgunadi. Palgunadi ingin belajar memanah kepada Durna, tapi tidak bisa. Durna sudah punya murid kesayangan bernama Arjuna. Palgunadi pun membuat patung Durna. Dia belajar memanah secara mandiri. Setiap berlatih selalu ada patung Durna di sampingnya, dalam imaji Palgunadi gurunya selalu mengawasinya. Keterampilan memanah Palgundi pun akhirnya melampaui Arjuna. "Guru Idola" pada dasarnya menggambarkan bahwa seorang guruyang hebat bukanlah orang yang sekadar "hebat sendiri" tetapi seseorang yang berhasil menginspirasi orang lain untuk menjadi jauh lebih hebat dari dirinya. </p><p><br /></p><p style="text-align: justify;">Sebuah bacaan, kalau bergizi, bisa membantu kita memaknai pengalaman-pengalaman kita. Tulisan karya L. Wilardjo tersebut sengaja dibagikan kepada teman-teman guru saat lokakarya, sebagai pemantik diskusi. Hari itu, salah satu tujuan lokakarya memang untuk mengajak teman-teman guru berefleksi sehingga bisa menjadi guru yang jauh lebih baik dari sebelumnya.</p><p><br /></p><p style="text-align: justify;">Seorang guru menceritakan pengalamannya membaca artikel ini. Katanya, dengan membaca sebuah artikel saja dia merasa bisa belajar banyak. Ke depannya dia ingin lebih rajin membaca. Sambil sedikit tersipu, beliau mengakui bahwa sebelumnya tak tekun membaca. Membaca dua halaman saja bisa membuat kepalanya pusing karena tidak terbiasa. Meskipun belum terbiasa, beliau mau membangun kebiasaan baru, mengembangkan diri dengan membaca. </p><p><br /></p><p style="text-align: justify;"> </p>Dhitta Puti Sarasvatihttp://www.blogger.com/profile/14527876469514260028noreply@blogger.com9tag:blogger.com,1999:blog-14268387.post-33928470224387808642021-06-24T11:36:00.008+07:002021-06-24T11:41:30.799+07:00Refleksi Menonton Dokumenter Tentang Asuka Umeda, Si Pembelajar Yang Mencintai Keajaiban Kehidupan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjTmed3Zr9tkubqc66sBHcsoR4suCpFPKFHIQe3Ko8k07UDGmvRjUo1Bjhlryiyvbm5sPSCRtuhzcXjbHYNEjtVUjnW0BeaYWIoIJUWIq0O1ekAjZ71p3UqUWyvJIqLOZLZ3NgG/s1920/7+yrs+learning+c.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1080" data-original-width="1920" height="306" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjTmed3Zr9tkubqc66sBHcsoR4suCpFPKFHIQe3Ko8k07UDGmvRjUo1Bjhlryiyvbm5sPSCRtuhzcXjbHYNEjtVUjnW0BeaYWIoIJUWIq0O1ekAjZ71p3UqUWyvJIqLOZLZ3NgG/w544-h306/7+yrs+learning+c.jpg" width="544" /></a></div><br /><p style="text-align: justify;"><br /></p><p style="text-align: justify;">Menonton film dokumenter <a href="https://www3.nhk.or.jp/nhkworld/en/ondemand/video/4001347/" target="_blank">"My Notebooks: Seven Years of Tiny Great Adventures"</a> (di NHK-World Japan) tentang kisah Asuka Umeda membuat perasaan saya campur aduk. Saya kagum melihat catatan-catatan harian Asuka Umeda yang menunjukkan rasa ingin tahunya yang tinggi. Namun, Asuka tidak selalu cocok di sekolah, lembaga yang seharusnya menjadi instutusi pendidikan. Institusi yang seharusnya bertujuan memfasilitasi anak agar dipenuhi rasa ingin tahu.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><p style="text-align: justify;">Asuka mulai menulis catatan hariannya sejak kelas 3 Sekolah Dasar (SD). Awalnya kegiatan ini dilakukan sebagai bentuk tugas sekolahnya. Gurunya, menugasi siswa-siswinya untuk melakukan "self learning". Yang berarti belajar mandiri. Belajar mandiri tidak berarti siswa belajar tanpa guru mengisi lembar kerja yang tidak habis-habis. Belajar mandiri berarti siswa memilih apa yang ingin dipelajarinya dan menuliskannya di dalam catatan. Pekerjaan rumah ini ternyata menjadi awal mula hobi Asuka. Mencatat apapun yang menarik hatinya sebagai bentuk refleksi hasil belajarnya. Kebiasaan ini menjadikan Asuka penulis yang hebat sampai dia berkali-kali memenangi Children Non-Fiction Literary Award. </p><p style="text-align: justify;"><br /></p><p style="text-align: justify;">Siapa sangka, catatan harian tersebut membawa Asuka ke tempat-tempat yang menarik. Asuka juga bisa berkenalan dengan orang-orang baru di berbagai bidang. Catatan harian Asuka yang pertama berisi pendapatnya tentang sebuah artikel koran. Ada sebuah patung orang yang memegang tongkat. Tongkat tersebut bisa dicopot dan kemudian dicuri. Asuka heran, kenapa seseorang mau membuat patung dengan bagian yang bisa dicopot seperti itu. Di kemudian hari muncul artikel bahwa patung tersebut telah diperbaiki. Tongkat yang tadinya terbuat dari logam diganti menjadi tongkat yang terbuat dari kayu. Asuka tertarik pada cerita itu, mengunjungi patung tersebut, mengambil foto, dan menuliskan perasaannya di catatan hariannya. </p><p style="text-align: justify;"><br /></p><p style="text-align: justify;">Pengalamannya membuatnya sadar bahwa tulisan-tulisan di koran pun bisa dibaca oleh seorang anak sepertinya. Isinya banyak yang menarik. Setiap hari Asuka membuka koran, membaca isinya, dan menandai bagian-bagian menarik yang bisa ditempelnya di catatn hariannya. </p><p style="text-align: justify;"><br /></p><p style="text-align: justify;">Sebuah artikel koran bercerita tentang sebuah toko yang menjual jam-jam antik. Asuka menuliskan komentarnya tentang artikel ini, lalu mengunjungi toko tersebut dan berkenalan dengan pemilik toko bernama Kiyoharu Yoshida. Asuka bukan hanya punya kesempatan melihat jam-jam yang bentuknya beragam dan unik, tapi juga bisa mengobrol panjang lebar dengan Pak Kiyoharu yang sangat baik hati. Pengalaman belajarnya di toko jam dituliskannya lalu hasilnya dikirimkan kepada Pak Kiyoharu. Tentu saja ini membuat Pak Kiyoharu terharu dan bahagia. </p><p><br /></p><p style="text-align: justify;">Salah satu orang yang membuat Asuka termotivasi untuk menulis adalah guru SD-nya. Guru SD-nya akan membaca catatan harian Asuka dan memberikan komentar-komentar tertulis yang sederhana seperti, "menarik sekali!". </p><p style="text-align: justify;"><br /></p><p style="text-align: justify;">Sayangnya saat Asuka SMP, tidak ada guru yang juga melakukan apa yang dilakukan guru SD-nya. Padahal, Asuka senang kalau ada yang bisa membaca catatn hariannya dan mengomentarinya. Maka, Asuka memilih untuk pergi ke berbagai tempat seperti museum dan perpustakaan. Membuat catatan soal pengamatannya. Lalu, mengirimkan catatan hariannya pada kurator, direktur, ataupun pekerja di tempat-tempat tersebut. Awalnya orang-orang tersebut heran karena ada seorang anak yang tiba-tiba muncul dan memberikan catatannya. Namun, Asuka membuat mereka terkesan. Asuka memiliki banyak teman baru yang punya berbagai latar belakang. </p><p style="text-align: justify;"><br /></p><p style="text-align: justify;">Anehnya, di sekolah Asuka bosan. Dia tidak tertarik pada pelajaran sekolah juga tidak aktif di kegiatan ekstrakurikuler, khususnya olahraga. Gurunya menganggap Asuka tidak memiliki keterampilan yang memungkinkannya bisa berbaur dengan masyarakat. Bukan hanya bahwa nilai sekolahnya tidak baik, keterampilan sosialnya pun dianggap kurang. Ibunya Asuka menceritakan bagaimana guru mengatakan bahwa Asuka pendiam, tidak bisa bergaul dan berkomunikasi, dan bukan anak yang ceria. Hal ini mengkhawatirkan karena menandakan bahwa Asuka akan mengalami banyak kesulitan di masa depan. </p><p style="text-align: justify;"><br /></p><p style="text-align: justify;">Kenyataannya, kebiasaannya belajar secara mandiri menjadi bukti bahwa Asuka punya modal untuk berkontribusi di masyarakat. Dia bisa menuliskan pemikirannya secara rinci dan terstruktur. Catatan harian Asuka menjadi alat komunikasi yang memungkinkan Asuka bergaul dengan banyak orang. </p><p style="text-align: justify;"><br /></p><p style="text-align: justify;">Terlepas tentang pandangan orang lain tentang dirinya, Asuka tidak gentar. Dia tahu bahwa dia mencintai kehidupan dan terpesona pada banyak keajaibannya. Di dinding kamarnya terpampang sebuah kaligrafi yang berisi kutipan seorang penulis bernama Sinichi Fukuoka. Kata Ibunya membuat kaligrafi tersebut. Kutipan tersebut menggambarkan perasaan Asuka terhadap apa yang hobi dilakukannya. Katanya, "Apa yang kamu sukai tidak perlu selalu terkait dengan pekerjaanmu. Yang penting, kamu memiliki sesuatu yang kamu sukai. Dengan menyukai sesuatu dan terus menyukainya, perjalananmu akan kaya dengan cara yang tak kamu duga dan kamu tidak akan pernah bosan. Itulah yang akan terus menginspirasimu dalam sunyi.Itu akan menyemangatimu sampai akhir." </p>Dhitta Puti Sarasvatihttp://www.blogger.com/profile/14527876469514260028noreply@blogger.com8tag:blogger.com,1999:blog-14268387.post-31047163641588682352021-06-17T13:29:00.006+07:002021-06-17T14:11:04.209+07:00Peluncuran "Ruang Belajar Alex Tilaar"<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjiTw6DsMpE17B25wvYWI-P_xQL02TLk_a2JPqBy8ANFvkiZRphHGE2GxqHOhhqlh36Z0dtVliNtLy9VeLOXZ4rVZVeaHWHpAPj7zr69VYBiAkxCz2qdtPcsxsUWvrxW7YdMU2b/s1547/rbat.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="870" data-original-width="1547" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjiTw6DsMpE17B25wvYWI-P_xQL02TLk_a2JPqBy8ANFvkiZRphHGE2GxqHOhhqlh36Z0dtVliNtLy9VeLOXZ4rVZVeaHWHpAPj7zr69VYBiAkxCz2qdtPcsxsUWvrxW7YdMU2b/s320/rbat.jpg" width="320" /></a></div><br /><p><br /></p><p>Kehormatan besar menjadi saksi peluncuran Ruang Belajar Alex Tilaar (RBAT) di Jl. Wahid Hasyim N0.27 Jakarta. Ruang belajar ini terbuka untuk umum, berisi buku-buku koleksi pribadi alm. Prof. H.A.R Alex Tilaar, seorang pendidik dan pemikir pendidikan yang sangat saya kagumi. Beliau dikenal sebagai seorang guru yang sangat mencintai Indonesia. Hidupnya didedikasikan untuk guru dan pendidikan. Perjuangannya tidak hanya dilakukan dengan mengajar, tapi juga melalui kegiatan belajar, membaca, dan menulis. Hal itulah yang paling saya kagumi darinya. Selama 87 tahun hidupnya beliau telah menulis 31 buku tentang pendidikan (beberapa diantaranya sangat tebal misalnya Kaleidoskop Pendidikan Indonesia). Selain itu beliau juga menulis setidaknya 200 artikel tentang pendidikan. Sebuah kutipan yang terpampang di rumah belajar H.A.R . Tilar menggambarkan hal ini. Tulisannya:</p><p><br /></p><p style="text-align: left;"></p><blockquote><i>"Buku adalah buah pemikiran saya yang abadi. Saya tidak abadi, maka saya berharap suatu <span style="white-space: pre;"> </span>saat buku yang saya tulis bisa bermanfaat untuk masyarakat Indonesia."</i></blockquote><p> </p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEihc-uNNSZjMBG-TBIvfV2Z3MkukG4KpalaPpFfeATb6oGt40wICAju7Nxn5QHaGR9qjHTZgcxoxJiMnV_K690Gqk0ZON9t7JxHTu8-1L68xfS1Qif9nQxAznWgz4Y-saG5HHQ2/s1618/buku.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="870" data-original-width="1618" height="234" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEihc-uNNSZjMBG-TBIvfV2Z3MkukG4KpalaPpFfeATb6oGt40wICAju7Nxn5QHaGR9qjHTZgcxoxJiMnV_K690Gqk0ZON9t7JxHTu8-1L68xfS1Qif9nQxAznWgz4Y-saG5HHQ2/w436-h234/buku.jpg" width="436" /></a></div><br /><p><span style="text-align: justify;">16 Juni 1932 Prof. Tilaar lahir di Tondano, Sulawesi Utara. Ruang belajar ini diluncurkan pada tepat pada hari kelahirannya, yakni pada 16 Juni 2021. Bagi saya RBAT menggambarkan salah satu </span><i style="text-align: justify;">legacy</i><span style="text-align: justify;"> Prof. Tilaar. Bahwa beliau masih dicintai baik oleh keluarga, murid-muridnya, maupun siapapun yang tersentuh hatinya olehnya. Kecintaannya terhadap Indonesia, terhadap pendidikan, dan terhadap ilmu pengetahuan mengalir terus dengan cara yang sangat bersahaja. </span></p><p><span style="text-align: justify;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;">Sedikit mengenai hidupnya, Prof. Tilaar pernah menjadi guru di sekolah rakyat sampai menjadi guru besar di Universitas Negeri Jakarta. Selain mengajar, beliau juga aktif menulis, dan bergerak dengan berbagai cara, diantaranya dengan menjadi anggota Dewan Riset Nasional, anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, penasihat PGRI, dan penasihat Majelis Luhur Taman Siswa. Saya pribadi, menjadi saksi hidup bagaimana Porf. Tilaar tidak pernah hanya berdiam di menara gading tapi ikut "turun" menangani langsung isu-isu pendidikan yang dianggapnya penting. Beliau ikut menandatangani Petisi untuk menolak Ujian Nasional, beliau akan ikut menentang kebijakan yang dianggapnya tidak sesuai dengan konstitusi UUD 45.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><p>Salah satu kegiatan yang dilakukan saat peluncuran RBAT adalah Talk Show. Pembicaranya Mbak Wulan Tilaar (putri dari Prof Tilaar sekaligus penanggung jawab RBAT), Ibu Henny Supolo (Ketua Yayasan Cahaya Guru), Pak R.A. Hirmana (murid sekaligus rekan kerja Prof Tilaar di Universitas Negeri Jakarta), dan Mbak Inayah Wahid.</p><p><br /></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi4bzDwM0cgP0nvFl-mWG3V027hDn0w3brmcFslRgp1ipa7qRGsLg05FS1vrj0O3HGoCsSF1XQFYbTfEDggilzWAG8jdph4kOfk4GSHwrDiJqdvz9mJOZ90MllwTou05q6Y1C1V/s1547/talk+show.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="870" data-original-width="1547" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi4bzDwM0cgP0nvFl-mWG3V027hDn0w3brmcFslRgp1ipa7qRGsLg05FS1vrj0O3HGoCsSF1XQFYbTfEDggilzWAG8jdph4kOfk4GSHwrDiJqdvz9mJOZ90MllwTou05q6Y1C1V/w427-h240/talk+show.jpg" width="427" /></a></div><br /><p><br /></p><p>Mbak Wulan mengatakan:</p><p></p><blockquote><i>"Alm. Tilaar adalah seorang guru. Guru kehidupan. Dan bagi bapak, seorang guru adalah proses "menjadi". Proses yang tidak pernah selesai. Menjadi guru adalah profesi yang selalu dia banggakan."</i></blockquote><p> </p><p></p><p>Mbak Wulan menambahkan:</p><p><i><span style="white-space: pre;"> </span> "Pak Tilaar selalu membuka pintu rumahnya untuk murid-muridnya untuk belajar. Beliau <span style="white-space: pre;"> </span>bukan hanya membuka rumahnya tetapi juga membuka hatinya."</i></p><p><i><br /></i></p><p>Dengan mata agak berkaca-kaca, Ibu Henny Supolo bercerita bagaimana mudahnya mencintai Prof. Tilaar:</p><blockquote style="border: none; margin: 0px 0px 0px 40px; padding: 0px;"><p style="text-align: left;"><i>"Kami jadi saksi bahwa Prof Tilaar benar-benar orang yang mengabdikan hidupnya sebagai guru, bangga menyebut dirinya guru, dan membuat kami semua bangga menjadi guru... Beliau sangat mudah diakses, sangat murah hati berbagi ilmu, setiap undangan selalu diterima, setiap pendapat selalu didengarkan, dan setiap pertanyaan beliau hargai dengan memberikan jawaban yang terasa sekali berasal dari hati. Jawaban-jawaban Prof. Tilaar dalam pertemuan dengan para guru selalu membuat kamu merasa mendengarkan cerita. Mudah ditangkap, selalu dihubungkan dengan berbagai situasi yang sedang kita hadapi, sangat kontekstual. Dan ruang belajar ini sungguh-sungguh mewujudkan semangat berbagi Prof. Tilaar yang luar biasa."</i></p></blockquote><p> </p><p>Ibu Henny juga menceritakan bahwa Prof. Tilaar memiliki sebuah kegelisahan yang besar yang diungkapkannya di Sekolah Guru Kebinekaan 2016 : Kata Prof. Tilaar:</p><p><i><span style="white-space: pre;"> </span>"Kita punya satu kata penting yang hilang dalam dunia pendidikan yaitu kemandirian. Yang <span style="white-space: pre;"> </span>saya maksudkan dengan kemandirian adalah kebebasan berpikir, bersikap, dan <span style="white-space: pre;"> </span>berpendapat."</i></p><p><i><br /></i></p><p>Pak R.A Hirmana bercerita bahwa salah buku favoritnya adalah karya Pak Tilaar berjudul "Pedagogik Teoritis untuk Indonesia". Pak Hirmana berhadarp bahwa RBAT bisa menjadi jalan untuk mewujudkan cita-cita Prof. Tilaar bahkan melebihi apa yang diharapkannya. :</p><blockquote style="border: none; margin: 0px 0px 0px 40px; padding: 0px;"><p style="text-align: left;"><i>"Belum pernah saya begitu bahagaia bersama guru, dosen pendidik, seperti ketika saya bersama dengan Pak Tilaar bisa berimajinasi bersama beliau."</i></p></blockquote><p><br /></p><p>Tampaknya Pak Hirmana berharap RBAT bisa menjadi ruang bagi kita untuk mengikuti jejak Prof Tilaar untuk menggunakan ilmu pengetahuan untuk sama-sama berimajinasi untuk kebaikan Indonesia.</p><p> </p><p>Tampaknya ada kekhawatiran bahwa generasi muda yang sekarang, yang oleh beberapa generasi pendahulunya dianggap sibuk dengan "gadget, tik-tok, media sosial" tidak akan menganggap RBAT sebagai hal yang menarik. Terkait kekhawatiran ini Mbak Inayah mengingatkan bahwa anak-anak muda menunjukkan keppedulian mereka terhadap bangsa dengan cara mereka sendiri. </p><blockquote style="border: none; margin: 0px 0px 0px 40px; padding: 0px;"><p style="text-align: left;"><i>"Hanya karena mereka melalakukannya dengan cara yang berbeda dengan kita, atau dengan bapak ibu, itu bukan berarti mereka salah."</i></p></blockquote><p> </p><p>Mbak Inayah tidak khawatir sama sekali dengan potensi anak-anak muda. Meskipun mereka hidup di dunia digital, bukan berarti pengalaman berada di RBAT tidak akan berharga. Mbak Inayah percaya bahwa RBAT akan menjadi ruang-ruang pertemuan antara orang-orang yang berbeda. Dan itu adalah salah satu bentuk perwujudan dari Pancasila. </p><p><br /></p><p>Mbak Wulan dan keluarga, sekali lagi. Selamat untuk dibukanya Ruang Belajar Alex Tilaar. Mudah-mudahan kita semua bisa bersama-sama menghidupkannya sebagai bentuk cinta kami terhadap seorang pendidik yang akan terus hidup melalui pemikiran-pemikirannya. </p>Dhitta Puti Sarasvatihttp://www.blogger.com/profile/14527876469514260028noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-14268387.post-48506626849517162022021-05-11T16:23:00.004+07:002021-05-11T16:23:42.806+07:00 Belajar Klasifikasi Dulu, Belajar Bilangan Kemudian<p>Kemampuan mengklasifikasi adalah kemampuan untuk bisa menyortir suatu atau beberapa objek berdasarkan perbedaan ataupun persamaannya. Belajar mengklasifikasi ini bisa dilakukan bahkan sebelum anak mengenal konsep bilangan. Seorang anak misalnya, bisa belajar mengklasifikasi suatu objek berdasarkan warnanya (merah, kuning, hijau), mengklasifikasi makanan berdasarkan rasanya (asam, asin, manis, pahit), dan sebagainya. Kemampuan mengklasifikasi ini merupakan salah satu keterampilan. Untuk mempelajari lebih lanjut mengenai pentingnya keterampilan mengklasifikasi sebelum belajar bilangan, mari kita perhatikan deskripsi mengenai Jalu dan Intan berikut ini. </p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://previews.123rf.com/images/sandralise/sandralise1107/sandralise110700006/10001328-starfish-and-seashells-on-the-beach.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="769" data-original-width="800" height="453" src="https://previews.123rf.com/images/sandralise/sandralise1107/sandralise110700006/10001328-starfish-and-seashells-on-the-beach.jpg" width="472" /></a></div><br /><p><br /></p><p>Kisah Jalu, Intan, dan Cangkang Kerang</p><p>Seorang anak sedang berjalan bersama kakaknya di pinggir pantai. Jalu namanya. Usianya tak sampai 6 tahun, kakaknya Intan berusia sekitar 8 tahun. Di tangan kanan Jalu terdapat sebuah ember kecil. Sambil berjalan, Jalu mengambil beberapa cangkang kerang yang ditemuinya. Dimasukkannya ke dalam ember. Setelah berjalan-jalan setelah 20 menit lamanya. Jalu dan kakaknya duduk di atas pasir. Jalu membalik ember kerangnya di sehingga cangkang-cangkang yang telah dikumpulkannya bertebaran. Intan berseru, “Wah macam-macam bentuknya! Ini seperti kipas.”</p><p><br /></p><p>Jalu menunjuk cangkang kerang yang yampak seperti spiiral, “Yang ini seputar muter-muter.”</p><p><br /></p><p>Intan berkata, “ Yang ini seperti topi yang tinggi dan lancip..”</p><p><br /></p><p>Jalu tampak bingung mendeskripsikan cangkang kerang satu lagi lalu tertawa, “ Ini seperti apa yah? ”</p><p><br /></p><p>Intan berpikir, “Seperti cangkan siput?”</p><p><br /></p><p>Jalu mengangkat pundak. Tidak tahu. </p><p><br /></p><p>Dari semua cangkang kerang yang telah dikumpulkan, tidak ada satupun yang bentuknya sama. Warnanya pun beragam. Namun, di antara cangkang-cangkang kerang tersebut, tetap ada beberapa yang memiliki kemiripan satu sama lain. Cangkang-cangkang kerang tersebut bisa diklasifikasi berdasarkan persamaan dan perbedaannya. Itu yang kemudian dilakukan oleh Jalu dan Intan. </p><p><br /></p><p>“Mari, kita pisahkan cangkang-cangkang ini. Yang bentuknya mirip kita satukan.”</p><p><br /></p><p> Intan memisahkan cangkang berbentuk kipas dan menaruhnya di sebelah kiri.</p><p>“Aku mau cari pisahin yang bentuknya muter-muter ini,” kaya Jalu meniru apa yang dilakukan kakaknya. Jalu memisahkan cangkang berbentuk spiral di sebelah kanannya. </p><p><br /></p><p>Intan, bekerja dengan cukup cepat. Dengan mudahnya dia memisahkan kerang berbentuk topi panjang lancip, dan yang berbentuk seperti cangkang siput. Barulah Jalu dan Intan menghitung masing-masing jenis kerang. </p><p><br /></p><p>Hasilnya, yang seperti kipas ada 6, yang seperti spiral ada 4, yang seperti topi panjang lancip ada 5, dan yang seperti cangkang siput ada 7. </p><p><br /></p><p>Kemampuan mengklasifikasi sesuatu sangat penting dimiliki anak sebelum anak belajar mengenai bilangan. Salah satu tujuan belajar bilangan adalah mengembangkan kemampuan menentukan banyaknya objek dalam suatu kelompok (kardinalitas bilangan). Sebelum menghitung banyaknya objek, harus disepakati dulu apa yang mau dihitung (Reys, et.al., 2009, h.137). Ketika mau menghitung ikan di danau, seseorang harus bisa mengklasifikasi mana yang berupa ikan, dan mana yang bukan ikan. Ketika mau menghitung banyaknya ayam di kebun halaman, seseorang harus bisa mengklasifikasi mana yang ayam dan mana yang bukan ayam. </p><p><br /></p><p>Dalam kasus Jalu dan Intan, yang mau dihitung adalah banyaknya masing-masing cangkang kerang sesuai bentuknya. Dalam proses mengklasifikasi cangkang kerang Intan dan Jalu memperhatikan persamaan dan perbedaan masing-masing cangkang kerang sampai akhirnya membuat kesimpulan, kelompok apa yang sesuai untuk masing-masing cangkang kerang. </p><p><br /></p><p>Di kemudian hari kemampuan mengklasifikasi ini juga bisa dilakukan dengan mengenalkan istilah “dan”, “atau”, maupun “bukan”. Misalnya ketika anak mengklasifikasi daun, anak bisa diajak untuk mengelompokkan daun yang hijau dan menyirip ke dalam satu kelompok, daun yang merah dan menyirip ke dalam kelompok lain, dan daun yang menjari atau bukan daun menyirip ke dalam kelompok lainnya. Kegiatan mengklasifikasi ini terlihat sederhana, tetapi secara tidak sadar membantu anak mengembangkan kemampuan bermatematikanya (terkait himpunan, logika) dan kelak diperlukan untuk belajar mengenai bilangan. </p>Dhitta Puti Sarasvatihttp://www.blogger.com/profile/14527876469514260028noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-14268387.post-90071078196448007472021-03-17T20:03:00.000+07:002021-03-17T20:03:36.518+07:00Amanah baru di 2021<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiB5FjLQe1Pka8YF9fHQsUYVNtJehY3wA3W4an7-0WzhRj77AFztDIHYqEc0_I0CMfAX46oFhc9U9F-nOHwegrlEVwQsK-AzdeM9e4I-UlJbvACqFb5QzDyVa2w51eUPfHJFfWp/s1685/DPS+IGI.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1067" data-original-width="1685" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiB5FjLQe1Pka8YF9fHQsUYVNtJehY3wA3W4an7-0WzhRj77AFztDIHYqEc0_I0CMfAX46oFhc9U9F-nOHwegrlEVwQsK-AzdeM9e4I-UlJbvACqFb5QzDyVa2w51eUPfHJFfWp/s320/DPS+IGI.jpg" width="320" /></a></div><br /><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">2021 baru berjalan selama 3 bulan, tetapi telah ada beberapa hal penting yang terjadi di dalam hidupku. 26 - 31 Januari 2021 berlangsung Kongres Ikatan Guru Indonesia (IGI) yang ke-3. Tepat di hari pertama kongres, salah satu pendiri IGI, alm. Ibu Yully meninggal dunia. Tentu saja, banyak sekali teman-teman yang merasa kehilangan. Ternyata sebelum pergi Ibu Yully sempat menitipkan pesan kepada saya (melalui suaminya yang juga pengurus IGI) untuk menjaga IGI.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Tentu saja saya akan selalu menjaga IGI. Saya mencintainya. Cara yang saya bayangkan, berada di belakang layar. Tidak ikut menjadi pengurus, tapi menulis untuk IGI, berbagi dengan anggota IGI, dan sebagainya. Sebelum kongres ke-3 saya menyumbang tulisan untuk mengingatkan tentang visi dan nilai-nilai yang dipegang IGI. Harapannya agar seluruh anggota maupun pengurus (lama maupun baru) akan fokus pada cita-cita dan nilai bersama. Kapanpun IGI meminta saya untuk mengisi acara mereka, atau bahkan untuk berkunjung saja, saya akan usahakan hadir. Tapi bergabung di IGI lagi? Sepertinya tidak. Sejak berakhirnya kongres ke-2 di Makassar, saya telah lengser dari jabatan pengurus dan tidak sekalipun saya berpikir untuk bergabung di IGI lagi. Jadi anggota saja.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div><div style="text-align: justify;">Ternyata nasib berkata lain. Hasil Kongres ke-3, saya terpilih sebagai anggota Dewan Kehormatan IGI. Syarat menjadi anggota Dewan Kehoramatan IGI, diantaranya pernah jadi pengurus IGI.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Dewan Kehormatan bertugas 'mengurus' kode etik, termasuk mensosialisasikannya, dan mengingatkan apabila ada pengurus ataupun anggota yang melanggarnya. Tentu, saya ditanyakan kesediaannya. Awalnya ragu, tapi akhirnya, Bismillah saya iyakan saja.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Nah, ternyata di dalam Dewan Kehormatan itu ada pengurusnya. Karena salah satu anggotanya adalah Pak <a href="https://www.facebook.com/satriadharma2002?__cft__[0]=AZWq98aF-wzN1VPW01-zH3M4QkqJrDzuWn_DD5ILK9G1HoPAkrEbfReuT4mrXs3XH6JgnddsD9mNFFkIil9XrMq50Wubzzf2pQfDUiiBWrDsQEmqc_ziBxeX0IEoMbZqz1U&__tn__=-]K-R">Satria Dharma</a> yang sangat dihormati di IGI (karena mendirikan IGI), ada beberapa yang merasa segan memimpin Pak Satria. Maunya Pak Satria aja yang memimpin, tapi tentu saja Pak Satria tidak mau. Dia mau santai-santai aja sepertinya. Hehe...</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Diantara semua, tampaknya yang paling tidak segan untuk memimpin Pak Satria. Alasannya? Saya tahu Pak Satria sangat demokratis. Maka terpilihlah saya menjadi Ketua Dewan Kehormatan IGI.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Tadinya saya tidak mau bercerita mengenai ini. Mau diam-diam saja. Namun, saya pikir ada pentingnya juga saya menyampaikan harapan saya dengan posisi yang saya miliki sekarang. Saya berharap IGI menjadi organisasi yang lebih profesional. Baik pengurusnya memiliki kesepakatan bersama mengenai nilai yang perlu dipegang, serta ada pemikiran yang lebih sistematis mengenai pengetahuan, keterampilan, sikap, ataupun disposisi yang perlu dikembangkan.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Di Dewan Kehormatan IGI saya akan mulai dengan mengajak tim membahas "nilai". Nilai-nilai apa yang mau kita pegang bersama? Jumat, 19 Maret 2021 saat rapat, tim Dewan Kehormatan IGI akan membahas itu. Hasil akhirnya? Masih samar-samar.Tapi memulai langkah, tak ada salahnya. bukan?</div></div>Dhitta Puti Sarasvatihttp://www.blogger.com/profile/14527876469514260028noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-14268387.post-21385143466551291222021-02-01T12:16:00.004+07:002021-02-01T12:28:28.003+07:00Pengalaman Belajar Membaca Waktu Kecil<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjaABdKxAN2QiMp-ZjX4RZmqWPU2cFM9psoKfjK0IXiU_1GE_kJr_juV2x1JGnX5cVIFSFojJhmeolE6ry2tw73ZYiB2z0sib8Jjugh8OVK2OfYwML-PcHZQ8Bs-fZVJPAjkUfX/s482/Pic+DPS+Anak.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="482" data-original-width="366" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjaABdKxAN2QiMp-ZjX4RZmqWPU2cFM9psoKfjK0IXiU_1GE_kJr_juV2x1JGnX5cVIFSFojJhmeolE6ry2tw73ZYiB2z0sib8Jjugh8OVK2OfYwML-PcHZQ8Bs-fZVJPAjkUfX/s320/Pic+DPS+Anak.jpg" /></a></div><br /><p style="text-align: justify;"><br /></p><p style="text-align: justify;"><br /></p><p style="text-align: justify;">Saya sebenarnya tidak pernah dan agak segan menceritakan pengalaman ini di publik. Namun, saya rasa pengalaman ini bisa mungkin akan berguna bagi beberpa teman-teman di sini. Pengalaman tentang pengalaman belajar membaca ketika saya masih kecil.</p><p style="text-align: justify;">Ketika saya kecil, kedua orang tua secara bergantian membacakan saya buku setiap hari. Dari bayi sampai saya umur 6 tahun. Hampir tidak pernah absen. Sampai sekarang saya sangat tidak habis pikir, kenapa kedua orang tua saya bisa setekun itu. Di usia 6 tahun, saya ingat dibacakan buku yang lumayan tebal dan tidak bergambar. Kisah tentang Helen Keller. Di bagian belakangnya ada beberapa contoh huruf Braile yang bisa saya sentuh dengan tangan. </p><p style="text-align: justify;">Di masa itu saya tidak tinggal di Indonesia karena kedua orang tua berkuliah. Buku-buku yang saya baca, ada yang koleksi sendiri, ada yang pinjaman sekolah dan ada yang didapatkan di perpustakaan umum. Perpustakaan buat saya seperti tempat bermain saja. Ada bagian buku anak-anak, setting ruangannya berwarna-warni, dan seingat saya di perpustakaan tersebut ada mainannya. </p><p style="text-align: justify;">Itu tahun 1991 (dan sebelumnya) Menariknya, di zaman itu, kita bisa meminjam buku anak yang juga disertai kaset yang isinya orang yang membacakan buku anak tersebut (kalau di zaman sekarang sesuai audio books). Jadi, sambil membaca buku, kita bisa mendengarkan orang lain membaca juga. Biasanya juga ada bunyi bel atau nada tertentu yang merupakan tanda bahwa kita perlu membalik halaman. Baik pengalaman dibacakan orang tua, maupun membaca buku sambil mendengar audio books tampaknya punya pengaruh besar terhadap kecintaan saya terhadap buku bacaan dan buku anak-anak (yang masih saya nikmati sampai sekarang). Dalam konteks Indonesia, rasanya akses terhadap buku-buku anak dan berbagai tulisan yang indah lainnya perlu diperbanyak. Caranya bagaimana, saya tidak tahu.</p><p style="text-align: justify;">Oh iya, saya tadi mencoba mengintip perpustakaan tempat saya bermain sambil belajar di masa kecil. Perpustakaannya masih ada tapi mungkin sudah banyak perubahan. <a href="https://www.bpl.org/services-central-library/childrens-library-at-the-central-library/?fbclid=IwAR0Nyi3NTM00YuT3Cuylbz_WrEmDg_0q7VAgGyylUHUw-Nk333is5szi1HY" target="_blank">Ini linknya</a>a. </p>Dhitta Puti Sarasvatihttp://www.blogger.com/profile/14527876469514260028noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-14268387.post-337902960916416792021-01-08T13:16:00.007+07:002021-01-08T13:16:35.053+07:00Pandangan Tentang Kongres IGI ke-3<div class="separator" style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhrCRcrGw2NgP0jgJhNgcaYpfcUCrlSi8V7Hw4A_ysa23Ai0g78GlvHXdR4xv6se789nUjm49K4dBMF8MwHeob9RjAhLaRcSqQgaHfEsfTnn02l_2z2tZcEdpEz35IhArkPTlAl/s346/Logo-Kongres-III.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="332" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhrCRcrGw2NgP0jgJhNgcaYpfcUCrlSi8V7Hw4A_ysa23Ai0g78GlvHXdR4xv6se789nUjm49K4dBMF8MwHeob9RjAhLaRcSqQgaHfEsfTnn02l_2z2tZcEdpEz35IhArkPTlAl/w352-h332/Logo-Kongres-III.jpg" width="352" /></a></div><br /><br /><br />Rasanya tidak mungkin untuk tidak ikut bersemangat dalam menghadapi Kongres Ikatan Guru Indonesia (IGI) ke-3 yang akan diselenggarakan pada 28 - 31 Januari 2021 (secara hybrid di Bandung dan secara daring). Meskipun bukan pengurus lagi, dan berdasarkan AD/ART IGI, sebagai anggota luar biasa IGI, maka saya tidak memiliki hak memilih dan dipilih. Tentu tidak bisa ikut memilih siapa yang akan menjadi pempinan IGI berikutnya. Sampai detik ini sudah ada 7 calon kandidat Ketua IGI periode berikutnya, diantaranya 1). Danang Hidayatullah (IGI DKI), Gusti Surian (IGI Kalimantan Selatan), Jasmin (IGI Sulawesi Tenggara), Khairuddin Budiman (IGI Aceh), Mampuono (Sekjend IGI Pusat), Marjuki (IGI Jawa Timur), Mahrani Arifin (Pengurus Pusat Pengembangan Regional 10, Kalbar-Kalteng).<div><br />Rasanya senang bahwa ada banyak calon Ketua Umum IGI dari berbagai daerah di Indonesia. Jadi ramai pemilihannya. Seru! Di sisi lain, masih menunggu, akan adakah calon Ketua Umum IGI Perempuan? </div><div><br />Hal yang juga menyenangkan lainnya soal Kongres IGI ke-3 ini adalah dimulainya diskusi-diskusi tentang sejarah IGI, cita-cita ke depan, dan kepemimpinan model apa yang kita harapkan. Buat saya pribadi, saya berharap pimpinan IGI baik di pusat, regional, maupun daerah bisa merangkul semakin banyak teman-teman guru di Indonesia dengan rasa "hangar" serta memiliki visi ke depan yang memungkinkan guru-guru di Indonesia menjadi lebih kompeten, lebih berpengaruh secara positif untuk pendidikan Indonesia, serta lebih didengarkan oleh masyarakat umum. Baik Pak Satria Dharma maupun Pak Muhammad Ramli Rahim punya kekurangan saat menjadi pempinan IGI. Pak Satria, seperti yang diakuinya, kadang sibuk bergerak sendiri (timnya terenggah-enggah), Pak Muhammad Ramli Rahim kadang mengambil kebijakan-kebijakan yang "penting begini" dan mungkin banyak anggota yang terkaget-kaget bahkan tidak suka. Namun, keduanya punya visi yang pada masanya menurut saya sangat pas untuk IGI dalam konteks itu. Pak Satria mendirikan IGI dengan visi "berbagi dan tumbuh bersama" yang jadi roh IGI sampai sekarang, Pak Ramli Rahim berhasil mengembangkan IGI di beberapa wilayah di Timur Indonesia. Program "satu guru satu..." (titik-titiknya ada 100 macam, mulai dari komik, PPT interaktif, dll) yang sekilas terlihat sporadis sampai saat ini tidak berhenti membuat saya berdecak kagum. Program itu berhasil membuat banyak teman-teman guru bergerak. It really worked!</div><div><br />Harapan saya tentang IGI ke depan sudah pernah saya sampaikan ke pengurus IGI DKI (lihat: <a href="https://l.facebook.com/l.php?u=https%3A%2F%2Fwww.youtube.com%2Fwatch%3Fv%3DLL45UT0HeOk_%26fbclid%3DIwAR2aTDkw0Lho0l-uABoFArjZRh9_pLzxEft_cQPB0quo6PO898nW8mJrc3I&h=AT1rDg3LUyW9qacdmaHUX0KbE8kRctnqrzs_YunA9zJqSkvAEtIXgG3WafqPBS34HzQFn-ncFPLCHRqUhubNYgduyePXYLwsB6LSanCXk-5r7rLWZTceNU4dy_jgMJEdUQ&__tn__=-UK-y-R&c[0]=AT33rrGvs1575TZOv_GjQjuWmEDSLLEnaRKliw4jxbfCsMGxEyfGMhxUexVwNlsr7Q7Lidl2qYKn08vRJZ25RGWAkMQ0waum4T32pChCgxcu7QGuemLGz0VHmOvzepiwwKhfhe5XlFVLV0F2hFTCMLY8x3YvodYoFB_Jy6HrpKBueRni6NTYvNDLq6U">https://www.youtube.com/watch?v=LL45UT0HeOk_</a>) dan mudah-mudahan suatu hari punya kesempatan untuk membicarakan hal serupa kepada pimpinan IGI di semua daerah lainnya. Selamat meramaikan dan menyukseskan kongres IGI ke-3. Organisasi ini dibangun dengan hati, semoga tetap akan kita jaga bersama dengan hati. </div><div><br />Salam berbagi dan tumbuh bersama, <br />Dhitta Puti Sarasvati<br />(Pengurus IGI Periode I)<br /><br /></div>Dhitta Puti Sarasvatihttp://www.blogger.com/profile/14527876469514260028noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-14268387.post-42390484267041755652020-11-15T00:19:00.005+07:002020-11-15T00:21:34.420+07:00Refleksi Membaca (beberapa bab) “How Humans Learn to Think Mathematically: Exploring the Three Worlds of Mathematics” karya David Tall<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEivfOibmjBkKlRZKUDdojGmErXMQCPOhIy6MMGaV8yuZ7TrbWMYXwPv9lBOmN0Cs2oMBLPIC1n_AOIAlgSFjrdHcylE0htUohqM0ptoncZ-UoXDp0-wnRW8cBlQ2aiyYgLeAnHp/s494/tall.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="494" data-original-width="328" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEivfOibmjBkKlRZKUDdojGmErXMQCPOhIy6MMGaV8yuZ7TrbWMYXwPv9lBOmN0Cs2oMBLPIC1n_AOIAlgSFjrdHcylE0htUohqM0ptoncZ-UoXDp0-wnRW8cBlQ2aiyYgLeAnHp/w265-h400/tall.jpg" width="265" /></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br /></div><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span id="docs-internal-guid-c0362371-7fff-62e1-2934-459e41327bcd"><br /><p style="line-height: 1.38; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Buku ini belum saya baca sampai tuntas. Baru bagian pendahuluan (</span><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-style: italic; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">prelude</span><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">) dan dua bab berikutnya, yakni “</span><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-style: italic; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">The Foundations of Mathematical Thinking</span><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">” dan “</span><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-style: italic; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Compression, Connection and Blending of Mathematical Ideas</span><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">”.</span></p><br /><p style="line-height: 1.38; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Sebelum menuliskan refleksi saya mengenai buku ini, saya ingin bercerita apa yang membuat saya tertarik pada buku ini. Alasannya, karena saya cukup familiar dengan nama penulisnya. Pernah membaca salah satu penelitiannya yang ditulis bersama Gray (1994). Judulnya, “</span><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-style: italic; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Duality, Ambiguity and Flexibility: A Proceptual View of Simple Arithmetic</span><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">”. Bahkan penelitian ini dikutip sebagai salah satu bahan untuk Training of Trainers (ToT) Gernas Tastaka mengenai Bilangan. Baru kali ini saya berkesempatan membaca bukunya. Buku bagian pendahuluannya tidak terlalu mudah untuk saya pahami. Setelah membaca bagian pendahuluan berkali-kali, dilanjutkan dengan dua bab berikutnya, saya menemukan beberapa hal yang terasa bermakna. Oh iya, bab kedua dan ketiga lebih mudah dibaca daripada membaca pendahuluannya. Pendahuluannya berisi kerangka teoritis yang merupakan dasar penulisan seluruh buku. </span></p><br /><p style="line-height: 1.38; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Salah satu frase yang menarik dari buku Tall ini adalah penggunaan istilah “</span><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-style: italic; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">three worlds of mathematics</span><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">” yang berarti “tiga dunia matematika”. Apa artinya? </span></p><br /><p style="line-height: 1.38; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;"> </span></p><p style="line-height: 1.38; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Pada intinya, tiga dunia ini adalah gagasan tentang bagaimana seorang mengembangkan kemampuan berpikir matematisnya. Setiap orang, bahkan matematikawan, tidak ada yang langsung bisa berpikir matematis, apalagi sampai bisa melakukan pembuktian-pembuktian formal. Di ketiga dunia tersebut, matematika dilihat dengan cara yang berbeda. </span></p><p style="line-height: 1.38; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Dunia tersebut adalah:</span></p></span></div><blockquote style="border: none; margin: 0px 0px 0px 40px; padding: 0px; text-align: left;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span><p style="line-height: 1.38; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">(1)</span><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;"><span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span></span><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-style: italic; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; font-weight: 700; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Conceptual embodiment:</span><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;"> di ‘dunia’ ini, pemahaman akan Matematika dikembangkan dengan berinteraks (melakukan aksi) dengan hal-hal fisik apa yang ada di sekitar. Proses ini membantu seseorang untuk mengembangkan persepsinya mengenai dasar-dasar matematika, misalnya mengenai ‘bilangan’, ‘geometri’ sehingga bisa mengembangkan visualisasi mental (</span><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-style: italic; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">mental images</span><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">) dan bahasa yang menjadi bagian dari imajinasi matematisya. </span></p></span></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span><p style="line-height: 1.38; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">(2)</span><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;"><span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span></span><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; font-weight: 700; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Operational symbolism: </span><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">di ‘dunia’ ini, seseorang mulai mengembangkan akan berbagai prosedur matematis. Beberapa orang mungkin ‘mentok’ dan hanya memahami matematika sampai tahapan prosedural, namun beberapa orang mulai mengembangkan kemampuan untuk memahami berbagai simbol secara lebih fleksibel, serta menggunakan berbagai operasi untuk melakukan kalkulasi dan manipulasi matematis.</span></p></span></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span><p style="line-height: 1.38; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">(3)</span><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;"><span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span></span><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; font-weight: 700; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Aximatic formalism</span><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">: di ‘dunia’ ini, pemahaman akan Matematika dibangun di atas pengetahuan yang formal dan sistem aksiomatik. </span><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-style: italic; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Set theoretic definition</span><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;"> digunakan dan sifat-sifatnya dideduksi menggunakan pembuktian matematis. </span></p></span></div></blockquote><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span><br /><p style="line-height: 1.38; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Kalau direfleksikan, Gernas Tastaka berfokus pada dua dunia yang pertama. Terkhusus lagi, dunia yang pertama. Hal ini didasarkan pada temuan, bahwa siswa-siswa SD/MI kadang tidak diberikan kesempatan untuk merasakan dunia yang pertama. Mereka langsung diharapkan bisa mengerti berbagai simbol dan bahasa matematika tanpa pernah memiliki pengalaman yang memungkinkannya memaknai simbol-simbol tersebut. </span></p><br /><p style="line-height: 1.38; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Misalnya, untuk mengembangkan pemahaman geometri, anak perlu punya pengalaman bermain-main dengan objek geometris (benda di sekitarnya). Panca inderanya digunakan untuk mengenali sifat-sifat geometris berbagai benda. Anak juga perlu memiliki pengalaman untuk mengungkapkan hasil pengamatannya terhadap benda-benda tersebut secara deskriptif, menggunakan kata-kata. Baru, di tingkat pendidikan yang selanjutnya, mereka mungkin akan menggunakan berbagai definisi terkait geometri yang lebih presisi.</span></p><br /><p style="line-height: 1.38; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;"> </span></p><p style="line-height: 1.38; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Pemahaman mengenai bilangan, perlu dimulai dengan pengalaman melakukan berbagai hal terhadap objek di sekitarnya. Anak-anak perlu menggunakan objek-objek tersebut dan menghitungnya, mengelompokkannya, membaginya, mengurutkannya, menjumlahkannya, menguranginya, mengalikan, dan membaginya. </span></p><br /><p style="line-height: 1.38; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Pemahaman mengenai pengukuran perlu dimulai dengan mengalami proses mengukur. Anak perlu merasakan mengukur panjang, luas, volume, massa, dari hal-hal yang ditemuinya. </span></p><br /><p style="line-height: 1.38; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Pengalaman berinteraksi dengan berbagai hal konkret di sekitar akan menjadi dasar bagi anak untuk mengembangkan imajinasi matematisnya. Sayangnya, kadang di sekolah hal-hal ini terlewati. Anak terkadang langsung dipaksa untuk masuk ke ‘dunia’ kedua bahkan ketiga, meskipun belum siap. </span></p><p style="line-height: 1.38; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;"><br /></span><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Selain belajar mengenai tiga dunia tersebut, saya terkesan oleh sebuah kutipan Tall berikut ini:</span></p><p style="line-height: 1.38; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;"><br /></span></p><p style="line-height: 1.38; margin-bottom: 0pt; margin-left: 36pt; margin-top: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-style: italic; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">“It is generally considered that mathematicians wish to avoid ambiguity in mathematics because precision seems to be vital. Now I see that ambiguity and flexibility in using symbolism is essential to enable us to think mathematically.”</span></p><br /><p style="line-height: 1.38; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Artinya, “Secara umum ada pandangan bahwa matematikawan menghindari ambiguitas, karena menganggap presisi menjadi hal yang sangat penting di matematika. Justru, sekarang saya melihat bahwa ambiguitas dan fleksibilitas ketika menggunakan simbol-simbol matematika justru sangat esensial untuk memungkinkan kita berpikir secara matematis” (h.45).</span></p><br /><p style="line-height: 1.38; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Kutipan ini mengingatkan saya mengenai perdebatan mengenai 3 dikali 4 dan 4 dikali tiga (yang sampai hari ini masih terus diperdebatkan oleh beberapa teman-teman guru). Menariknya, kasus tersebut dibahas di buku Tall. </span></p><br /><p style="line-height: 1.38; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Tall menganggap bahwa untuk bisa berpikir matematis, terkadang kita tidak bisa terlalu kaku ketika memaknai sebuah simbol matematis. Kita perlu fleksibilitas untuk melihat bagaimana simbol-simbol tersebut berkaitan dengan berbagai konsep matematika lainnya. </span></p><br /><p style="line-height: 1.38; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Tall memberikan sebuah kasus mengenai anak yang ingin menghitung 2 + 8. Ada anak yang menganggap menyelesaikan masalah ini harus dengan menghitung 2 terlebih dahulu, lalu dilanjutkan dengan berhitung lanjut (counting on), 3, 4,5, … sampai akhirnya menemukan bahwa hasilnya sama dengan 10. Anak ini masih belum fleksibel dalam memahami 2 + 8. </span></p><p style="line-height: 1.38; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;"><br /></span><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Di sisi lain, anak lain berpikir, akan lebih mudah kalau mulai berhitung dari 8 lalu menambahkannya sebanyak 2 sehingga hasilnya sama dengan 10. </span></p><br /><p style="line-height: 1.38; margin-bottom: 12pt; margin-top: 12pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Tall juga menggambarkan pernyataan William Thurston tentang pengalaman masa kecilnya. Thurston adalah seorang matematikawan ahli topologi yang memperoleh Fields Medal, salah satu penghargaan paling bergengsi di bidang matematika.</span></p><p style="line-height: 1.38; margin-bottom: 12pt; margin-top: 12pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Ketika kelas 5 SD, Thurston sangat kagum bahwa 134 dibagi 29 hasilnya adalah 134/29. Tidak perlu diapa-apakan lagi. Ini fakta yang sangat menarik baginya.</span></p><p style="line-height: 1.38; margin-bottom: 12pt; margin-top: 12pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Kisah Thurston mengingatkan saya akan pengalaman bertemu siswa yang merasa tidak nyaman kalau hasil perhitungannya tidak berupa bilangan bulat. Kadang saya memperoleh pertanyaan, “Apakah tidak apa-apa menuliskan hasil akhir perhitungan ini seperti ini (berupa pecahan, atau desimal, atau masih dalam bentuk akar). Tentu jawaban terhadap pertanyaan tersebut tergantung pada konteksnya, tetapi hal tersebut memberikan gambaran bahwa kadang siswa (atau bahkan kita sendiri sebagai pendidik) tidak fleksibel ketika memaknai berbagai simbol-simbol Matematika. Pemahaman akan berbagai simbol lebih bersifat prosedural, bukan relasional. Tall menggunakan istilah lain untuk menjelaskan mengenai fenomena ini, yakni pemahaman yang bersifat “</span><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-style: italic; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">proceptua</span><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">l” (belum akan saya terangkan secara rinci di sini). </span></p><p style="line-height: 1.38; margin-bottom: 12pt; margin-top: 12pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Sebenarnya di bagian pendahuluan bukunya, Tall sudah mengungkapkan pentingnya membangun koneksi-koneksi antar berbagai gagasan matematis. Katanya , </span><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-style: italic; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">“The long-term development of mathematical thinking is more subtle than adding new experience to a fixed knowledge structure. It is a continual reconstruction of mental connections that evolve to build increasingly sophisticated knowledge structure over time”. </span><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Artinya, “Mengembangkan kemampuan berpikir matematis dalam jangka panjang lebih dari sekadar menambah pengalaman baru kepada struktur pengetahuan yang sudah ajeg. Namun, merupakan rekonstruksi yang berkelanjutan untuk membangun koneksi-koneksi mental yang berevolusi untuk membentuk struktur pengetahuan yang lebih canggih seiring dengan berjalannya waktu.” </span></p><br /><br /><br /><br /><br /><p style="line-height: 1.38; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Sumber: </span></p><p style="line-height: 1.38; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Tall, D. (2013). How humans learn to think mathematically: Exploring the three worlds of mathematics. Cambridge University Press.</span></p><p style="line-height: 1.38; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Gray, E. M., & Tall, D. O. (1994). Duality, ambiguity, and flexibility: A" proceptual" view of simple arithmetic. Journal for Research in Mathematics Education, 116-140.</span></p><br /><br /><br /></span></div><p><br /> </p>Dhitta Puti Sarasvatihttp://www.blogger.com/profile/14527876469514260028noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-14268387.post-39184733142629489472020-08-15T20:23:00.006+07:002020-08-15T22:02:54.063+07:00Menumbuhkan Jiwa Keguruan: Berat tapi Indah<p><span style="font-family: trebuchet;">Dua tahun lalu, tepatnya pada Agustus 2018 Pak Bagiono mengajak saya mengisi sebuah lokakarya di SMKN 11 Jakarta. Lokasi sekolah tersebut, tidak jauh dari glodok. Zaman dulunya, SMK tersebut merupakan SMEA. Saat itu, ada tiga jurusan di sekolah tersebut: Akutansi, Administrasi Perkantoran, dan Penjualan.</span></p><p><span style="font-family: trebuchet;">"Apa tujuan lokakarya tersebut?" tanya saya pada Pak Bagiono saat masih diskusi untuk persiapan. Pak Bagiono menjelaskan bahwa harapannya peserta bisa menyadari hakikat mereka sebagai guru. Waduh, tujuan yang sangat berat. Bikin "sakit perut". </span></p><p><span style="font-family: trebuchet;">Saya sangat hormat kepada Pak Bagiono. Beliau merupakan salah satu pembina Ikatan Guru Indonesia (IGI). Saat saya baru pulang dari UK dari studi S2, Pak Bagiono menawari saya untuk mengajar di sebuah Akademi Farmasi di daerah Fatmawati sebagai dosen bahasa Inggris. Hanya 6 bulan tapi saya sangat bersyukur diberikan kesempatan tersebut. Pak Bagiono juga mengenalkan saya pada Pak Daoed Joesoef, untuk belajar banyak hal mengenai pendidikan. Beberapa kali saya diberikan nasihat dan masukan berharga dari Pak Bagiono.</span></p><p><span style="font-family: trebuchet;">Kalau bukan Pak Bagiono yang meminta, saya tidak akan berani membawa lokakarya dengan tujuan seberat itu. Saya ragu, dan sempat menyampaikan keraguan saya pada Pak Bagiono. Pak Bagiono pun menyemangati saya. Dia mengatakan, dia percaya pada saya. Menumbuhkan jiwa keguruan butuh waktu. Tidak akan bisa instan. Lokakarya tersebut hanya sebentar, tentu tidak akan langsung berdampak. Tapi, setidaknya merupakan langkah untuk mulai menumbuhkan rasa keguruan itu. </span></p><p><span style="font-family: trebuchet;">Saya segera mengajak seorang teman untuk mendampingi saya menjadi fasilitator di kegiatan itu. Namanya Pak Dasrizal. Guru matematika yang muda, bersemangat, dan juga punya jiwa seni yang tinggi. Hobinya, selain mengajar adalah menyanyi khususnya dalam pentas musikal. Setahun setelah lokakarya tersebut, Pak Dasrizal bersama beberapa musisi Indonesia lainnya untuk pentas di Broadway, New York ( Kompas Cetak, 13 Maret 2019).</span></p><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiGmTKBF2T1QHDkoVZcQWpE9Grm4Caluk0b7sm7d6XOwvL-Plpj7spXAsOHGRQ4BVQ1fj2twSpi_zvNu_jzolUr9G_b3wDIopuy8tMx_w8_liXEDfiAWIQnWtqHaAY5nlhXBDuu/s399/SMKN+11+4.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="399" data-original-width="379" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiGmTKBF2T1QHDkoVZcQWpE9Grm4Caluk0b7sm7d6XOwvL-Plpj7spXAsOHGRQ4BVQ1fj2twSpi_zvNu_jzolUr9G_b3wDIopuy8tMx_w8_liXEDfiAWIQnWtqHaAY5nlhXBDuu/s0/SMKN+11+4.jpg"></a></div><span style="font-family: trebuchet;"><br></span><p></p><p><span style="font-family: trebuchet;">Lokakarya yang digagas oleh Pak Bagiono ini tujuannya bukan hal-hal yang sifatnya teknis, misalnya metode mengajar, atau teknik mengajar tapi sesuatu yang menyangkut rasa. Rasa bangga menjadi guru. Rasa ingin menjadi versi terbaik dari diri sendiri agar bisa juga memberikan yang terbaik kepada siswa. Itu rasa yang sangat indah. Rasa ini tidak akan bisa ditumbuhkan dengan pelatihan yang sifatnya teknis belaka. Peserta harus bisa merasakan sesuatu yang indah. Saat itu saya yakin, Pak Dasrizal bisa menciptakan suasana yang indah, yang akan menyentuh hati para peserta.</span></p><p><span style="font-family: trebuchet;">Pak Dasrizal dan saya bertemu untuk merancang lokakarya bersama. Ada tiga tujuan yang ingin kami capai (atau setidaknya menuju ke arah sana). Peserta diharapkan: </span></p><p></p><ul style="text-align: left;"><li><span style="font-family: trebuchet;">Merefleksikan kembali alasan menjadi guru dan mengapa bertahan menjadi guru.</span></li><li>Mengembangkan ketertarikan untuk mengembangkan diri menjadi guru yang lebih baik dari sebelumnya.</li><li>Memiliki gagasan dan membuat rencana kerja (action plan) untuk pengembangan diri.</li></ul><div>Setelah kegiatan ice breaking, peserta diajak menonton vido Mrs. Chong, tentang seorang guru yang berhasil menyentuh hati siswanya. Kami mendiskusikan videonya</div><div><br></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><iframe allowfullscreen="" class="BLOG_video_class" height="266" src="https://www.youtube.com/embed/GETzOHRPqus" width="320" youtube-src-id="GETzOHRPqus"></iframe></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">Pak Dasrizal kemudian membaca sebuah tulisan yang ditulisnya sendiri. Refleksi Pak Dasrizal kenapa dia menjadi guru dan bertahan menjadi guru. Setelahnya peserta diajak menuliskan refleksinya sendiri, termasuk diminta menuliskan salah satu pengalaman yang paling berkesan saat mereka menjadi guru. Beberapa guru membacakan tulisannya. </div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">Beberapa guru mengatakan mereka tidak sengaja menjadi guru. Ada yang mengatakan menjadi guru karena harapan orang tua. Namun, tampaknya itu baru pertama kalinya mereka merefleksikan kenapa mereka masih bertahan menjadi guru. Ada peserta yang mengakui hal tersebut dan baru menyadari bahwa memang ada hal yang menyenangkan ketika menjadi guru, khususnya ketika melihat siswa berhasil dalam kehidupannya.</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj06EUZ5FEPdjj-6GYVqYVzLNj1qy8R1a8Y8FTKXk6yjvAwulCoKOn4Z4qHscd9ao2zXosKk2cct0QFr0qtKLw7LiP-d4WZBd1MnQ8a_B40KTSZIodjduTCOF-eEkj7JKKqa8cd/s768/SMKN+11+2.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="459" data-original-width="768" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj06EUZ5FEPdjj-6GYVqYVzLNj1qy8R1a8Y8FTKXk6yjvAwulCoKOn4Z4qHscd9ao2zXosKk2cct0QFr0qtKLw7LiP-d4WZBd1MnQ8a_B40KTSZIodjduTCOF-eEkj7JKKqa8cd/s640/SMKN+11+2.jpg" width="640"></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">Berdasarkan masukan dari Pak Bagiono, kami membagikan sebuah artikel kepada peserta untuk dibaca dan didiskusikan. Judulnya <a href="https://kompas.id/baca/opini/2018/07/17/guru-idola/" target="_blank">Guru Idola karya L. Wilardjo</a> (Kompas, 17 Juli 2018). Artikel tersebut menggambarkan kisah beberapa guru yang diidolakan siswanya. Siswa-siswa di dalam artikel tersebut selalu merupakan siswa yang menjadi jauh lebih hebat daripada gurunya. Wolfgang Pauli misalnya, terinspirasi dari dosenya Prof. Arnold Sommerfeld (yang mengembangkan Teori Atom Hidrogen-nya Niels Bohr). Pauli berkembang jauh melampaui gurunya dan menjadi peraih Nobel Fisika. Fisikawan terkenal, Richard Feynman merasa gurunya adalah Paul Dirac. Padahal Feynman tidak mengambil kelas yang diampu oleh Dirac. Feynman hanya membaca karya Dirac. Feynman melampaui Dirac, bukan hanya karena memperoleh nobel karena elektronika kuantum. Namun juga dikenal sebagai pengajar fisika yang sangat baik.Feynman terkenal sebagai "<i>The Great Explainer</i>" karena bisa membahasakan konsep-konsep Fisika yang rumit menjadi lebih sederhana. Kisah lain diambil dari pewayangan. Palgundi ingin sekali berguru pada Durna. Namun, tidak bisa karena Durna sudah punya murid kesayangan, Arjuna. Saking ingin belajar dari Durna, Durna membuat patung Palgundi untuk latihan memanah. Bagi Durna, guru idolanya tetap Palgundi dan pada akhirnya kemampuan memanah Palgundi pun melampaui Arjuna. Ketiga siswa mengidolakan seorang guru yang menjadikan mereka (para siswa) lebih hebat dari gurunya. </div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">Setelahnya, kami mengajak peserta mendiskusikan diskurs "guru yang baik" seperti yang telah dirumuskan oleh Alex Moore (2004) yakni 1) <i>the charismatic subject, 2) the competent craft person</i></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><i>3) the reflective practitioner </i>(lihat: <a href="https://medium.com/@dhittaputi/the-future-of-education-journal-reflection-3-part-2-4bc7e3b5bfba" style="text-align: left;">https://medium.com/@dhittaputi/the-future-of-education-journal-reflection-3-part-2-4bc7e3b5bfba</a>). </div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">Setelahnya Dasrizal dan saya berbagi pengalaman tentang cara kami mengembangkan diri baik secara personal maupun profesional. Selain pengembangan diri yang sifatnya formal seperti mengikuti pelatihan, dsb, juga ada pengembangan diri yang lebih cair. Bisa sesederhana mem-<i>follow </i>guru yang inspiratif di sosial media, atau menjadi konsumen yang berkesadaran (memilih konten yang berkualitas untuk dibaca, misalnya saat sedang browsing di internet). Pak Dasrizal juga bercerita pengalamannya mengembangkan diri di bidang kepenulisan dan seni. Meskipun Pak Dasrizal merupakan guru matematika, Pak Dasrizal mengembangkan diri dalam berbagai bidang lainnya. Itu membantunya menjadi manusia yang lebih baik. Kata Pak Dasrizal:</div><blockquote style="border: none; margin: 0px 0px 0px 40px; padding: 0px; text-align: left;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><div class="separator" style="clear: both;"><i>"Menjadi seorang guru yang utuh. Tidak hanya fokus pada pekerjaan, tapi kita jadi memiliki banyak cerita yang bisa dibagikan kepada siswa. </i><i>Kadang-kadang siswa tidak selalu terinspirasi pelajaran yang kita berikan, tetapi dari cerita-cerita yang kita bawa dari apa yang kita lakukan di luar sana.”</i></div></div></blockquote><p>Setelahnya, teman-teman guru diminta merefleksikan apa yang masih kurang dan sudah baik terkait aspek personal maupun profesional mereka. Lalu mereka diajak membuat <i>action plan</i> sederhana dengan menuliskan ide tentang cara mereka ingin mengembangkan diri. Ada yang ingin lebih melatih kesabaran agar tidak gampang marah, ada yang ingin lebih rajin membaca, dan sebagainya. </p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXP6SUPBPyNiuOdj2UddmnL5p8jOvYXqVKM0JzlsmU8oiiMpmIojKGWpi3pRYq4Kr0Diy7Urkrullcv98APtL2Oy2L0rw8_J7B1_voll0b-kWmmulmqh1ujz49AZJHOwAlehxe/s799/SMKN+11+1.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="548" data-original-width="799" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXP6SUPBPyNiuOdj2UddmnL5p8jOvYXqVKM0JzlsmU8oiiMpmIojKGWpi3pRYq4Kr0Diy7Urkrullcv98APtL2Oy2L0rw8_J7B1_voll0b-kWmmulmqh1ujz49AZJHOwAlehxe/s640/SMKN+11+1.jpg" width="640"></a></div><p><br></p><p>Setelahnya, Pak Bagiono sharing pengalamannya sebagai pendidik di SMK, termasuk kisah mengenai beberapa siswa SMK yang berhasil. Tampaknya Pak Bagiono ingin mengingatkan teman-teman guru SMK agar jangan minder, misalnya karena tidak mengajar di SMA. Mengajar di SMK pun mengajar manusia yang punya potensi untuk berkembang. </p><p>Tak salah mengajak Pak Dasrizal untuk berpartner bareng saya di hari itu. Pak Dasrizal menutup lokakarya dengan menyanyikan lagu Indonesia Jiwaku, lagu yang sangat indah karya Guru Soekarno Putra. Awalnya beberapa peserta berteriak, "Afgan!" karena menganggap suara Dasrizal tak kalah indah dengan Afgan, lama kelamaan suasana menjadi lebih hening. Di akhir lagu, peserta bertepuk tanga. Beberapa peserta saya lihat meneteskan air mata. Pak Bagiono juga. Tampaknya sedikitnya, kegiatan yang hanya berlangsung setengah hari itu sedikit menyentuh hati teman-teman guru. </p><p><br></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjP6nIMPXhO_PF2Bk5bJdjDBpQe0Tldwt8k93YzfjuiX-cdaW3hDhe79z2NYTTtni6ATgzdmt1XRis0jDGf-8QKNsqSRzATVYPRinKXIze1zYDepRz5K8U4g2OcaSza3_FqS8TE/s811/SMKN+11+3.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="608" data-original-width="811" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjP6nIMPXhO_PF2Bk5bJdjDBpQe0Tldwt8k93YzfjuiX-cdaW3hDhe79z2NYTTtni6ATgzdmt1XRis0jDGf-8QKNsqSRzATVYPRinKXIze1zYDepRz5K8U4g2OcaSza3_FqS8TE/s640/SMKN+11+3.jpg" width="640"></a></div><p>Keterangan: Ini merupakan lanjutan dari tulisan "Cerita Persiapan Lokakarya untuk Guru di SMKN 11" (lihat: <a href="http://mahkotalima.blogspot.com/2018/08/cerita-persiapan-lokakarya-untuk-guru.html">http://mahkotalima.blogspot.com/2018/08/cerita-persiapan-lokakarya-untuk-guru.html</a> ) </p><p><br></p><p><br></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">. </div><p></p>Dhitta Puti Sarasvatihttp://www.blogger.com/profile/14527876469514260028noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-14268387.post-66266747024922464582020-08-15T16:14:00.002+07:002020-08-15T16:14:45.770+07:00Gernas Tastaka (2): Cerita tentang Langkah Pertama<p>Ketika awal Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Matematika (Gernas Tastaka) terbentuk, para pendiri belum tahu persis bentuknya. Kami sudah tahu bahwa kami mau memberikan akses kepada anak-anak Indonesia untuk bisa belajar matematika yang menumbuhkan nalar mereka. </p><p>Pertemuan pertama dilakukan di UI dihadiri oleh Pak Ahmad Rizali, Woro Retno Kris Sejati, Pak Agung Wibowo, dua mahasiswa UI, dan saya. </p><p>Setelah beberapa pertemuan untuk membahas bentuk Gernas Tastaka kami memilih fokus di SD dulu. Juga, mulai dari melakukan gerakan dengan menyelenggarakan kegiatan untuk guru dulu. Kenapa? Kebetulan diantara pendiri-pendiri Gernas Tastaka memang ada beberapa yang bergerak sebagai guru serta memang hobi berbagi dengan guru. Kenapa SD? Karena di tingkat itulah salah satu fondasi terkait matematika biasanya mulai dibangun (sebenarnya di usia sebelum SD juga, tapi kami memang belum mau fokus ke sana). Saat launching pada 10 November 2020 sudah muncul ide membuat Training of Trainers (ToT) untuk guru SD meskipun gagasan lengkapnya masih samar-samar.</p><p>ToT dan bukan pelatihan biasa. Kenapa? Kalau membuat pelatihan saja, artinya peserta pelatihan akan menerapkan apa yang dipelajari di kelas. Itu bagus, tapi kami inginnya yang mengikuti kegiatan kami, selain menerpkan apa yang dipelajari di kelas, bisa berbagi tentang apa yang dipelajari ke guru lain. Caranya, boleh bikin ToT lagi, pelatihan, atau mengembangkan konten, atau berbagi dengan cara lain. </p><p>Awalnya ToT kami terdiri dari 6 pertemuan masing-masing 6 jam (luring). Bahannya kami adopsi dari berbagai bacaan terkait pendidikan matematika. Kami tidak menciptakan metode baru. Kami tidak membuat konsep baru. Kami hanya meramu kembali apa yang memang menjadi pengetahuan-pengetahuan dasar terkait pendidikan matematika serta menyebarluaskan gagasannya. Kami tahu, sebenarnya ada begitu banyak ilmu terkait pendidikan matematika yang perlu dipelajari guru SD dan guru matematika manapun. Tidak mungkin. Mau bikin kegiatan untuk menyebarkan semua detilnya? Gak mungkin lah yah. Pasti akan membutuhkan waktu yang lama sekali. Artinya kami pilih beberapa saja, yang esensial sebagai pancingan bagi teman-teman guru untuk belajar lagi. Dalam Gernas Tastaka segala media komunikasi kami menjadi penting mulai dari Group FB, Instagram, dan WA Group yang terdiri dari peserta-peserta kegiatan Gernas Tastaka. Di situlah proses belajar melalui dialog dan kegiatan sharing terus dilakukan. Di sana jugalah tempat munculnya ide-ide baru. ToT menjadi semacam "tempat perkenalan dan memulai persahabatan", proses komunikasi berikutnya lah yang membuat hubungan persahabatan untuk saling belajar tersebut semakin erat. </p><p><br /></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEht-N04XSjBpQEtN9qSl4Z_I033KNrKB6Sv2uraGg36vqM62rLTa9T6-TnrVU820fR_vDOF9EKQYFyMxp00V5A0mCfJ0hFe2_ggsaIouqd0BfjmDlNKt135rh4I62vrbHNuR3pK/s1007/refleksi+piloting+GT.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="633" data-original-width="1007" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEht-N04XSjBpQEtN9qSl4Z_I033KNrKB6Sv2uraGg36vqM62rLTa9T6-TnrVU820fR_vDOF9EKQYFyMxp00V5A0mCfJ0hFe2_ggsaIouqd0BfjmDlNKt135rh4I62vrbHNuR3pK/s640/refleksi+piloting+GT.jpg" width="640" /></a></div><p><br /></p><p><br /></p><p>Ketika ToT pertama kali kami diujicobakan di MIN 13 Jakarta Timur, kami tidak menyangka bahwa sambutannya hangat sekali. 30 orang guru dari sekolah tersebut mengikuti seluruh rangkaian kegiatannya secara penuh. Saat penutupan ToT ke-6 pada 9 Februari 2019, seorang peserta mengatakan, yang mengaku belajar matematika sejak SD tahun 1969 mengatakan, "Selama belajar selama ini, kami seperti anak-anak. Kalau berhasil, girangnya kayak apaan. Lompat-lompat. Bukan berarti kami songong, bukan berarti kami tidak sopan. Tapi karena senangnya mendapatkan ilmu yang selama ini kami rindukan". Kami menutup ujicoba ToT tersebut kami menonton bersama (Hidden Figures) sambil makan-makan dengan makanan yang dibawa oleh peserta secara botram. Itu langkah pertama kami, yang kemudian menumbuhkan percaya diri kami untuk melakukan langkah-langkah selanjutnya. Kalau kata Lao Tzu, "The journey of a thousand miles begins with one step" yang artinya perjalanan 1000 mil dimulai dengan langkah pertama. Itu yang kami rasakan ketika pertama kali mau mencoba membuat gerakan melalui Gernas Tastaka.</p>Dhitta Puti Sarasvatihttp://www.blogger.com/profile/14527876469514260028noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-14268387.post-76500991279831956352020-06-07T19:01:00.002+07:002021-06-17T17:30:53.369+07:00Dialog Mbak Bonita, Anyi, dan Mas Ibut tentang "Peduli Musik Anak"<p dir="ltr"><br></p><p dir="ltr">Senang banget hari ini bisa mendengarkan dialognya @singingbonita, Karina Adistiana, dan Mas Ibut soal "Peduli Musik Anak". Bagus banget (ada rekamannya di IG Mbak @singingbonita , silakan dilihat yah ). </p>
<p dir="ltr">Anyi dan Mas Ibut adalah sepasang suami istri yang mencoba melakukan proses pendidikan melalui media musik anak. </p>
<p dir="ltr">Mereka berkeliling ke berbagai daerah Indonesia untuk mengajak anak, remaja, guru, orang tua membuat musik anak sebagai sarana pendidikan. Pendidikan untuk siapa? Anak, remaja, guru, maupun orang tua. </p>
<p dir="ltr">Salah satu kisah mereka terjadi di Maluku. Di sana, mereka mengajak para remaja ngobrolin makna perdamaian. Maluku sendiri pernah menjadi daerah konflik, maka penting untuk mendengarkan suara anak maupun remaja dan di sana. Bagi mereka, perdamaian itu seperti apa?</p>
<p dir="ltr">Hasil dialognya dibuatkan lagu. Tadi Anyi dan Mas Ibut menyanyikan lagu yang dibuat remaja-remaja tersebut. Mbak Bonita menangis mendengarnya. Saya juga. </p>
<p dir="ltr">Anyi juga sempat bercerita tentang fenomena di beberapa TK yang dikunjunginya. Ketika anak pentas, gurunya berdiri saja di bawah panggung mengamati. Kenapa tidak berdendang dan menari?</p>
<p dir="ltr">Maka dibuatlah lagu untuk mendidik orang dewasa untuk ikut berdendang dan menari bersama anak.</p>
<p dir="ltr">Ketika membuat musik untuk pendidikan bencana, Anyi dan Mas Ibut belajar dulu tentang kearifan lokal dan jenis musik yang pas untuk daerah terkait. Tujuannya agar lagunya lebih mengena. </p>
<p dir="ltr">"Musik merupakan bahasa yang universal, dan sudah powerful dari sananya. Kita tinggal memikirkan bagaimana liriknya bisa diadakan media untuk belajar," kata Anyi. </p>
<p dir="ltr">Mas Ibut juga sempat bercerita, "ada masanya guru-guru suka ngumpul dan membuat musik anak bersama. Kini, kita tergantung pada industri. Mendengarkan musik anak yang telah disediakan oleh industri." </p>
<p dir="ltr">Ada keinginan dari Peduli Musik Anak untuk kembali mengingat budaya-budaya itu. Musik diciptakan bersama-sama secara komunal dengan komunitas untuk kepentingan komunitas. </p>
<p dir="ltr">"Apa yang kita lakukan sebenarnya, gagasannya kami pelajari dari Ki Hadjar Dewantara. Ki Hadjar juga sangat mementingkan musik dalam proses pendidikannya termasuk menggunakan musik-musik dolanan," kata Anyi dan Mas Ibut (lupa persisnya kata-kata). </p>
<p dir="ltr">Diskusi sore ini diselingi beberapa lagu anak yang dihasilkan "Peduli Musik Anak". Dalam hati saya berjanji sebisa saya akan mendukung gerakan ini. Bikin posting ini merupakan salah satu caranya.</p>Dhitta Puti Sarasvatihttp://www.blogger.com/profile/14527876469514260028noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-14268387.post-52896118625565295692019-07-22T18:06:00.002+07:002019-07-22T18:06:56.553+07:00Peran Guru di Hari Pertama Sekolah<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://d36zo2s4q1lc88.cloudfront.net/wp-content/uploads/2016/09/03113633/181.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="480" data-original-width="720" src="https://d36zo2s4q1lc88.cloudfront.net/wp-content/uploads/2016/09/03113633/181.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Sumber Gambar: <a href="https://www.iphotographycourse.com/blog/photographing-books/">https://www.iphotographycourse.com/blog/photographing-books/</a> </td></tr>
</tbody></table>
<br />
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Cambria, serif;">Di sebagian besar sekolah di Indonesia, tahun ajaran baru 2019-2020 diawali pada Senin, 15 Juli 2019. Berbagai media massa menggambarkan situasi hari pertama sekolah di berbagai sekolah di Indonesia. Salahnya tentangtradisi merebut bangku sekolah. Sebuah video berita di Kompas berjudu</span><a href="https://www.blogger.com/u/1/Kompas,%2016%20Juli%202019,%20%20https://kompas.id/baca/utama/2019/07/16/demi-prestasi-anak-bangku-diperebutkan/" style="font-family: Cambria, serif;">l "Demi Prestasi Anak, Bangku Diperebutkan" menggambarkan bagaimana kursi diperebutkan di tiga sekolah yang berbed</a><span style="font-family: Cambria, serif;">a. Suasana hari pertama sekolah seperti itu sungguh menegangkan. </span></div>
<br />
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Cambria, serif;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Cambria, serif;">Hari pertama sekolah memang penting. Kesan yang didapatkan siswa pada hari pertama sekolah bisa mempengaruhi pandangan mereka tentang sekolah di hari-hari selanjutnya. Saling berebut bangku, bukanlah cara yang baik untuk memulai hari pertama sekolah. </span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Cambria, serif;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Cambria, serif;">Hal yang terjadi di hari sekolah bisa mempengaruhi minat belajar siswa selama semester-semester ke depan. Apa yang dilakukan sekolah dan guru di kelas akan menjadi “kesan pertama” siswa tentang bagaimana lingkungan di mana ia akan belajar. Kesan baik yang diterima siswa akan menjadi modal minat dan motivasi bagi siswa dalam mengikuti proses belajar. </span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Cambria, serif;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Cambria, serif;">Sayangnya, hal ini tak banyak disadari oleh sekolah. Sekolah pada umumnya menyambut dengan seremonial yang seringkali tak berkesan bagi siswa. Begitu pun dengan guru. Tak semua guru menyadari betapa pentingnya kesan pertama ini. Terhadap hal ini, Ronald L. Partin memberikan saran yang sangat baik bagaimana seharusnya menyambut tamunya. Ada tiga saran yang dikemukakan. </span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Cambria, serif;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Cambria, serif;">Untuk menghantar siswa dihari pertama, guru kelas memiliki peranan penting. Ronald L. Partin (2009), mengajukan tiga hal penting yang perlu dilakukan guru di hari pertama siswa: 1) mengenal siswa, 2) menyampaikan harapan dan membuat kesepakatan kelas, 3) membangun suasana nyaman dan siswa bersemangat mengikuti proses belajar di sekolah. </span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Cambria, serif;"><b><br /></b></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Cambria, serif;"><b>Mengenal Siswa </b></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Cambria, serif;">Sebelum hari pertama dimulai, guru perlu melakukan persiapan. Guru bisa mempelajari nama-nama siswa yang akan ada di kelasnya ataupun membaca dokumen-dokumen yang memberikan informasi mengenai latar belakang siswa. Di hari pertama sekolah, guru bisa menunggu kedatangan siswa di depan kelas sambal tersenyum ramah. “Siapa namamu? Salam kenal, saya Ibu Dian yang akan jadi wali kelasmu sepanjang tahun ini,” merupakan hal yang bisa dikatakan guru sambal mengarahkan siswa untuk duduk di mejanya masing-masing.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Cambria, serif;">Permainan juga merupakan hal yang bisa dilakukan agar siswa merasa aman serta bisa belajar mengenal satu sama lain. Guru bisa mengajak siswa untuk berdiri melingkar dan semua bergantian mengenalkan diri sambal menyebutkan hal yang paling disuakai. </span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Cambria, serif;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Cambria, serif;"><b>Harapan dan Kesepakatan Bersama</b></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Cambria, serif;">Setiap guru pasti memiliki harapan mengenai suasana kelasnya sepanjang tahun ajaran ke depan. Harapan tersebut misalnya, bahwa setiap siswa akan saling menghargai satu sama lain, setiap anggota kelas akan menjaga satu sama lain selayaknya keluarga, dan semua akan saling mendukung untuk belajar Bersama. Harapan-harapan ini perlu disampaikan kepada siswa di hari pertama. </span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Cambria, serif;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Cambria, serif;">Selain itu, guru bisa mengajak siswa membuat kesepakatan bersama. Bagaimana proses belajar seharusnya berlangsung? Bagaimana cara berkomunikasi satu sama lain? Apa yang perlu dilakukan ketika ada yang berbicara di depan kelas? Apa konsekuensinya ketika ada yang menganggu teman-teman yang sedang belajar? Siswa bisa diajak terlibat mendiskusikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Cambria, serif;">Menyampaikan harapan serta membuat kesepakatan bersama merupakan langkah awal untuk mengajak siswa merasa bahwa kelas baru mereka juga merupakan bagian dari tanggung jawab mereka. Tentu sepanjang semester pasti akan ada siswa-siswa yang mungkin secara sengaja maupun tidak melanggar kesepakatan. Namun, setidaknya sejak awal, siswa sudah diajak membayangkan suasana kelas yang diharapkan, kelas yang membuat semua siswa nyaman dan aman untuk belajar bersama.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Cambria, serif;"><b><br /></b></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Cambria, serif;"><b>Membangun Suasana Yang Memungkinkan Siswa Merasa Semangat Belajar</b></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Cambria, serif;">Ada beberapa cara untuk membuat siswa merasa bersemangat belajar semenjak hari pertama sekolah. Misalnya, di hari pertama sekolah siswa bisa diajak bersama-sama membuat pajangan kelas. Guru juga bisa mengajak siswa bermain bersama, khususnya yang memungkinkan siswa mengenal satu sama lain. Kegiatan belajar di hari pertama tidak perlu langsung berat-berat, yang penting siswa merasa aman dan nyaman. Guru juga bisa menceritakan berbagai hal menarik yang akan dilakukan sepanjang sepanjang semester. Apakah siswa akan diajak belajar di luar kelas? Apakah siswa akan membuat karya-karya seni bersama? Apakah siswa akan belajar membaca dan menulis dengan cara yang istimewa? Guru perlu punya bayangan mengenai apa yang akan dilakukan bersama dengan siswa sepanjang semester dan yang tak kalah penting adalah juga bersemangat melaksanakannya. </span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Cambria, serif;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Cambria, serif;">Apakah anda bisa membayangkan suasana hari pertama sekolah semacam itu? Juah lebih menyenangkan daripada kalau siswa datang pagi-pagi merebut bangku sekolah kan? </span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Cambria, serif;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
Dhitta Puti Sarasvatihttp://www.blogger.com/profile/14527876469514260028noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-14268387.post-48680571863549610502019-07-09T17:57:00.000+07:002019-07-09T18:05:02.668+07:00Belajar Tentang Keliling Bangun Datar Memecahkan Masalah<br />Ibu Maya mengajar kelas 3 SD. Di kelasnya ada 30 orang siswa. Kali ini, Ibu Maya ingin mengajar mengenai keliling bangun datar. Berdasarkan kurikulum, kompetensi dasar yang perlu dicapai siswa ada dua, yakni : <br /><ul>
<li>menjelaskan dan menentukan keliling bangun dasar</li>
<li>menyajikan dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan keliling bangun datar </li>
</ul>
<br />Beginilah proses belajar di kelas Ibu Maya:<br /><br /><blockquote class="tr_bq">
<i>Ibu Maya mengajak siswa-siswanya untuk duduk berkeliling. “Ibu punya sebuah cerita,” katanya. </i></blockquote>
<blockquote class="tr_bq">
<i>“Ceritanya, di suatu Minggu, ibu berjalan-jalan ke sebuah taman. Tamannya tidak terlalu besar sih tapi banyak tanamannya, jadi tetap menyenangkan ke sana. Nah di sekeliling taman tersebut ada jalan setapak. Ukurannya seperti gambar ini,” kata Ibu Maya sambil mengangkat sebuah kertas besar yang telah digambari. </i></blockquote>
<br /><br /><br /><div style="text-align: center;">
<img src="https://lh3.googleusercontent.com/9ufAQ1w1HCLYOB8Y5Uu4ZNCld3U7z0WsZ_G4EdCRZ0roBHwpFmhiTvbH0gPLm3icCOQaUlDTZLgdxz7d02cFWot1Ut9oqy1jFtsCgzUCRKADxnOi35WzmTyM51FlqFsbgu0U8fni" /></div>
<br /><br /><blockquote class="tr_bq">
<i>“Nah, Ibu berjalan dari sebelah sini,” kata Ibu Maya menunjuk pojok kiri bawah dari taman lalu menggeser tangannya ke kanan, ke atas, ke kiri, ke bawah, “lalu berjalan mengikuti setapak sampai ibu kembali ke tempat semula.” </i></blockquote>
<blockquote class="tr_bq">
<i>“Adakah yang tahu, waktu itu ibu berjalan sejauh berapa meter?” tanya Ibu Maya.<br /> <br />Jojo yang paling pandai menghitung menjawab,” tujuh puluh.” </i></blockquote>
<blockquote class="tr_bq">
<i>Euis yang mengangguk seakan-akan setuju dengan jawaban Jojo. Ibu Maya pun bertanya, “Kenapa Euis mengangguk-angguk? Apakah Euis setuju dengan jawaban Jojo?” </i></blockquote>
<blockquote class="tr_bq">
<i>Euis tersenyum sambil mengangguk lagi. Ibu Maya pun meminta Euis menjelaskan kenapa Euis setuju dengan jawaban Jojo.<br /> <br />“Ibu tadi jalannya 20 m lalu 15 m lalu20 m lalu 15 m. Itu semua 70 m. Sudah Euis hitung,” kata Euis sambil menunjukkan coret-coretannya.<br /> <br />“Iya, benar. Ibu berjalan 20 m + 15 m + 20 m + 15 m sehingga ibu berjalan sejauh 70 m,” lalu ditambahkannya, “Ibu berkeliling taman. Yang disebut keliling bangun datar itu mirip seperti itu. Keliling itu semacam jalan yang mengelilingi bangun datar.” </i></blockquote>
<blockquote class="tr_bq">
<i>“Apakah ada yang masih ingat caranya menggunakan penggaris untuk mengukur panjang?” tanya Ibu Maya.<br /> <br />Adrian mengangkat tangannya lalu menjelaskan, “Kita tempel penggaris di garisnya. Terus lihat di bagian satunya lagi, panjangnya berapa.” </i></blockquote>
<blockquote class="tr_bq">
<i>“Sudah hampir benar” Ibu Maya. Ibu Maya menggambar garis di papan tulis lalu menggunakan sebuah penggaris besar. Di ujung kiri (garis) ini, tertulis 10 cm di ujung kanan tertulis 60 cm. Berapa panjang garis ini?” </i></blockquote>
<blockquote class="tr_bq">
<i>Sebagian siswa menjawab 60 cm, sebagian lagi diam. Jojo mengerutkan keningnya lalu berceloteh, “ Seharusnya di kiri mulainya dari nol”. </i></blockquote>
<blockquote class="tr_bq">
<i>Ibu Maya pun menggunakan kesempatan itu untuk menerangkan kembali caranya menggunakan penggaris. Sebenarnya siswa-siswa sudah pernah mempelajarinya sebelumnya tapi tampaknya beberapa siswa lupa. Setelahnya, Ibu Maya meminta para siswa berkelompok berlima-lima. Masing-masing kelompok diminta mengeluarkan penggaris.<br /> <br />Ibu Maya membagikan masing-masing kelompok dua kertas lipat yang ukurannya sama. Yang satu berwarna kuning dan yang satu biru, “Sekarang coba diskusikan caranya mengukur keliling kertas lipat yang kuning ini. Gunakan penggarismu.” </i></blockquote>
<blockquote class="tr_bq">
<i>Suasana kelas menjadi agak riuh. Ibu Maya berkeliling ke masing-masing kelompok untuk mendengarkan ide siswa. Ibu Maya pun mempersilakan siswa mengukur keliling kertas lipat kuning mereka.”</i></blockquote>
<blockquote class="tr_bq">
<i>Masing-masing kertas lipat yang diberikan oleh Ibu Maya berbentuk persegi yang ukurannya 20 cm x 20 cm. Siswa-siswa tidak tampak kesulitan menghitung kelilingnya. Siswa sudah bisa mengukur sisi persegi dan karena sisinya ada 4 maka kelilingnya adalah 80 cm. Siswa diminta menggambarkan caranya mereka menyelesaikan masalah di sebuah kertas besar.<br /> <br />Setelah selesai, Ibu Maya memberikan instruksi baru Sambil mencontohkan, Ibu Maya berkata, “Ambil kertas lipat biru. Lipat kertas ini menjadi dua sehingga terbentuk dua persegi panjang seperti ini. Nah lipat saja kertasnya ke belakang, seperti ini sehingga terbentuk sebuah persegi panjang baru (lihat gambar)”</i></blockquote>
<br /><div style="text-align: center;">
<img src="https://lh3.googleusercontent.com/zkV-Q04tpW7QDABIFaeqXpUwoiIv2lykm-sYibRNzZbBWa-v_-Pqdi-S7_3WVpvkIf73ASE3FSAM_dpHy9Yj1-jywlNQFgNPFJMOrrZkIcHUXyLSnyl2eIkB6D_eCWaF5KV2NQMm" /></div>
<br /><blockquote class="tr_bq">
<i>Masing-masing kelompok diminta untuk mengangkat persegi panjangnya ke udara. Ibu Maya memperhatikan persegi panjang setiap kelompok dan setelah memastikan bahwa semuanya benar, diajukannya pertanyaan, “Kira-kira bagaimana caranya mengukur keliling persegi panjang ini tanpa menggunakan penggaris lagi?”<br /><br />Secara berkelompok, para siswa diminta mendiskusikan solusi mereka. Mereka pun diminta menuliskan jawaban mereka di sebuah kertas besar. Ibu Maya berkeliling dan memilih dua kelompok untuk mempresentasikan jawaban mereka. Siswa bukan hanya harus menjelaskan jawaban mereka tapi bagaimana mereka sampai pada kesimpulan mereka. Setelahnya, Ibu Maya membagikan sebuah lembar kerja yang dibuatnya sendiri (lihat gambar).</i></blockquote>
<br /><div style="text-align: center;">
<img src="https://lh6.googleusercontent.com/FxKbzXD6N6CtPl7SLqgBA2_CwvcuzUyvLVG3IoNhX-kOkNDBjXHfg_Ee1S0Cj-JIGoa2UNfWNsm4nRwf8gy0Zz0YWmWuvYmdaCvvmoFkTdXrKqXRbUPYfSNfiU6tWTZ41g1XD2XT" /></div>
<blockquote class="tr_bq">
<br /><i>Siswa diminta mendiskusikan caranya mencari solusi terhadap lembar kerja tersebut. Di akhir kelas Ibu Maya meminta setiap siswa menuliskan definisi keliling bangun datar dengan bahasa mereka sendiri-sendiri. Ibu Maya membacakan beberapa jawaban siswa sambil meminta siswa lain menanggapinya. Tak terasa kelas telah berakhir. Ibu Maya merasa senang karena semua siswa terlibat aktif di dalam kelasnya. </i></blockquote>
<br />
Di beberapa sekolah lainnya, siswa mempelajari konsep keliling bangun datar dengan cara berbeda. Guru memberitahu siswa rumus beberapa bangun datar, misalnya Keliling persegi = 4 x sisi atau Keliling persegi panjang = 2 x (panjang + lebar). Setelahnya siswa diminta mengerjakan latihan soal seperti di bawah ini:<br />
<div style="text-align: center;">
<img src="https://lh5.googleusercontent.com/8T95unTvCg23BPZEnH3o5QNfSy2exBoLQXLajvCOEB7Sxjeqla2-YWIsoSgSRbgUZrP6ILF5JlF4ot3qh068GAPLrBr0b699L2HXxRm0Rt5X9eXVE0fIwEzX8eJILbfiuWPNHutC" /></div>
Ibu Maya menggunakan cara yang berbeda. Ibu Maya mencoba merancang kegiatan yang memungkinkan siswanya belajar mengenai konsep bangun datar menggunakan pemecahan masalah. Memang Ibu Maya tidak langsung menerangkan rumus keliling kepada siswanya. Di pertemuan berikutnya, Ibu Maya memang merencanakan membuat kegiatan di mana siswanya bisa menemukan rumus keliling beberapa bangun datar serta berlatih menggunakannya dalam berbagai konteks lainnya. Bagi Ibu Maya, yang penting ketika belajar matematika siswa-siswanya merasa tertantang untuk berpikir. Karena itulah, dalam hampir setiap kelasnya, Ibu Maya berusaha agar ada kegiatan di mana siswa harus memecahkan masalah. <br /><br />Masalah berbeda dengan latihan. Masalah adalah suatu situasi yang perlu diselesaikan, tapi solusinya tidak langsung terpikirkan. Pemecahan masalah adalah proses untuk menyelesaikan masalah tersebut (Bennet, et.al, 2012, h.31). Masalah matematika adalah masalah yang perlu dipecahkan menggunakan keterampilan berpikir matematis (Burns, 2007, h.17). Masalah matematika bisa berupa masalah yang berhubungan dengan konteks kehidupan sehari-hari maupun dalam konteks matematika sendiri. Yang pasti, sebuah masalah matematika bukanlah sesuatu yang langsung bisa diselesaikan, namun butuh proses berpikir. Ketika memecahkan masalah, siswa perlu menggunakan pengetahuan-pengetahuan mereka sebelumnya dan melalui proses pemecahan masalah matematika mereka akan meningkatkan pemahaman matematis mereka (NCTM, 2000, h. 52).<br /><br />Tentu saja apa yang menjadi masalah bagi seorang siswa bisa jadi bukan masalah bagi siswa lainnya (Burns, 2007, p.12). Guru berperan sebagai semacam kurator yang berperan memilih masalah bisa meningkatkan keterampilan berpikir matematis siswa. <br /><br />Masalah matematika berbeda dengan latihan. Latihan biasanya bersifat prosedural dan tidak memerlukan banyak proses berpikir untuk menyelesaikannya. Contoh latihan untuk topik keliling bangun datar, misalnya:<br /><br /><div style="text-align: center;">
<img src="https://lh3.googleusercontent.com/Tmijt2ZEf0I8-mef1F9zl805QGBwq_cVLQsHNwAPzjmekGjCvfpntCUVl0FGVY31AOeAJ106VWIGEZOPk-RvJjYAlM8_RqQYoljwEnPxkfcE0KW0V75skqYCLaqdEXj9AmGqPsA1" /></div>
<br /><br />Di dalam latihan di atas, siswa hanya perlu menggunakan rumus untuk mencari keliling persegi panjang. Hanya saja, ukurannya berbeda-beda. Latihan memang bisa membantu siswa meningkatkan keterampilannya dalam menghitung ataupun menghadapi soal-soal ujian. Namun, tidak cukup untuk membantu siswa meningkatkan keterampilan berpikir matematisnya. <br /><br />Ada sebuah buku klasik mengenai pemecahan masalah berjudul “How to Solve It: A New Aspects of Mathematical Method”. Buku ini dituliskan oleh George Polya, seorang matematikawan dari Budapest yang pernah mengajar di ETH Zurich dan Universitas Stanford. Salah satu kutipan dalam bukunya menggambarkan betapa pentingnya pemecahan masalah dalam belajar matematika. Katanya:<br /><br /><blockquote class="tr_bq">
<i>“Merupakan sebuah temuan besar ketika kita bisa memecahkan sebuah masalah besar. Namun, sebenarnya ada unsur penemuan ketika kita menyelesaikan masalah apapun. Masalah anda mungkin terlihat sederhana; tapi masalah itu bisa memancing rasa ingin tahu anda, dan ketika anda menyelesaikannya sendiri, anda akan merasakan ketegangan serta kegembiraan selayaknya menemukan penemuan baru. Pengalaman memecahkan masalah menumbuhkan kenikmatan berpikir dan meninggalkan kesan yang mendalam serta membantu membentuk karakter seseorang.</i> </blockquote>
<blockquote class="tr_bq">
<i>Seorang guru matematika punya kesempatan yang sangat baik. Kalau dia mengisi sebagian besar waktu di kelasnya untuk meminta siswanya berlatih mengerjakan soal-soal operasi yang berulang-ulang, dia mematikan ketertarikan siswanya, menghambat perkembangan intelektualnya, dan pada dasarnya sedang menyia-nyiakan kesempatannya. Namun, kalau seorang guru menantang rasa ingin tahu siswanya dengan memberikan mereka masalah-masalah yang sesuai dengan pengetahuan siswanya, membantu siswanya menyelesaikan masalah dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang merangsang proses berpikir siswa, saat itulah guru memberikan kesempatan siswanya untuk belajar berpikir secara mandiri" (Polya, 1945, h.v). </i></blockquote>
Dhitta Puti Sarasvatihttp://www.blogger.com/profile/14527876469514260028noreply@blogger.com1